Mohon tunggu...
susilawati 16
susilawati 16 Mohon Tunggu... Relawan - Jauh dari kata sempurna

Terbentur, terbentur, terbentuk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Duniaku dan Seisinya (Susilawati)

5 September 2021   07:00 Diperbarui: 5 September 2021   07:00 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sesampainya di rumah, aku langsung memberitahu nilaiku kepada Bapak dan Ibu. Kebetulan mereka sedang berada di ruang tengah.

"Pak, Bu, aku lulus dan masuk 5 besar siswa lulusan dengan nilai terbaik." Ucapku penuh kegembiraan.

Namun terlihat Ibu dan Bapak sedang bertatapan seakan ada sesuatu yang ingin diberitahukan.

"Nak, duduklah sebentar. Bapak dan Ibu ingin bicara sebentar. Tak terasa kamu sudah remaja dan akan beranjak dewasa ya, Bapak dan Ibu bangga sekali atas segala prestasimu dan keberanianmu mengenal duniamu sendiri. Ibu yakin kamu adalah anak yang kuat dan mandiri. Sekarang mungkin waktu yang tepat untuk kamu tahu siapa kami sebenarnya." 

Penjelasan dari Ibu membuatku semakin kebingungan, kemudian dilanjut oleh penjelasan Bapak yang langsung menuju pada inti dan membuatku tercengang tak menyangka.

"Nak, sebenarnya kamu bukan anak kandung Bapak dan Ibu. bapak dan Ibu adalah Paman dan Bibi kamu. Dulu Ibu kandung kamu meninggal 2 minggu setelah melahirkanmu karena penyakitnya kambuh dan tak bisa tertolong karena sudah menyebar. Bapakmu menikah dengan wanita lain dan hidup di rumah istrinya tanpa membawamu. aat itu pula kami langsung mengangkat kamu jadi anak kami karena memang sampai saat ini kami belum dikaruniai anak kandung. Mohon maaf nak, Paman baru bisa katakan sekarang apa yang sebenarnya terjadi dengan duniamu." 

Jelas paman yang membuatku sedari tadi tak mampu membendung air mata yang semakin deras mendengar penjelasan paman.

Batinku terasa amat sakit tertusuk berbagai macam rasa seperti tak ada kehidupan selanjutnya bagiku. Duniaku sekarang menjadi gelap, tak ada lagi jingga di sore hariku.

"Jadi aku ini bukan anak kandung kalian? Lalu kenapa kalian baru bilang padaku sekarang? Kenapa kalian membiarkan aku hidup di atap rumah ini?" Aku mencoba buka suara dengan nada sedikit dinaikkan 5 oktaf. Tanpa mendengarkan penjelasan dari paman dan bibi aku beranjak pergi hendak meninggalkan rumah Paman dan Bibi.
"Baiklah, Din jika kamu memang ingin pergi silahkan pergi. Cari Bapakmu yang sudah tega membuangmu! Sana kenali dunia liar yang keras! sana hidup sendiri sesukamu jika memang benar kamu tidak ingat dengan perjuangan kami membesarkanmu dengan susah payah!" Sungguh baru kali ini aku mendengar paman marah benar-benar marah.

Sekarang aku berada di rumah Fani, aku benar-benar tidak ada saudara lagi dan aku tidak tahu Bapak kandungku dimana. Di rumah Fani aku menangis sejadi-jadinya kebetulan orang tuanya sedang dinas di luar kota, aku luapkan semua kesedihanku bersama Fani aku tumpah ruahkan kejadian tadi.

"Aku numpang tidur semalam di rumahmu Fan, maaf sekali aku merepotkanmu. Besok aku akan pergi, aku ingin hidup di jalanan saja." Suaraku begitu parau, terus menerus bulir bening jatuh dari mataku begitu deras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun