Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Film

Sore Istri Dari Masa Depan: Analisa Filsafat Waktu dan Kematian

20 Juli 2025   14:07 Diperbarui: 20 Juli 2025   14:13 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster film Sore: Istri dari Masa Depan (Sumber: detik.com)

Merujuk F. Budi Hardiman dalam "Hidup Menyongsong Kematian" (dalam Filsafat Maut, KPG, 2025) yang menguraikan ontologi kematian dari pandangan Heidegger,  manusia adalah Dasein (Dia-yang-berada-di sana) yang masing-masing memiliki cara berada unik dan tak tertukarkan dengan orang lain, termasuk soal mengatasi kematian. Manusia berada-di-sana karena terlempar (Geworfenheit) begitu saja, lahir begitu saja tanpa meminta.

Namun, manusia juga menyadari bahwa dia akan mati sehingga keterlemparan itu sudah menyiratkan kematian. Maka itu, manusia juga bersifat berada-menuju-kematian (Sein-zum-Tode). Dengan demikian, manusia memiliki 'keterarahan' yang terbuka terhadap dunia dan kepada akhir keberadaannya, yaitu kematian.

Kematian sebagai faktisitas kemudian bisa bisa disikapi secara ontis dan ontologi. Secara ontis, manusia seakan lari dari kematian dengan menganggap kematian masih jauh, sehingga dia tidak merenungkan makna eksistensialnya dan tidak bergumul dengan makna Ada-nya.

Akibatnya, manusia dengan sikap ontis terhadap kematian ini hidup dengan sesukanya, bersenang-senang dan tidak pedulian. Ini berujung pada cara mengada yang banal dan tidak autentik (uneigentlich).

Sebaliknya, penyikapan ontologis terhadap kematian membuat manusia merenungkan eksistensinya yang pasti akan mati itu secara mendalam sehingga menimbulkan kecemasan (Angst) eksistensial yang tidak bisa diraba objeknya, hanya bisa dirasakan dan digumuli untuk bisa mengada secara autentik dan mengisi keterarahannya dengan berbagai kemungkinan makna eksistensial yang ada.

Analisa Film Sore

Dari dua filsafat kematian itu, Tuhan bisa diibaratkan sebagai Waktu (chapter 3 film) yang menegasikan diri-Nya untuk membentuk kehidupan manusia yang di dalamnya sekaligus terkandung kematian. Keniscayaan kematian ini pasti menimbulkan kecemasan, apalagi dalam diri Sore yang sudah tahu jadwal kematian sang suami.

Berbekal pengetahuan ontologis soal kematian, Sore entah bagaimana bisa mengakses Waktu atau Tuhan Universal di mana semua individualitas bermukim, termasuk Johan. Di sinilah time loop dimungkinkan karena dalam Realitas Universal, waktu dunia lenyap. Yang ada hanyalah waktu serentak dalam Tuhan Universal.

Mengingat kematian itu niscaya, Sore hanya bisa berupaya mengisi makna hidup eksistentialnya dengan berbagai cara untuk mengubah takdir Jonathan. Tapi upaya mengubah takdir itu sia-sia, bahkan mengundang amarah Waktu, karena kematian memang melekat serentak dalam kehidupan.

Hanya saja, akses Sore terhadap Waktu Universal membuat dia dan Jonathan akhirnya sadar (dalam momen ending yang menghentak diiringi oleh suara Iga Massardi dari Barasuara) bahwa cinta mereka di keserentakan waktu itu abadi di dalam Tuhan. Inilah makanya Sore pada akhirnya ketika ditanya Johan yang kebingungan ada wanita asing di kamarnya "Siapa kamu?", dia tidak lagi menjawab, "Sore, Istrimu dari masa depan", melainkan "Sore, istrimu selamanya."

Jadi, film Sore adalah film religius dengan menggunakan filsafat dan rasio alih-alih khutbah dan kitab suci untuk mendedahkan keabadian Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun