Mohon tunggu...
Retno Suryani
Retno Suryani Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis untuk mengikat kenangan

Konsultan Lingkungan, Senang bertemu masyarakat dan anak-anak, Sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kepergian yang Senyap

28 Oktober 2021   21:47 Diperbarui: 28 Oktober 2021   22:30 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Hari-hari setelah kepulanganmu dari rumah sakit kulalui dengan berusaha normal kembali. Meski aku demikian paham akan kondisimu yang tidak akan sebaik dulu, aku harus kembali ke duniaku, berpetualang ke banyak pulau. Ya, aku ingat aku meninggalkanmu kembali untuk ke dua pulau berbeda. Bertemu mereka yang sudah menungguku. Tahukah? Aku menyembunyikan banyak gelisahku, banyak rasa takutku. Lembar demi lembar hasil pemeriksaanmu setelah itu selalu menghantuiku. Aku paham benar kondisimu tak baik-baik. Dan selalu, aku hanya bisa berbisik lirih, merayu Sang Pemilik dirimu agar berkenan memberi banyak waktu untukku dengamu. Aku menyembunyikan air mata ketakutanku. Tampil baik-baik di hadapan semua yang tidak begitu paham akan kondisimu. Aku melawan sendiri rasa takut rasa resahku dalam sunyi.

Lebaran dengan segala kebijakan pembatasan ruang gerak membuatku tinggal lebih lama bersamamu. Bukan hanya itu. Ya, bukan. Aku tak paham dulu kenapa hati kecil kemudian berat untuk memulai lagi perjalanan. Aku tak paham dulu kenapa hati kecil seolah tak ingin meninggalkanmu. Ah ya, aku hanya ingat, aku saat itu hanya ingin melalui hari ulang tahunmu disampingmu. Aku ingin melewati hari ulang tahunmu dengan bersamamu di rumah kita.*

Hari itu hari ulang tahunmu. Aku mengucap selamat juga doa untukmu pagi itu. Namun, sebagaimana hari-hari biasa sejak pandemi ini aku enggan mencium tangan apalagi kedua pipimu. Aku berjanji akan membelikan kado yang tempo hari sudah kuceritakan padamu. Iya, nanti setelah bertemu dokter aku akan membelinya khusus untukmu.

Dan siang itu, sepulang bertemu dokter, ketika aku ingin pergi lagi untuk membelikan kado untukmu, betapa kondisimu kembali tak baik-baik saja. Kesadaranmu menurun. Tubuhmu demikian lemas tak berdaya. Oh bahkan engkau lupa siapa diriku. Engkau tak kenal diriku seutuhnya. Dan demi melihat itu, panik menguasai perasaanku. Aku masih ingat benar gemetarnya tubuhku melihat semua itu. Namun lagi, aku harus kuat. Aku harus membawamu kembali ke rumah sakit.

Pandemi memang lagi menggila. Termasuk di kota kita. Aku ingat saat kita ditolak di IGD rumah sakit yang tutup. Aku sungguh ingat engkau yang sudah demikian lemas hanya diberi kursi roda dan tak kunjung diperiksa karena dokter dan perawat yang demikian sibuknya. Aku sungguh ingat satu demi satu hal yang kita lalui di IGD itu. Dan aku bersyukur engkau akhirnya mendapat kamar perawatan di saat banyak pasien harus menunggu berhari-hari dulu.

Aku bersyukur, karena malam itu kau boleh ditunggu. Aku lebih dari cukup bersyukur, karena Ayah bisa menemanimu. Dan seperti 3 bulan sebelumnya, aku melewati malam-malam yang resah. Tidur tak nyenyak sambil terus memantau HP. Takut dan panik setiap Hp berdering. Takut kalau-kalau itu dari rumah sakit.

Hari-hari itu berlalu lambat. Penuh kecemasan. Penuh ketakutan. Aku masih ingat sekali keesokan harinya setelah Kau dirawat di rumah sakit. Ya, pagi itu aku datang. Datang dengan keyakinan kalau kondisimu baik-baik saja. Aku datang dengan keyakinan Kau akan segera pulang. Namun betapa keyakinan itu hanyalah angan-angan. Nyatanya aku kembali melihatmu harus terbaring di ruang khusus. Penuh selang. Penuh alat. Kau mengenaliku. 

Ah tidak. Kau tetap tak sadar sepenuhnya. Kalimatmu kacau. Aku kemudian paham telah terjadi sesuatu dengan kesadaranmu. Delirium? Mungkin. Sayangnya, aku terlalu bodoh membaca situasi. Aku tak cukup sabar menunggumu berbicara kesana kemari. Demi langit senja yang gelap aku pun harus terburu buru pulang. Andai sore itu aku tak tergesa. Andai sore itu aku mau duduk lebih lama mendengarmu.

Hari penuh rasa sesak itu datang. Aku masih ingat sekali suara panik ayah mengabarkan cuci darah pertama mu yang gagal. Ya, demi semua kabar buruk itu, aku tergesa ingin menghampirimu. Masih terasa segala rasa panik, rasa takut, rasa khawatir. Aku sungguh takut kehilanganmu. 

Dan sampailah aku di hadapmu. Apa kata perawat? Kondisimu kritis. Jantungmu sempat berhenti. Tubuhmu tak berhenti kejang. Apa katanya? Mungkin racun di tubuhmu telah menumpuk karena ginjal yang gagal fungsi. Melihatmu tak berhenti kejang, luruh sempurna tubuhku. 

Tahukah? Aku ingin sekali mendekat. Sangat ingin. Namun, aku baru saja swab. Dan aku sangat yakin hasilnya positif covid. Bagaimana aku bisa mendekat dan menyentuh tanganmu. Sungguh tidak bisa. Aku hanya bisa menatapmu dari jauh. Melihatmu, mengingat semua gerakan kejangmu yang telah melambat. Mataku perih, dadaku sesak. Aku sungguh sakit melihatmu demikian. Aku pun pergi tanpa bisa pamit kepadamu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun