Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen: Jejak Masa Lalu

28 April 2024   08:10 Diperbarui: 28 April 2024   08:19 161 10
Di ruang kerja yang penuh dengan tumpukan buku dan kertas, Supri menatap lekat-lekat buku catatan tua yang baru saja ditemukannya di antara barang-barang peninggalan ibunya. Ditemani secangkir kopi tubruk, ia membuka halaman demi halaman dengan hati-hati.

"Dik, lihat ini, aku nemu buku silsilah keluarga kita!" seru Supri kepada adiknya, Sari, yang baru saja masuk dengan membawa piring berisi pisang goreng.

Sari mendekat, matanya berbinar. "Wow, dari mana itu? Kok aku nggak pernah lihat?" tanyanya sambil mencomot satu pisang goreng.

"Dari almari ibu, tersembunyi di balik baju-baju tua. Ada cerita menarik nih," Supri berkata sambil menunjukkan halaman yang sudah menguning.

"Ada apa?" Sari meneguk kopinya, matanya masih tertuju pada buku itu.

"Kata ini bilang ada 'anak yang hilang' di generasi kakek kita. Misterius kan? Kita nggak pernah dengar cerita soal itu dari ibu."

Sari tertawa kecil. "Mungkin itu kode rahasia kakek buat simpanan harta karun, bro. Coba cek di belakang rumah, siapa tahu ada emas terpendam!" godanya sambil tersenyum lebar.

Supri memutar matanya. "Ini serius, Dik. Aku penasaran, siapa tahu ada kisah keluarga yang bisa jadi materi penelitianku selanjutnya."

"Jadi, mau ngapain? Pergi ke kampung halaman kakek di Lampung itu?" Sari bertanya, tampak tertarik.

Supri mengangguk mantap. "Yuk, akhir pekan ini. Bisa jadi petualangan kita. Siapa tahu kita malah ketemu kerabat yang nggak pernah kita tahu sebelumnya."

Sari tertawa, membuang kulit pisang ke piring. "Asal jangan ketemu hantu kakek sudah bagus. Aku bawa sambal kesukaanku ya, biar ada yang seru!"

Mereka berdua tertawa, merencanakan perjalanan yang tak hanya akan membawa mereka ke akar sejarah keluarga, tapi juga mungkin mengungkap misteri yang telah lama terpendam.

***

Setelah perjalanan panjang dengan mobil yang sesekali berhenti untuk menikmati pemandangan sawah dan gunung, Supri dan Sari tiba di desa kecil tempat kakek mereka dulu tinggal. Suasana desa yang damai dengan deretan rumah bambu dan suara anak-anak bermain di jalan tanah memberikan kesan kembali ke masa lalu.

Supri, dengan buku catatan tua di tangan, dan Sari, yang masih terus mengeluhkan sinyal ponsel yang hilang, mendatangi rumah kepala desa. Seorang pria tua dengan sarung dan peci hitam menyambut mereka dengan ramah.

"Selamat datang, Supri, Sari. Saya dengar kalian mencari kisah tentang keluarga besar kalian?" tanya Pak Harun, kepala desa, sambil menyuguhi mereka teh jahe.

"Betul, Pak. Kami mencari informasi tentang 'anak yang hilang' yang disebutkan di buku silsilah ini," kata Supri, menunjukkan buku tersebut.

Pak Harun mengangguk pelan, seraya membetulkan kacamatanya. "Ah, itu cerita lama. Banyak yang sudah lupa, tapi memang ada kisah sedih di balik itu."

Sari, yang sudah menghabiskan dua gelas teh, menimpali dengan serius, "Pak, kami hanya ingin tahu kebenarannya. Apa yang terjadi sebenarnya?"

Dengan napas panjang, Pak Harun mulai bercerita. "Adalah benar ada seorang anak yang lahir dari hubungan yang tidak direstui di desa ini. Orang tuanya, salah satunya dari keluarga kalian, terpaksa meninggalkan desa karena malu. Anak itu dibesarkan oleh keluarga lain dan identitasnya dirahasiakan."

Supri mencatat dengan saksama. "Apakah masih ada yang tahu di mana keluarga atau anak itu sekarang, Pak?"

Pak Harun menggeleng. "Sudah puluhan tahun berlalu, Supri. Banyak yang sudah pindah atau meninggal. Tapi, mungkin Ibu Minah tahu. Dia kenal semua orang di sini."

Sari, yang matahari mulai terbenam, menawarkan ide. "Mungkin kita bisa bertemu Ibu Minah besok? Sekarang kita cari tempat penginapan dulu, aku sudah ngantuk berat."

Mereka berdua tertawa kecil, merasakan lelah setelah hari yang panjang tapi juga penuh penemuan baru.

***

Keesokan harinya, Supri dan Sari menemui Ibu Minah, seorang wanita tua yang dikenal sebagai penjaga memori desa. Rumahnya, sebuah bangunan tua beratap rumbia, penuh dengan pot tanaman dan suara gemericik air dari bambu yang terpasang di halaman.

Ibu Minah, yang sedang menenun di beranda, menyambut mereka dengan senyum lebar. "Ah, anak-anak muda pencari kisah," katanya, seolah sudah menunggu kedatangan mereka.

Supri langsung to the point. "Ibu, kami mendengar dari Pak Harun bahwa Ibu mungkin tahu tentang anak yang hilang dari keluarga kami. Apakah Ibu bisa ceritakan lebih banyak?"

Ibu Minah meletakkan alat tenunnya, lalu menunjuk ke kursi bambu agar mereka duduk. "Cerita itu memang benar. Anak itu, yang bernama Fikri, adalah anak yang tidak diakui. Ibunya, Rina, adalah putri dari keluarga yang kalian cari. Ayahnya, seorang pria dari desa lain yang tidak disetujui oleh keluarga."

Sari mendengarkan dengan mata berkaca-kaca, "Lalu, apa yang terjadi pada Fikri?"

"Ia dibesarkan oleh saudara Rina yang tidak memiliki anak. Mereka mengangkatnya sebagai anak mereka sendiri, menjaga rahasia keluarganya agar tidak mempermalukan nama keluarga," lanjut Ibu Minah. "Fikri tumbuh menjadi pria baik dan kuat, tapi ia selalu tahu ada sesuatu yang tersembunyi tentang asal-usulnya."

Supri bertanya, "Apakah Fikri masih hidup, Ibu? Apakah ada cara untuk bertemu dengannya?"

"Sayangnya, Fikri telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Namun, ia meninggalkan seorang anak, yang sekarang tinggal di kota Jakarta," jawab Ibu Minah, menyodorkan selembar kertas dengan alamat di atasnya.

Sari dan Supri saling pandang, terkejut tapi penuh harap. "Terima kasih, Ibu Minah. Ini berarti banyak bagi kami," ucap Sari, mencoba menyembunyikan air matanya.

Sebelum meninggalkan desa, mereka berdua duduk bersama di tepi sawah, menatap ke arah matahari yang terbenam.

"Kita harus ceritakan semua ini ke keluarga, mas Supri?" tanya Sari, ragu.

Supri menghela napas. "Ya, ini bagian dari sejarah kita. Tapi kita harus hati-hati, menjaga agar cerita ini tidak menjadi beban bagi yang lain."

Mereka kembali ke mobil, meninggalkan desa dengan hati yang lebih berat, namun juga dengan kelegaan telah mengurai sebagian dari misteri keluarga mereka. Kisah mereka masih jauh dari selesai, tapi setidaknya, benang-benang masa lalu mulai terurai, memberikan mereka gambaran yang lebih jelas tentang siapa mereka dan dari mana mereka berasal.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun