Mohon tunggu...
Retno Suryani
Retno Suryani Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis untuk mengikat kenangan

Konsultan Lingkungan, Senang bertemu masyarakat dan anak-anak, Sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kepergian yang Senyap

28 Oktober 2021   21:47 Diperbarui: 28 Oktober 2021   22:30 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

17 Maret 2021

Masih segar di ingatanku keresahan hari-hari terakhir sebelum pagi itu. Terbentang jarak di antara kita yang amat serak. Berbeda pulau. Berbeda kota. Tidurku nan lelah selalu dengan gerakan-gerakan resah. Dalam segala riuh ramai kegiatan, mataku seringkali mencuri jeda. Sembunyi-sembunyi berkaca-kaca dan basah oleh segala rasa gelisah. Betapa kondisimu di kota kita menukil khawatir dan takutku. Tak putus aku merapal doa dan harap untuk kebaikanmu. 

Aku masih ingat jelas pagi itu. Ketika kemudian kabar tentangmu sempurna merobek segala topengku. Saat aku tak bisa lagi menangis dalam sepiku. Saat aku tak bisa lagi pura-pura baik-baik saja. Telingaku seperti masih bisa mendengar jelas satu demi satu cerita mereka tentang kondisimu saat itu. 

Dan demi kabar itu air mataku sungguh tak lagi mampu kutahan. Namun tahukah? meski demikian sesak dadaku, meski demikian gemetar kaki dan seluruh tubuhku, aku masih harus bertahan. Iya, aku masih harus menyelesaikan kegiatanku pagi itu. Dengan mata basah, rasa gelisah yang payah, aku masih sanggup duduk di depan masyarakat yang telah kuundang jauh-jauh hari sebelum pagi itu. Aku masih kuat bertanya apa masalah dan potensi mereka. Aku masih sanggup berdialog apa harapan dan mimpi mereka ke depan.

Namun sungguh berbeda setelah kegiatan itu. Penjelasan detail diagnosis-diagnosis itu seperti masih segar di ingatanku sampai saat ini. Apa katanya? Semua organ vitalmu tak baik-baik saja. Kesadaranmu jauh menurun entah level berapa. Dan demi itu luruh sempurna semua kekuatanku.

Penerbangan tercepat dari pulau itu ke kota kita hanya ada esok harinya. Masih ada pula perjalanan darat yang harus kutempuh untuk sampai di ibukota provinsi lokasi bandara. Aku sungguh melewati semua perjalanan itu dengan tangisan. Dengan air mata. Aku takut tak punya waktu. Aku takut kehilanganmu.

18 Maret 2021

Aku tiba di kota kita dengan segala air mata. Betapa ingin aku melihatmu, tapi aku harus legawa hanya bisa mendengar kondisimu dari kata mereka karena kondisimu membuatku tak bisa memupus rindu dengan temu. Namun aku masih ingat secercah bahagiaku kala itu mendengar laporan mereka tentang kondismu yang mulai membaik.

Hari-hari setelah itu aku melewatinya masih dengan resah gelisah. Pandemi dan kondisimu membuatku tak bisa menjaga seperti waktu-waktu sebelumnya. Aku hanya bisa melihatmu terbaring tak sadar dari CCTV jika perawatnya baik dan mengizinkan. Beberapa kali aku tak boleh melihatmu meski hanya lewat CCTV karena satu dua hal yang boleh jadi untuk kebaikanmu. 

Tahukah? Aku melewati malam-malam panjang di rumah dengan gelisah. Setiap dering bunyi HP tak ubahnya suara paling menakutkan yang kubenci. Iya kubenci. Karena aku selalu takut kalau-kalau dering bunyi HP itu mengabarkan kondisi burukmu. 

Dan Tuhan ternyata masih demikian baik memeluk doaku. Engkau pun terus membaik dan boleh pulang ke rumah kita. Aku sungguh tak akan lupa rasa bahagiaku sore itu ketika pulang kantor dan engkau sudah terbaring di kamarmu. Engkau memang kuat. Selalu kuat.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun