Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Jejak Masa Lalu

28 April 2024   08:10 Diperbarui: 28 April 2024   08:19 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jejak masa lalu. (Freepik.com)

Pak Harun menggeleng. "Sudah puluhan tahun berlalu, Supri. Banyak yang sudah pindah atau meninggal. Tapi, mungkin Ibu Minah tahu. Dia kenal semua orang di sini."

Sari, yang matahari mulai terbenam, menawarkan ide. "Mungkin kita bisa bertemu Ibu Minah besok? Sekarang kita cari tempat penginapan dulu, aku sudah ngantuk berat."

Mereka berdua tertawa kecil, merasakan lelah setelah hari yang panjang tapi juga penuh penemuan baru.

***

Keesokan harinya, Supri dan Sari menemui Ibu Minah, seorang wanita tua yang dikenal sebagai penjaga memori desa. Rumahnya, sebuah bangunan tua beratap rumbia, penuh dengan pot tanaman dan suara gemericik air dari bambu yang terpasang di halaman.

Ibu Minah, yang sedang menenun di beranda, menyambut mereka dengan senyum lebar. "Ah, anak-anak muda pencari kisah," katanya, seolah sudah menunggu kedatangan mereka.


Supri langsung to the point. "Ibu, kami mendengar dari Pak Harun bahwa Ibu mungkin tahu tentang anak yang hilang dari keluarga kami. Apakah Ibu bisa ceritakan lebih banyak?"

Ibu Minah meletakkan alat tenunnya, lalu menunjuk ke kursi bambu agar mereka duduk. "Cerita itu memang benar. Anak itu, yang bernama Fikri, adalah anak yang tidak diakui. Ibunya, Rina, adalah putri dari keluarga yang kalian cari. Ayahnya, seorang pria dari desa lain yang tidak disetujui oleh keluarga."

Sari mendengarkan dengan mata berkaca-kaca, "Lalu, apa yang terjadi pada Fikri?"

"Ia dibesarkan oleh saudara Rina yang tidak memiliki anak. Mereka mengangkatnya sebagai anak mereka sendiri, menjaga rahasia keluarganya agar tidak mempermalukan nama keluarga," lanjut Ibu Minah. "Fikri tumbuh menjadi pria baik dan kuat, tapi ia selalu tahu ada sesuatu yang tersembunyi tentang asal-usulnya."

Supri bertanya, "Apakah Fikri masih hidup, Ibu? Apakah ada cara untuk bertemu dengannya?"

"Sayangnya, Fikri telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Namun, ia meninggalkan seorang anak, yang sekarang tinggal di kota Jakarta," jawab Ibu Minah, menyodorkan selembar kertas dengan alamat di atasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun