Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kita Butuh Penghiburan Otak Perasa

9 Februari 2025   13:48 Diperbarui: 9 Februari 2025   21:52 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah dua bulan menapaki 2025, negeri ini tampaknya masih harus menguatkan diri menanggung banyak cobaan yang bertubi-tubi. Pasalnya, banyak bencana alam masih melanda Indonesia di tengah musim hujan seperti ini, seperti: banjir, angin puting beliung, tanah longsor, dan lain sebagainya. Terakhir, sejumlah indikator ekonomi seperti daya beli masyarakat dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah. Selain itu, jurang ketimpangan antara penduduk kaya dan miskin di Indonesia semakin melebar, yang dibuktikan oleh rasio ketimpangan (gini ratio) yang menyentuh 0,381.

Wajar jika suasana muram masih melanda negeri ini dan juga rakyatnya. Bahkan, ini berpotensi meningkatkan angka bunuh diri. Riset oleh Suchaini (2021) menunjukkan bahwa bahkan pada 2017, yaitu jauh sebelum pandemi lalu dan kesulitan ekonomi saat ini, data survey pengukuran tingkat kebahagiaan (SPTK) di Indonesia memaparkan 2 orang per menit di Indonesia merasa tidak bahagia, sehingga berpikiran untuk mengakhiri hidup.

Otak Perasa 

Suasana atau mood nasional yang masih muram ini tentu tidak boleh dibiarkan. Salah satu kunci untuk mengatasi situasi ini adalah perlunya kita sebagai bangsa terus memupuk harapan. Ikhtiar penting merawat harapan ini sesuai dengan teori Mark Manson dalam Everything is F*ked (di Indonesia diterjemahkan menjadi Segala-galanya Ambyar: Sebuah Buku tentang Harapan oleh penerbit Grasindo, 2020). 

Dalam bukunya itu, Manson mengemukakan bahwa ada salah kaprah terkait dengan peranan rasio dalam diri manusia. Karena manusia selama ini dianggap sebagai makhluk superior dengan kekuatan akal-budinya, terbersit asumsi bahwa rasio atau Otak Pemikir-lah yang menjadi penentu tindak-tanduk, kesuksesan, dan kebahagiaan seseorang. Padahal, justru Otak Perasa yang menjadi pengemudi perilaku seseorang. Sementara, Otak Pemikir sejatinya hanya berperan sebagai penumpang yang memberikan justifikasi bagi narasi-narasi yang dirasakan dan disusun oleh Otak Perasa.

Artinya, jika Otak Perasa seseorang mengalami perasaan yang ambyar atau membentuk narasi-narasi bawah-sadar yang pesimistis dan minim harapan, perilaku orang tersebut akan bersifat self-destructive atau menghancurkan diri sendiri sekaligus menjauhkan dia dari hidup yang bahagia. Narasi-narasi yang disusun oleh Otak Perasa bersifat lengket, melekat erat di benak, dan menempel pada identitas kita seperti pakaian basah yang pekat. Narasi itu kita bawa ke mana-mana dan itulah yang mendefinisikan diri kita. Kita pun saling bertukar cerita dengan orang lain dan mencari-cari orang yang mempunyai cerita yang sesuai dengan cerita kita. Kita menyebut orang-orang tersebut sebagai sahabat, teman, dan orang-orang baik. Narasi itu menentukan bagaimana kita menilai diri sendiri, bagaimana kita menempatkan diri di dunia, dan bagaimana kita menyesuaikan diri dengan sesama.

Karena itu, narasi pesimistis perlu diputarbalikkan dengan menumbuhkan saluran-saluran yang bisa berperan melakukan kanalisasi kesedihan. Sehingga, kita bisa menyusun narasi-narasi optimistis penuh harapan, melanjutkan hidup, seraya mencegah Otak Perasa mengembangkan narasi suramnya menjadi perilaku yang kontraproduktif bagi pengembangan diri. Karena sifat Otak Perasa seseorang yang mengembangkan narasi secara efek bola salju (snowballing), narasi-narasi penuh harapan akan berkembang-biak menjadi perilaku yang lebih positif bagi hidup orang itu di masa depan. Ibarat kata, saat sedih, silakan kita menangis sebentar, tapi kita harus segera melupakan dan terus menjalani hidup. 

Secara konkret, narasi-narasi optimistis bisa kita pupuk dengan dua cara. Pertama, media konvensional maupun media sosial harus mulai membuat dan menyiarkan konten-konten menghibur yang sensitif-konteks dan sarat pesan-pesan menyemangati (uplifting messages). Industri kreatif harus digiatkan untuk membuat acara-acara seperti konser musik, pementasan teater, pemutaran film, penampilan komedi, khutbah keagamaan dan lain sebagainya guna menghibur masyarakat secara luas.

Kedua, negara juga harus menjalankan peran aktif sebagai aktor utama yang meringankan penderitaan ekonomi rakyat dengan terus menggelontorkan insentif-insentif dan bantuan sosial yang tepat-sasaran. Di sisi lain, pemerintah pun harus menahan diri dari mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bisa memperberat rakyat, seperti kenaikan harga dan tarif. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun