Terlepas sudah adanya berbagai kurikulum transformatif seperti kurikulum merdeka dalam sistem pendidikan kita, tetap saja di berbagai tempat dan tingkatan kita masih melihat sekolah memperlakukan pendidikan sebagai sesuatu yang bersifat sangat teknis dan teknokratis.Â
Sejumlah contoh perwujudan teknokratisme itu adalah keharusan memberikan mata pelajaran dalam bahasa Inggris, menghafal mati materi demi mendapatkan nilai tinggi dalam ujian, mengutamakan ilmu eksakta di atas ilmu humaniora, dan lain sebagainya. Romo B-Herry Priyono menyebut ini sebagai 'gerhana humaniora' yang memang sedang luas menggejala (Ekonomi Politik dalam Pusaran Globalisasi dan Neoliberalisme, Penerbit Buku Kompas, 2022).
Akibatnya, sekolah-sekolah atau institusi-institusi pendidikan yang demikian gagal menjadi wahana bagi anak didik untuk melakukan perubahan diri ke arah yang lebih baik sesuai dengan potensi khas yang dimiliki masing-masing murid. Pendeknya, mereka gagap dan gagal menjalankan fungsi transformatif pendidikan.
Lima Prinsip Belajar Kera atau Monyet
Padahal, kegagapan ini sebenarnya dapat diatasi jika kita mau belajar dari kera alias monyet! Dalam buku Learning from Monkeys at the Monkey Training College (diterjemahkan sebagai Belajar dari Monyet, Grasindo, 1997), Rung Kaewdang, Ph.D menceritakan kisah seorang guru bernama Somporn yang memiliki ide membangun sekolah pelatihan monyet.Â
Awalnya, Somporn prihatin melihat monyet yang menjadi tenaga kerja petani untuk memetik kelapa ternyata sering mendapat hajaran dan sabetan keras. Pasalnya, monyet-monyet itu sering memetik buah kelapa yang belum matang.Â
Pengalaman ini sangat berkesan dalam diri Somporn dan mengundang rasa ibanya. Sehingga, ia pun bertekad membuat sekolah yang mampu mendidik monyet-monyet itu memetik kelapa dengan baik. Apabila monyet itu dapat dididik dan menunaikan tugasnya dengan baik, demikian Somporn berpikir, niscaya mereka pun tidak akan lagi menerima sabetan bertubi-tubi.Â
Tak dinyana sekolah yang didirikan Khruu Somporn pada 1957 dan diberi nama Akademi Pelatihan Monyet itu sukses besar. Banyak pakar pendidikan bahkan memuji konsep Somporn dan berpendapat metode mengajar Somporn juga dapat digunakan untuk mengajar manusia. Singkat kata, pedagogi kera akan bermanfaat pula bagi manusia.
Menurut Kaewdang, ada lima prinsip dasar dari teknik mengajar Akademi Pelatihan Monyet itu. Pertama, mulailah dengan kasih sayang. Perlakuan lemah lembut dari sang guru membuat monyet tidak merasa trauma dan takut untuk menjalani proses belajar-mengajar.
Kedua, learning by doing atau belajar dengan melakukan. Somporn membiarkan monyet melakukan kegiatan berulang-ulang sampai mereka mengembangkan pengalaman dan belajar bagaimana berkomunikasi, mempelejari bahasa, perintah, tugas, dan kewajiban. Somporn mengajak murid-muridnya bermain dan melakukan.Â
Ketiga, bergerak dari yang mudah ke sulit. Guru Somporn mengajar dengan metode terpadu progresif yaitu mulai dari kurikulum yang mudah sampai ke yang lebih sulit.    Â
Keempat, mengajar satu per satu. Karena setiap monyet itu berbeda dan unik, Guru Somporn memperhatikan masing-masing kebutuhan dan potensi siswa. Tidak ada keseragaman.
Kelima, guru bertindak sebagai teman baik para siswa dan membuat belajar itu menyenangkan. Belajar harus berlangsung bagaikan permainan supaya masing-masing anak didik dapat menyerap pelajaran secara wajar dan bahkan tanpa disadarinya.
Ringkasnya, lima prinsip itu dapat dikerucutkan menjadi metoda anti-kekerasan (toleran), berorientasi praktik (practice-oriented), bertahap (gradual), inklusif (merangkul perbedaan), dan menyenangkan (fun).Â
Relevansi bagi Kita
Betapa relevannya ajaran Akademi Pelatihan Monyet bagi sistem pendidikan kita di sini maupun di belahan bumi mana pun. Sebab, kelima prinsip di atas selaras dengan konsep pendidikan membebaskan Paulo Freire, yang ia ungkapkan dalam Pendidikan Kaum Tertindas (terjemahan, LP3ES, 1994). Itulah pendidikan yang mematahkan belenggu banking education alias pendidikan ala bank yang hanya menabungkan saldo ilmu pengetahuan ke dalam kepala anak didik, yang nantinya diharapkan bisa mendebet saldo pengetahuannya itu tatkala diperlukan.Â
Dalam pendidikan ala bank anak didik hanya dijejali dengan ilmu secara satu arah dengan tujuan utama mendapatkan nilai-nilai kuantitatif yang disasar dan kerap abai mengajarkan keterampilan hidup (life-skills) kepada murid.Â
Di sisi lain, konsep pendidikan Somporn jelas mengutamakan transformasi dan life-skills. Tujuan utamanya saja melatih monyet-monyet untuk terampil dan menghindari hukuman majikan mereka. Dan terbukti kelima prinsip pendidikannya sukses mencetak monyet-monyet yang cakap dan berprestasi cemerlang dalam hidup.Â
Prinsip-prinsip yang sama tersebut pun juga kemungkinan besar akan sukses diterapkan kepada manusia mengingat betapa banyak persamaan kita dengan hewan yang satu ini. Semoga pembelajaran ini membuat kita dapat menyaksikan lebih banyak lagi sekolah-sekolah transformatif ke depannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI