Melewati 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo, saya melihat fenomena menarik, yaitu betapa banyak masyarakat mengelu-elukan beliau baik di media massa konvensional maupun sosial. Ini terbukti dari tingkat kepuasan (approval rating) yang mencapai 80 persen. Bahkan ada yang mengatakan betapa Prabowo looks very presidential atau bahasa gampangnya 'punya potongan jadi Presiden.'
Puja-puji ini mungkin karena Presiden Prabowo mampu mempertahankan pemilih loyalnya sekaligus mampu menarik pemilih Presiden Joko Widodo yang kini mengalihkan 'pemujaan' kepada Prabowo seusai Joko Widodo tak lagi menjadi Presiden. Alasan yang lain adalah karena masyarakat kita masih tercengkeram oleh Mitos Ratu Adil.
Dalam khazanah budaya, Mitos Ratu Adil akrab dikenal sebagai mileniarisme. Itulah paham yang berwatak messianistik, yaitu berpendapat bahwa seorang juru selamat (messiah, mesias) akan tiba untuk membawakan kesejahteraan dan keselamatan di muka bumi. Di Inggris kita kenal misalnya legenda Raja Arthur yang akan bangkit dari kubur pada akhir zaman membawa kesejahteraan. Atau, umat Islam mengenal kedatangan Imam Mahdi. Sementara, Indonesia sangat meyakini kebenaran Ratu Adil. Biasanya, paham ini tumbuh subur di dalam suatu negara tempat kondisi sosial-politik-hukum-ekonomi mereka penuh dengan ketimpangan dan
ketidakadilan.
Lagu Lama, Kemasan Baru
Beranjak dari wawasan teoretik di atas, 'pemujaan' terhadap Presiden Prabowo sejatinya lagu lawas "Ratu Adil" yang dibungkus ulang (repackaged) dalam kemasan baru, persis seperti tembang-tembang zaman baheula yang dipopulerkan kembali oleh band-band musik masa kini. Tentu kita masih ingat betapa di dalam masa-masa awal Reformasi, rakyat memandang Gus Dur dan Megawati sebagai pasangan juru selamat yang bakal membawa negeri ini menuju kesejahteraan yang sudah lama diidam-idamkan. Tatkala Gus Dur terjungkal dari tahta kekuasaan untuk digantikan Megawati, orang kembali menaruh harapan bahwa putri sang
Proklamator akan mampu membawa angin segar yang diharapkan. Akan tetapi, kembali rakyat menaruh kecewa dan mengalihkan harapan mereka kepada kandidat Ratu Adil yang lain, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pada pemilu 2009.
Sayangnya, cerita lama lagi-lagi terulang. Di tengah himpitan kesulitan ekonomi dan kurang responsifnya para elite politik kala itu, rakyat yang jengah dengan tingkah polah para elit yang pongah mau tak mau mencari-cari figur "Ratu Adil" lain yang menjanjikan harapan baru. Dan, tokoh itu ditemukan dalam diri Jokowi. Sebab, Jokowi kadung tercitrakan sebagai tokoh bersahaja yang
dipersepsikan sebagai seorang juru selamat yang siap mewartakan kabar gembira pada 2014. Hasilnya adalah selama 10 tahun kepemimpinan beliau hingga 2024, Joko Widodo terkenal sebagai tokoh penuh kontroversi bagi demokrasi pun ketika beliau sudah turun tahta. Kini, harapan dan gelar Ratu Adil pun berpindah kepada Presiden Prabowo Subianto.
Memang , di sinilah letak persoalan kita. Mitos "Ratu Adil" membuat pikiran kita selalu terarah pada kekuatan figur, sosok, atau persona sebagai penyelesai masalah. Kita jadinya terlalu fokus pada aktor, bukan faktor. Maksudnya, Mitos "Ratu Adil" melenakan kita dari memperhatikan faktor-faktor struktural dan sistemik seperti faktor perundang-undangan (faktor legislasi) yang belum sempurna; pranata yang belum berfungsi optimal (faktor institusi); dan mentalitas yang belum kompatibel dengan bangunan
demokrasi yang hendak kita cita-citakan (faktor mentalitas atau mentality). Alhasil, pembiaran berkecambahnya mitos "Ratu Adil" justru menjauhkan kita dari proses pemecahan masalah yang konkret dan hanya akan memerosokkan kita ke dalam kegagalan berulang sebagaimana sudah kita kecap di masa lalu. Parahnya lagi, Mitos Ratu Adil membuat orang abai dan permisif terhadap kekeliruan apa pun yang dilakukan oleh sang Ratu Adil dan justru menyalahkan faktor, figur atau sosok lain. The messiah can do no wrong, begitu kira-kira slogannya. Â
Oleh karena itu, sudah saatnya kita berhenti terlalu mengagungkan satu sosok tertentu---siapa pun dia dan betapa pun hebatnya dia---sebagai messiah atau "juru selamat". Alih-alih demikian, sudah waktunya kita menggalang dan menghimpun langkah kolektif untuk membenahi struktur dan sistem kita seoptimal mungkin demi meminimalkan potensi adanya gerak liar aktor-aktor politik kasar dalam mengangkangi hak-hak rakyat yang mendasar. Dengan kata lain, meminjam pendapat sosiolog Emile Durkheim yang menyatakan fakta sosial sebagai cara bertindak dan berpikir yang mampu melakukan pemaksaan dari luar terhadap individu (Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, UI Press, 2004), sistem politik demokratis sebagai fakta sosial akan mampu memaksa bahkan pemimpin berkualitas sedang-sedang saja untuk berkinerja baik. Ibarat kata, ikan kotor pun akan terbasuh bersih dalam air yang jernih.
Namun, kalau pun perubahan cara berpikir itu tidak bisa dilakukan secara cepat, maka terpulang kepada Presiden Prabowo unotuk menggunakan tren Mitos Ratu Adil itu secara positif. Yaitu, sebagaimana pernah saya tulis di artikel Kompasiana beberapa waktu lalu, Presiden Prabowo harus mempraktikkan mileniarisme demokratis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI