Mohon tunggu...
Rizki Edmi Edison
Rizki Edmi Edison Mohon Tunggu... -

Medical Doctor / Ph.D in Neurosurgery

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Maraknya Survei dan Kampanye Negatif menjelang Pemilu 2014

10 Februari 2014   14:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:58 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13920257091699443786

[caption id="attachment_321715" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]

Tidak bisa dipungkiri bahwa menjelang pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) 2014, muncul berbagai hasil survey yang memperlihatkan popularitas ataupun elektabilitas partai politik (parpol) peserta pemilu ataupun capres (calon presiden) yang akan akan diusung. Bukan hanya survey saja yang semakin banyak akhir-akhir ini, opini negatif baik dari parpol maupun capres yang akan ikut berkompetesi terhadap lawannya.

Mari kita lihat tentang survey terlebih dahulu.

Publikasi hasil survey di media massa tentu memancing pertanyaan tersendiri. Bukankah hasil survey itu jauh lebih dibutuhkan oleh parpol ataupun capres yang akan bersaing untuk meraih suara terbanyak di pemilu tahun ini? Jika demikian, mengapa harus ditampilkan di masyarakat luas. Apakah hasil survey itu ada manfaatnya bagi kita sebagai calon pemilih di pemilu kali ini?
Dari berbagai penelitian yang telah dipublikasi di berbagai jurnal ilmiah, dihasilkan kesimpulan bahwa hasil survey bisa menentukan seseorang kala mengambil keputusan tentang parpol ataupun capres yang akan mereka pilih.

Adapun efek yang terjadi bagi calon pemilih akibat publikasi hasil survey tersebut adalah contagion effect dan bandwagon effect. Kini mari kita lihat satu persatu kedua efek tersebut.
Saat seseorang melihat hasil survey yang menempatkan seorang capres (kita misalkan saja sebagai A) memiliki tingkat popularitas dan elektabilitas yang tinggi, maka ia akan berpikir "Jika capres tersebut begitu disukai masyarakat, berarti beliau memang layak untuk dipilih. Responden tidak mungkin begitu bodoh memilih capres yang tidak memiliki kemampuan." Inilah yang dinamakan contagion effect.

Di saat yang bersamaan, kita sebagai manusia memiliki kecenderungan untuk ikut melakukan sesuatu hal hanya karena banyak orang lain melakukan hal serupa. Dengan contoh serupa pada contagion effect, seseorang ikut memilih capres A karena banyak orang yang juga memilihnya.
Karena adanya dua efek yang bisa terjadi pada calon pemilih dan memberikan pengaruh di hari H kala menetukan pilihan parpol ataupun capres yang akan dipilih, maka sejatinya survey tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari strategi kampanye politik. Menjadi hal yang bisa dipahami mengapa parpol ataupun capres tertentu begitu bernafsu agar mereka bisa berada di deretan teratas hasil survey. Alasannya tak lain karena hasil survey tersebut memang bisa mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan.

Idealnya, survey tentang popularitas dan elektabilitas parpol ataupun capres dilakukan oleh pihak yang benar-benar netral dan tidak memiliki kepentingan apapun terhadap hasil pemilu. Sifat netral ini bisa diperoleh jika media massa yang menjadi pelaksana surveynya. Sayang sekali, Indonesia saat ini, justru pemilik media massa lah yang menjadi pimpinan parpol ataupun ikut berkompetisi sebagai capres. Meski hendak melihat dan lebih mempercayai hasil survey yang dilakukan lembaga tertentu, ternyata malah diberitakan secara terang benderang bahwa lembaga yang melakukan surveypun ternyata menjadi konsultan parpol ataupun capres tertentu. Di mana lagi bisa kita temui hasil survey yang dilakukan oleh lembaga yang benar-benar independen dan netral?

Meski contagion effect ataupun bandwagon effect bisa terjadi pada banyak orang, bukan berarti ada jaminan bahwa seluruh calon pemilih akan memilih parpol ataupun capres yang diunggulkan di berbagai survey. Ada satu hal yang dinamakan ingroup bias, di mana seseorang cenderung untuk selalu membela orang lain ataupun kelompok tertentu hanya karena seseorang tersebut merupakan satu kelompok dengan dirinya. Dalam hal pemilu kali ini, seburuk apapun berbagai media massa memberitakan capres ataupun parpol tertentu, hal itu sama sekali tidak akan mempengaruhi mereka yang mengalami ingroup bias untuk tetap memilih parpol ataupun capres yang berasal adari kelompoknya.

Karena adanya kecederungan calon pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya di berbagai pemilihan kepala daerah (pilkada), maka membentuk seseorang untuk bersikap ingroup bias merupakan satu langkah penting untuk meraih kemenangan di Pemilu 2014. Contoh sederhananya seperti ini; terdapat sepuluh orang calon pemilih, di mana hanya enam orang yang menggunakan hak pilihnya. Dari enam orang tersebut, dua orang memilih partai (kita namakan saja sebagai X) karena faktor ingroup bias. Dua orang ini sama sekali tidak terpegaruh oleh hasil survey yang menempatan Partai X sama sekali tidak popular dan memiliki elektabilitas yang sangat rendah. Akibatnya, Partai X bisa dinyatakan sebagai pemenang dari 12 parpol peserta pemilu meski hanya dua orang yang memilih partai ini.

Seperti yang telah tertulis di judul, kampanye negatif pun marak dilakukan oleh parpol ataupun capres terhadap kompetitornya. Apakah ucapan yang menjelekkan kompetitornya merupakan hal yang dilarang dan tidak berguna? Sampai saat ini saya belum pernah melihat aturan yang melarangnya. Dan jika ditanya apakah kampanye negatif tersebut akan efektif, maka jawabannya adalah bisa efektif. Tentu ada sifat manusia sebagai calon pemilih yang menjadikan kampanye negatif itu memberikan hasil yang diinginkan oleh pelakunya.

Salah satu sifat manusia sebagai calon pemilih yang menjadikan kampanye negatif banyak digunakan adalah negativity bias. Di mana manusia lebih cenderung untuk tertarik dan menaruh perhatian pada berita-berita negatif. Menurut berbagai penelitian, berita negatif ini memberi efek lima kali lebih besar daripada berita positif. Jika dibutuhkan lima berita yang menggambarkan kebaikan seseorang dan membuat pembaca mempercayai hal itu, maka hanya dibutuhkan satu berita negatif saja untuk meyakini pembaca bahwa seseorang tersebut adalah buruk adanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun