Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Becak Listrik sebagai Bagian dari Ikhtiar Islam Profetik

26 Maret 2025   20:33 Diperbarui: 26 Maret 2025   21:54 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover buku Muhammadiyah Berkemajuan dan Paradigma Profetik Islam (Sumber: dokpri)

Maret ini, salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Muhammadiyah, meluncurkan satu ikhtiar baru untuk turut serta dalam mengatasi permasalahan-permasalahan riil di tingkat masyarakat. Muhammadiyah memberdayakan Paguyuban Abang Becak KH. Ahmad Dahlan (PABELAN) melalui Becak Listrik (Betrik) 1912 yang diluncurkan pada Sabtu (15/3/2025) di halaman Hotel SM, Kota Yogyakarta.

Peluncuran dilakukan secara simbolis oleh Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Agung Danarto. Dia mengapresiasi gerakan program kolaboratif yang diinisiasi oleh Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah. "Pada bulan yang penuh berkah ini, di bulan yang penuh kepedulian, MPM bisa berkontribusi, peduli ke masyarakat bawah, dhuafa, mustadh'afin," ungkap Agung Danarto (Muhammadiyah.or.id, 15/3/2025).

Kalau kita lihat, di sini Muhammadiyah mampu bergerak di dua tataran. Pertama, Muhammadiyah bergerak di tataran pemberdayaan masyarakat dengan mendorong efisiensi bagi profesi tukang becak. Kedua, organisasi ini juga bergerak di tataran pelestarian lingkungan dengan meluncurkan becak listrik yang ramah lingkungan dan mengurangi polusi.

Pergeseran tafsir Al-Ma'un

Sebagaimana umum diketahui, Muhammadiyah adalah suatu organisasi yang didirikan oleh seorang tokoh agama progresif, K.H. Achmad Dahlan, pada 1912 di Yogyakarta. Adapun salah satu ajaran sentral dari organisasi masyarakat ini adalah teologi Al-Ma'un, yaitu surah 107 di dalam Alquran yang mengajari umat untuk membela kaum tertindas (mustadh'afin) seperti anak yatim. Teologi ini kemudian diterjemahkan ke dalam tiga pilar kerja, yakni healing (pelayanan kesehatan), schooling (pendidikan), dan feeding (pelayanan sosial). Secara kelembagaan, ini mewujud di dalam ribuan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan layanan kesejahteraan sosial yang lain.

Namun, sebagaimana ditulis Ahmad Najib Burhani dalam Muhammadiyah Berkemajuan (Mizan, 2016, hal. 103), telah terjadi pergeseran tafsir surah Al-Ma'un yang dipelopori oleh intelektual Muslim Abdurrahman. Tafsir lama generasi pertama menerjemahkan surah Al-Ma'un sebagai panggilan untuk melakukan amal karitatif dan pendirian lembaga terkait tiga pilar kerja untuk menolong orang yang miskin secara ekonomi.

Sementara itu, tafsir generasi kedua Muhammadiyah di era kontemporer menekankan bahwa definisi orang miskin tidak boleh dibatasi pada mereka yang miskin secara ekonomi, melainkan juga harus menjangkau mereka yang mengalami marginalisasi sosial, seperti petani, pemulung, dan tentunya juga pebecak. Bahkan, itu bisa meluas pada kelompok agama minoritas. Adapun caranya adalah dengan melawan sebab-sebab yang membuat mereka miskin, seperti kapitalisme global dan budaya kemiskinan.

Tafsir kontemporer Al-Ma'un ini tampak diperkuat oleh salah seorang intelektual Muhammadiyah lainnya, Prof. Kuntowijoyo. Sebagaimana diuraikan Heddy Sri-Ahimsa Putra daam Paradigma Profetik Islam (UGM Press, 2018, ha. 60-61), Kuntowijoyo menjabarkan ada tiga asumsi dasar paradigma profetik mengenai ilmuwan, yaitu: 1) orang yang berpengetahuan lebih tinggi daripada mereka yang tidak berpengetahuan, 2) orang yang berpengetahuan (ilmuwan) tidak akan menjilat penguasa, tidak akan mencintai dunia, dan tidak akan mengganggu orang-orang beriman, 3) ilmuwan wajib mengamalkan pengetahuan yang dimilikinya karena tanpa pengamalan ini,  pengetahuan tidak akan ada artinya dan tidak akan menyumbangkan apa-apa pada kehidupan manusia.

Artinya, seorang ilmuwan tidak boleh terlalu asyik dengan ilmunya dengan berdiri di atas menara gading. Sebaliknya, ia harus mengabdikan ilmunya itu secara konkret untuk kepentingan pemberdayaan kaum tertindak yang miskin karena faktor struktural seperti kapitalisme global.

Pada titik inilah, peluncuran becak listrik (Betrik) oleh Muhammadiyah menjadi pengejawantahan tafsir kontemporer Al-Ma'un di zaman sekarang. Dengan becak ini, pebecak sebagai bagian dari kaum miskin bisa melakukan kerjanya secara lebih efisien karena hemat bahan bakar, sehingga mampu mendatangkan lebih banyak setoran uang untuk dibawa pulang bagi kebutuhan keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun