Mohon tunggu...
Susy Ayu
Susy Ayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis dan pelukis

Penulis buku puisi Rahim Kata Kata dan buku kumpulan cerpen Perempuan Di Balik Kabut

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setangkai Lili dari Peking

28 Januari 2014   13:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:23 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1390889396336056195

Dulu orang bertanya-tanya, apa yang terjadi jika sebuah benda dibelah terus –menerus, terus dan terus, kecil dan makin kecil? Tak seorangpun bisa melakukannya. Kemudian datanglah seorang laki-laki yang cerdas dan tak henti mempertanyakan kenyataan dunia yang dilihatnya. Kalian tahu apa yang dia katakan? Ia bilang, pekerjaan belah-membelah semacam ini tak bisa dilakukan terus- menerus. Pada akhrinya orng akan tahu bahwa itu pekerjaan mustahil. Itu pelajarannya, seseorang harus berhenti pada waktunya, ia harus menyadari kemampuannya sendiri. Pada saat itulah , orang akan sampai pada bagian yang tak bisa dibagi lagi. Inilah: atom! Dan laki-laki yang cerdas itu bernama Demokritus.

Selain soal Demokritus, aku tercenung oleh ucapan guruku dulu bahwa aku harus menyadari kemampuanku sendiri. Kemampuan bertahan untuk terus tingal di rumah bersama papa, kemampuan untuk mananggung perasaan papa yang terlanjur kehilangan prasangka baik terhadap dunia, hingga mengubah dirinya menjadi lebah pekerja tak bernama di antara kerumunan sejenisnya, mengira bahwa dunia disusun dari berbatang-batang korek api yang bisa dihitung jumlahnya. Aku menyerah untuk menanggungkan papa yang demikian. Papa yang selalu siap melakukan penyederhaan yang picik, mungkin lebih tepat keras kepala, meskipun di atas semua itu papa cuma seorang ayah yang berusaha melindungi dan menjamin kesejahteraan keluarganya. Kekeraskepalaan papa seringkali membuatnya jauh dari mama dan aku, sungguh ia seorang papa dan suami yang otoriter. Aku menyerah.

Dulu opa adalah pemilik opera Peking. Ia melatih pemain-pemainnya sendiri, mengajari mereka keindahan dan bagaimana hidup dari menciptakan keindahan. Opa dan papa sangat bangga dengan itu, seperti tak ada kehidupan lain di luar itu. Tapi hal-hal terjadi, sebagian terlalu buruk, hidup seperti menumpang di negeri sendiri, tak boleh memilih pakaian kita sendiri, tak boleh merayakan kegembiraan kita sendiri. Aku belum lahir ketika kejadian itu berlangsung. Ada baiknya aku tak merasakan bahwa ada kehangatan dari yang selama ini aku alami.

Kadang aku berpikir, akan lebih baik kalau seseorang tak memiliki kenangan manis. Semua bisa mengubah orang-orang menjadi seperti papa sekarang. Tapi aku tahu, cinta mama membuat papa tak pernah berubah di mata mama. “Papa tetap laki-laki yang hangat, Papa cuma sedang marah. “ Begitu kata mama.

Papa selalu marah menghadapai apapun bahkan untuk segelas air es yang tidak ditemukan di dalam kulkas.

“Bing! Di mana air es?” Papa berteriak.

“Mama bobo,Pa. Mama demam. Air es habis, butuh beberapa jam untuk mendinginkannya lagi. Pa bisa pakai es batu kalau mau.” Aku menjawab dengan kegusaran yang terpendam.

“Mau jadi apa kau ngomong begitu sama orang tua? Aku ngurus pabrik seharian, tahu untuk siapa? Untuk kamu! Kalau aku pulang, apa yang kuinginkan? Air es! Air es tanpa es batu. Ngerti nggak? Kamu mau gantikan Papa ngurus pabrik? Kerjamu cuma sekolah, nonton tv, sibuk foto ini itu. Kalian semua nggak berguna!”

“Papa nggak boleh menghina mama. Papa nggak boleh menghina hobi Lili. Lili cuma bisa motret, Lili senang berada di tempat lain selain di rumah ini, Lili nggak bisa kayak papa ngurus pabrik dan pernah punya opera terkenal.”

Plak! Papa menamparku. Aku berdiri menatapnya tajam. Sementara papa sibuk menciptakan duniaku seperti kisah opera yang bisa dia atur dengan skenario di kepalanya. Apakah papa juga membenciku seperti dia membenci pribumi?

“Pacaran kamu sekarang sama pribumi?” Suatu hari Papa menegurku dengan keras, di depan rumah ketika Iwan baru mengantarku pulang dari pameran photography. Aku tidak diberinya kesempatan bicara.

“Berapa lama kamu ngabisin duit orang tuamu? 18 tahun? 19 tahun? Dan berapa harga tuh mobil kamu? Puluhan juta, ratusan juta? SMA kamu sudah minta mobil, kalo kuliah kamu minta apa? Ganti mobil yang ada TV nya sekalian? Kamu kuliah, taruh kata tujuh tahun, tigatahun kamu habiskan di diskotik dan pusat pertokoan !” Papa tidak bisa berhenti bicara. Kemarahannya meluap kepada Iwan.

“Itu untung kalo kamu nggak narkoba. Kalo kamu narkoba, mabuk, ketagihan, orang tuamu akan menghabiskan berapa puluh juta lagi untuk mengirimmu ke rehabilitasi. Dikira saya tidak tahu? Terus berapa ratus juta lagi untuk mobil baru? Biar perasaanmu senang, biar kamu lupa sama narkobamu. Kalau kamu lulus, jadi Insinyur, itu udah untung banget. Kamu akan tetap dibayar untuk bikin diskotik baru, mall baru agar anak-anakmu bisa belanja lebih gila-gilaan lagi. Generasi apa kamu?”

“Tapi om...” Iwan kelabakan. Aku erat menggenggam tangan Mama.

“Terus hari ini kamu habis bawa anak saya, dengan mobilmu yang warnanya kolokan itu. Kamu mau pamerin ke saya? Ke anak gadis saya?”

“Tapi ,om..saya tidak bermaksud sejauh itu..”

“Oya? Terus kamu mau apa? Kalau saya tidak kasih , kamu hamilin dia nanti. Begitukan caranya? Dikira saya tidak tahu? Terus saya terpaksa kasih anak saya, terus karena kamu nggak bisa kerja, seminggu sekali anak saya akan pulang sambil nangis, minta duit sama saya!”

Saat itu aku adalah gadis 19 tahun yang hidup di negeri seseorang, dengan ayah yang jadi menyebalkan karena tidak boleh bermain barongsai. Tiba-tiba aku merasa menjadi orang Cina, perasaan yang tidak pernah kumiliki sebelumnya. Aku tahu, aku memang cina, bermata sipit, seperti beberapa ratus ribu orang lainnya. Tapi apa bedanya dengan yang lain? Aku belajar Pancasila seperti mereka. Duduk di kelas seperti mereka. Tolol seperti mereka. Aku bertanya-tanya, apakah mereka merasa seperti pribumi?

Dan Iwan memang pribumi di sekolah kami, dan dia bawa mobil. Orang pikir Cina selalu kaya, dan papa mungkin kecewa dengan hidupnya, meski ia pekerja keras. Awalnya aku tidak mau naik mobil Iwan, nanti dikira aku matre. Apalagi aku sipit. Apakah Iwan merasa menjadi cina karena dia pakai mobil dan sekolah di sekolah swasta? Apakah papa merasa jadi pribumi karena dia tingal di negeri ini? Papa tidak bahagia, apapun tidak lagi menyelamatkannya. Aku tidak tahu lagi apa yang dibutuhkan papa, mungkin dia tidak ingin menjadi binatang pencari uang tetapi bagaimana ia bisa tahu hal itu? Dia tidak diijinkan menjadi yang lain, opera opa sudah dibubarkan. Ah, Aku ingin tempat lain, tidak mau duduk di sini, waiting like a fool, menunggu kereta dengan jurusan entah.

Dan kini malam Imlek, seperti dari tahun ke tahun aku merayakan dengan kekhidmatanku sendiri. Tak ada mama, tak ada papa. Kerusuhan Mei telah menghanguskan pabrik papa, merenggut jantungnya untuk kemudian mama menyusul papa dengan cintanya.

Mungkin orang-orang akan megejekku, karena aku Cina, mahasiswi antropologi yang gemar menjadi relawan di tempat yang begitu banyak kematian merenggut. Mungkin di mata orang-orang aku hanya turis yang kebingungan mencari cara untuk pelesir, yang bepergian sejauh ribuan kilo ke sebuah tempat di mana orang –orang saling berbunuhan dengan saudaranya, seperti di Ambon. Juga mengajarkan anak-anak kecil di pengungsian korban Merapi. Kalian bisa saja menuduhku aku bersedih dengan cara yang mewah,mengambil gambar- gambar mereka dan menjadikannya wallpaper di komputer, bersama monumen kesedihanku yang lain.

Benar aku mencari alasan yang paling sederhana untuk melakukan sesuatu, untuk menghidupkan sesuatu, untuk sesuatu yang lebih baik, setidaknya kematian orang tuaku, setidaknya rasa kehilangan, kenangan-kenanganku. Kalian akan mengejekku, tapi mungkin itu satu-satunya hal yang bisa kuraih, untuk bertahan dan berjalan terus. kangen Pa, kangen Ma, kangen rumah. Pa, Ma ayo kita bermain opera Peking dan barongsai, Gong Xi Fat Chai !***

dimuat di Minggu Pagi Yogyakarta, 4 Feb 2011

Susy Ayu

Feb 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun