"Kalau ada rumah yang belum nanam, biasanya ditawari stek gratis. Jadi semua saling bantu. Nggak ada tuh yang bilang, 'Itu bukan urusan saya.' Justru kalau ada daun yang mulai layu, suka ada yang iseng ngingetin: 'Eh, itu nggak disiram ya?'" kata Afifah sambil tersenyum.
Afifah berharap gerakan seperti ini bisa jadi inspirasi buat RT atau desa lain. Nggak harus anggur juga, bisa tanaman apa saja. Yang penting, ada niat bersama buat bikin lingkungan lebih hijau dan warga lebih akrab. "Kadang hal kecil kayak gini justru punya dampak besar. Bikin kita sadar, rumah itu bukan cuma soal tembok, tapi juga soal siapa yang tinggal di sekitar kita," ujarnya mengakhiri.
Kini, RT 02 RW 03 bukan hanya dikenal karena anggurnya yang tumbuh di halaman rumah, tapi juga karena cerita di baliknya. Cerita tentang warga yang peduli, saling dorong untuk berbuat baik, dan memilih mencintai lingkungannya dengan cara yang sederhana tapi bermakna. Di tengah dunia yang serba cepat dan kadang terasa makin individualistis, kampung kecil ini justru memberi contoh bahwa kedekatan, kepedulian, dan keindahan bisa tumbuh dari hal-hal kecil---dari setangkai pohon anggur yang dirawat dengan tangan dan hati.
Warga RT 02 RW 03 Desa Kunti mungkin tidak punya fasilitas mewah atau jalan mulus seperti di kota, tapi mereka punya sesuatu yang lebih mahal nilainya: rasa memiliki. Ketika satu rumah menanam anggur, yang lain ikut merawat. Ketika satu batang layu, yang lain ikut peduli. Di situlah letak kekuatan kampung ini---pada semangat gotong royong yang tumbuh seperti sulur anggur: pelan-pelan, tapi pasti merambat dan menyatukan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI