Redefenere, Menyibak Jalur Balik
Â
Bagaimana kami mengeja zaman, jika kata-kata ditinggal makna. Bagiamana menyelami kehidupan, jika makna makin bersembunyi dalam lipatan gelap kalimat-kalimat. Dan, begitulah, ketika definisi membelot dari realitas. Realitas memaksa setiap denyut defenisi kembali berdegup, meski hiruk pikuk ini, makin menyebar kabut-kabut kekaburan. Â
Â
Maka tanyalah kembali, apa visimu berkesenian, bersastra, berteater, berdansa dan bernyanyi. Alam menantangmu, maka kemanakah definisi qalbu engkau bawa lari dalam persembunyian? Â Â
Â
Gundah gulana jiwa penuh kerikil, ketika melepaskan pandangan pada lorong-lorong waktu yang bergerak seribu kelebat bayang yang tak utuh. Kebenaran telah tampil sebagai citraan belaka pada belantara layar kaca bercampur plastik pada zaman dimana rongga kepala hanya berisi lamunan virtual tentang kesucian.
Â
Anak-anak sejarah dalam musim semi ujung abad ini, diperangkap dalam lingkaran mimpi-mimpi tentang keabadian oleh semangat malam yang rindukan purnama.
Â
Danau jiwa yang telah kering karena teknologi kini melambung hasratnya tanpa ujung, menanti tetes-tetes embun dari akar-akar kitab Kebenaran yang terpendam dalam pada samudera kalbu semesta, yang ada disetiap kalbu yang gundah gulana.
Â
Â
# Sumber Puisi: Shaff Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam, Pustaka Refleksi, 2008.
MATINYA AKAL DI TAHTA KERAJAAN-NYA
Â
Setiap orang ditinggalkan defenisi, sebab defenisi bergabung bersama ayat-ayat suci untuk mengabdi pada Tuhan. Setiap orang telah kehilangan defenisi, karenanya mereka mencari agama untuk menemukan Tuhan. Setiap orang tidak lagi berdefenisi, sebab Tuhan telah menerangkan dirinya sendiri dalam kitab suci.
Â
# Sumber Puisi: Shaff Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam, Pustaka Refleksi, 2008.
Â
Â
Â
Â
HIKMAH KEABADIAN
Â
Bersemilah jiwa yang ditanam dalam genangan darah penderitaan karena rindu pada ketakterbatasan cinta. Bermekaranlah kelopak-kelopak bunga yang tumbuh karena tanahnya dialiri air kesucian yang terpendam dalam. Menyeruaklah aroma harum nafas yang dihembuskan pada riak angin yang berlari riang.
Â
Setiap zaman telah diutus manusia-manusia suci untuk memberi tanda akan keabadian. Namun setiap zaman pula, hasrat-hasrat lebih memilih berdiam di gundukan tanah-tanah yang senantiasa runtuh diguncang gempa. Peringatan disampaikan pada setiap denyut nadi kehidupan lewat matahari dan rembulan, yang tiada letih datang silih berganti menyampaikan berita.
Â
Indahlah jiwa yang menangkap setiap hikmah yang lewat bersama musim yang berlabu dan berlalu.
Â
# Sumber Puisi: Shaff Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam, Pustaka Refleksi, 2008.
Â
Â
Putaran waktu bergerak ke titik hampa yang penuh, labirin tanda berarak menuju ke waktu tak bernama dalam kepastian nyata, itulah sejarah sebagai bahtera Nuh, tempat manusia menumpang, berlayar ke pelabuhan Abadi.
Â
# Sumber Puisi: Shaff Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam, Pustaka Refleksi, 2008.
KENANGAN MANUSIA
Â
Manusia akan meninggalkan kenangannya pada gugusan abad yang berlari. Kenangannya ditimang-timang oleh generasi berikutnya sebagai buah pengetahuan. Dan pengetahuan adalah sungai yang hanya beranak dua: kebaikan dan keburukan.
Â
Manusia dari rahim bundanya dikejar kebenaran, yang berlari pada sepanjang darah yang mengalir dalam urat nadinya, menghadangnya disetiap detik pergantian waktu.
Â
Tapi manusia hanya menitipkan kebencian atau kecintaan pada kehidupan, yang juga segera menjadi kenangan.
Â
Â
# Sumber Puisi: Shaff Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam, Pustaka Refleksi, 2008.
Â
Â
Â
KESOMBONGAN ILMU
Â
Tumpukan buku-buku bercerita tentang dirinya sendiri, tentang kebenaran yang ada di mulutnya setelah mengunyah sepotong bintang dan sepenggal mutiara dari ketinggian cakrawala tak terhingga dan kedalaman samudera yang maha. Dadanya membusung seperti gunung yang berdiri di atas kaki kesombongannya; "kebenaran itu tunggal dan tidak boleh dibagi, itu hanya milikku sendiri", Ia berkata.
Â
Di atas meja ilmu, kebenaran jatuh sebagai cermin yang berkeping-keping. Setiap tangan memungut kepingannya yang runcing. Dan setiap jiwa, merasa memiliki kebenaran. Dan akhirnya, pada perjumpaan adalah perseteruan kebenaran, sebab sang kebenaran telah dibatasi dengan pagar-pagar kepemilikan. Setiap kaki yang melangkah jauh dari miliknya, maka runcing kepingan cermin itu akan menumpahkan darah.
Â
Tumpukan buku-buku di atas meja ilmu, hanya mengajarkan tentang cara memiliki bintang-bintang dan mutiara, tidak mengajarkan bagaimana menjadi bintang, bagaimana menjadi mutiara.
Â
# Sumber Puisi: Shaff Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam, Pustaka Refleksi, 2008.
Â
Keluh lidahku menyebut nama penghuni hati, sebab yang sering kubicarakan hanya penghuni yang menyalakan lentera di malam hari, dalam rumah berdinding tanah. Padahal cahaya dalam hati lebih terang dari nyala apapun.
Â
Suntuk mataku menyaksikan kebenaran yang lahir dari rahim hati yang bercahaya, sebab bola mataku adalah kunang-kunang yang ditinggalkan matahari dan bergabung dalam kegelapan sepanjang malam.
Â
# Sumber Puisi: Shaff Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam, Pustaka Refleksi, 2008.
Â
Â
 MANUSIA SUNYI DI PUSARAN PESONA BENDA-BENDA
Â
Lengking sunyi menemani patung-patung yang berdiri rapi di etalase peradaban, menawarkan masa depan sebuah masa pada setiap tubuh yang berpaling padanya. Patung-patung peradaban berdandan kilauan emas zaman purba, melambai tangannya pada generasi ranum, dan memberinya permen karet sebagai teman bagi mulut yang menganga karena ketakjuban pada pesona benda-benda, yang dipoles seperti patung emas yang melengking sunyi, menemani jiwanya yang sepi ditinggal matahari hati.
Â
# Sumber Puisi: Shaff Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam, Pustaka Refleksi, 2008.
Â
Â
Â
BUNDA SUCI MENGGENDONG BULAN LUKA
Â
Melepuh sudah lengan bunda menggendong bulan yang terluka. Manusia mengkhianati malam dengan pesta pora kemabukan diri, bersama botol-botol yang mulutnya berbusa nafsu sapi betina, yang lahir dari dusta semangat purba.
Â
Melepuh duka hati bunda di hantam tangan-tangan anaknya sendiri, yang meninggalkan kasih sayang rumah suci, pergi mencari sepotong cinta di depan kaki patung berhala yang berdiri bisu di kota-kota modern, sebagai menara kebesaran generasi manusia yang membakar kitab-kitab rekaman suara-suara langit atas nama kemajuan dan kemewahan.
Â
Bunda terasing dari tangis bayi yang lahir dari suci rahimnya, kini mendekap bulan terluka hingga tangannya melepuh. Generasi manusia mengingkari petuah-petuah bunda sendiri, yang telah menggendongnya sembilan purnama kemuliaan Ilahi.
Â
# Sumber Puisi: Shaff Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam, Pustaka Refleksi, 2008.
Â
Â
Waktu yang cacat dan telah purba dimusium-musium masa lalu, ia akan hanyut kembali pada sungai mengalir, datang menyempurnakan dirinya pada masa depan.
Â
Seperti perjalanan rohani sang sufi, yang pada anak tangga pertama langkah kakinya, ia mengenakan baju derita hingga ia tiba pada anak tangga terakhir tujuannya, ia mengenakan mahkota cinta di puncak kebahagiaan abadi.
Â
Kebenaran yang datang pada awal waktu ia akan tiba pada akhir waktu, demikian kata sang sufi.
Â
Â
# Sumber Puisi: Shaff Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam, Pustaka Refleksi, 2008
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI