"Din, kamu tidak boleh egois. Kamu ini sudah mau beranjak dewasa, benar kata Paman kamu Din, kasian mereka yang sudah membesarkanmu dengan susah payah. Sekarang bahagiakanlah mereka Din, bagaimanapun juga mereka rumah untukmu," ucap Fani sembari memelukku.
Pagi ini aku pulang kerumah Paman dan Bibi. Benar kata Fani, bagaimanapun juga merekalah yang membuatku sukses sampai hari ini. Merekalah yang mengajariku arti warna-warni dalam hidup. Sesampainya dirumah Paman dan Bibi aku langsung memeluk Paman, lagi-lagi ku tumpahkan bulir bening itu menetes deras di pipi.
"Paman maafkan Dinda, Dinda salah, Dinda egois hanya ingin menerima warna-warni saja tanpa melihat ada hitam putih yang menjadi titik dalam hidup. Benar apa kata Bibi, suatu saat pasti akan ada suatu warna hitam putih dalam duniaku." Aku tak kuasa berkata banyak, karena air mata ini selalu membuatku terpaku dalam diam.
"Sudah nak, Paman juga minta maaf semalam tak bisa menahanmu pergi. Paman malah marah padamu." Paman meneteskan air matanya, sungguh baru kali ini aku melihat Paman menangis di hadapanku karena kecerobohanku ini.
Setelah kejadian itu, kini aku merubah pola pikirku menghapus hal konyol yang pernah tercipta dan memulai dunia baruku kembali. Aku berjanji siapapun aku, dari keluarga manapun aku berasal, bahagia harus aku dapatkan.Â
Aku menyadari, dalam hidup tentunya tak hanya ada warna-warni saja, ada banyak warna hitam putih terselip didalamnya. Siap tidak siap, suka tidak suka aku harus menerima semua warna itu.