Banyak pengamat mengatakan pemerintah saat ini sudah mulai kehilangan arah terkait perawatan nilai-nilai demokrasi yang sudah dicita-citakan sejak era Reformasi bermula pada masa kepemimpinan Presiden BJ Habibie. Prestasi bertahap yang dicapai sejak 1998 adalah pemisahan militer dari peran politik sipil, pemulihan nilai rupiah dan ekonomi, dan pemerintah yang terbuka terhadap kritik (William Liddle, BJ Habibie, Mizan, 2024). Namun saat ini berbagai prestasi itu nampak terkikis pelan-pelan seiring kian banyaknya personel militer menempati posisi sipil, melunglainya ekonomi, dan kesan kian kedapnya pemerintah terhadap aspirasi maupun kritik publik.
Salah satu faktor yang bisa kita salahkan untuk fenomena di atas adalah satu cacat bawaan pemerintah ini yang disandang sejak kelahirannya: keinginan membangun koalisi besar partai politik. Ini sedari awal dibungkus dengan konsep hegemonik dan dalih manis 'rekonsiliasi' demi kestabilan politik yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi.
Gencarnya kampanye wacana besar ini sedari pertama digagas sebenarnya mencemaskan dan mengandung bahaya akbar karena akan berpotensi memiminkam oposisi. Sehingga, pemerintahan Prabowo Subianto dikhawatirkan bisa berjalan sesuka hati (goes unchecked) dalam menjalankan berbagai kebijakannya.
 Padahal, salah satu esensi demokrasi adalah kuatnya oposisi, terutama oposisi formal di parlemen. Oposisi dalam suatu sistem demokrasi harus diposisikan sebagai seteru (adversary) ketimbang musuh (enemy). Musuh harus dikalahkan, sementara seteru adalah lawan bicara yang mengasyikkan karena memperkaya kita dengan sudut pandang berbeda. Â
Oposisi di DPR adalah bagian dari mekanisme checks-and-balances antara Negara yang memiliki kekuasaan begitu besar dan warga sipil yang terutama diwakili parlemen. Pun jika kebijakan pemerintah baik, tetap harus ada suara oposisi guna membuat kebijakan itu lebih sempurna.Â
Itulah sebabnya dalam demokrasi ada istilah oposisi yang setia mengkritik sekaligus tetap setia kepada Negara terlepas dari kritik pedasnya (loyal opposition). Bahkan, di negara-negara bersistem parlementer, oposisi sampai membuat tim kabinet bayangan (shadow cabinet), di mana setiap menteri bayangan dari kalangan oposisi akan terus mengkritik kebijakan menteri riil demi menghasilkan kebijakan yang terbaik bagi kepentingan rakyat. Alhasil, politik harus bisa merayakan perbedaan pendapat dari oposisi yang justru akan memperkaya perspektif dalam proses perumusan kebijakan publik.
Maka, ketiadaan atau minimnya oposisi sehingga oposisi tidak 'bergigi' sama saja menumpulkan demokrasi. Bisa saja suatu pemerintahan tetap ingin mempertahankan demokrasi dengan menyisakan segelintir oposisi. Namun, oposisi semacam ini tidaklah bertaji dan akan menciptakan kondisi demokrasi seolah-olah (pseudo-demokrasi) yang hanya menguntungkan elit penguasa dan meminggirkan massa-rakyat.
Maka itu, wacana 'koalisi besar' tidak akan bermanfaat bagi rakyat dan hanya membuat penguasa lepas kendali. Persis seperti yang diingatkan Lord Acton bahwa power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely. Â
Namun, berapakah persentase suatu koalisi bisa disebut 'besar' dan menumpulkan oposisi? Menurut Arendt Lijphard dalam Pattern of Democracy (1999), ada tiga kemungkinan koalisi pemerintahan. Pertama, koalisi kekecilan (undersized). Ini adalah koalisi yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen dan selalu diganggu oleh oposisi. Â
Kedua, koalisi tambun (oversized). Ini adalah koalisi yang terlalu ingin merangkul semua pihak untuk mendukung pemerintahan. Efek negatifnya adalah terlalu banyak pihak yang meminta "konsesi" berupa jabatan alias politik-dagang sapi yang justru berpotensi sekadar menguntungkan elit dan meminggirkan rakyat.
Ketiga, koalisi pas-terbatas (minimal winning coalition). Ini adalah koalisi ideal yang membentuk dukungan pas-terbatas di parlemen. Jumlah partai yang berkoalisi sekadar untuk mencapai dukungan mayoritas terbatas, yaitu 55 - 65 persen. Â