Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pasar Kobong Terbakar

29 Januari 2022   09:43 Diperbarui: 29 Januari 2022   17:07 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pasar Terbakar (Sumber Foto: news.detik.com)

Saat pendadaran atau ujian bagi para siswa yang akan wisuda, aku diminta mendhalang di bangsal Sri Manganti, sebuah bangsal yang dahulu digunakan untuk tempat transit para nayaka praja yang akan menghadap Sri Sultan.  

Sekarang ini, bangsal tersebut digunakan untuk acara-acara yang bersifat kesenian tradisional.  Seperangkat gamelan kraton digelar di situ, jika hari Jumat macapatan, hari Sabtu pertunjukan wayang dari jam 8 pagi sampai 12 siang.

Istri dan empat orang anakku menonton pertunjukan wayang bapaknya, saat pendadaran itu.  Sebenarnya aku bahagia sekali, dapat mendhalang dengan diiringi pengrawit yang sepenuhnya adalah abdi dalem kraton.  Ki Bekel Cermo Sutejo yang hampir setiap seminggu sekali kukunjungi rumahnya untuk belajar sabetan wayang, memegang rebab.  Sedang gender, sebagai penuntun suara untuk suluk dan timbre atau nada tokoh-tokoh wayang dipegang oleh Mas Lurah Surya Kadulu.  Sindennya hanya seorang Ni Mas Wedana Dra. Sekar Nawangsari.

Usai petunjukan, ada seorang turis asing datang dan menyalamiku saat melepas surjan dan jarik.  "Very good, very good," demikian sapa turis yang mengaku bernama Nick Amstrong ini.  

"Bagaimana Anda bisa mengatakan sangat bagus mister?" demikian tanyaku sambil menggulung stagen, semacam selendang pengikat perut.  Nick yang kemudian mengaku dari Texas, Amerika ini hanya tersenyum kemudian memfotoku.  Setelah itu ia memberi alamat emailnya.  Dia pesan supaya saya mau tulis email kepadanya.  Saya mengangguk-angguk saja. 

Walau dari segi keuangan, rencana pentas di pasar Kobong tidak ada masalah, tetapi dari tematik pertunjukan ini yang membuatku beberapa hari sebelum manggung agak menyusahkan.  

Rupanya, pentas wayang yang diharapkan mengambil lakon "Hanoman Dhuta" ini adalah sebagai upaya menunjukkan semangat para pedagang ayam yang bersatu tidak mau direlokasi ke tempat mana pun.  Karena alasannya, mereka sudah memiliki pelanggan dari berbagai tempat, dan pasar mereka sekarang inilah merupakan tempat yang strategis.  

Dasar pemikiran lainnya adalah bahwa hasil penelitian amdal selama ini yang menyebutkan bahwa limbah dari air yang digunakan untuk mencuci ayam potong, sudah mencemari sumur warga sekitar adalah tidak benar.  Alasan itu adalah sangat dicari-cari karena selama ini tidak ada keluhan warga masyarakat sekitar tentang hal itu.

Memainkan wayang (Dok.Pri)
Memainkan wayang (Dok.Pri)

Gamelan pelog slendro sudah tertata rapi.  Layar sepanjang 4 meter telah terpancang pada tiang gayor.  Rumbai-rumbai berwarna merah dengan lis berwarna kuning keemasan menjadi semacam pasepartu bagi kelir yang berwarna putih bersih.  Anak-anak wayang sudah disimping, ditata menurut bala kiwa dan bala tengen.  

Teman-teman pengrawit dan sindhen Murwati Jooyy, Nunik, Endah, Sri dan Esti dari Sleman sudah datang sejak jam 6 sore tadi.  Sesudah istirahat sebentar dengan makan dan minum, kemudian mereka menata diri.  Jam 20.00 tepat kami naik panggung.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun