Mohon tunggu...
Retno Suryani
Retno Suryani Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis untuk mengikat kenangan

Konsultan Lingkungan, Senang bertemu masyarakat dan anak-anak, Sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kepergian yang Senyap

28 Oktober 2021   21:47 Diperbarui: 28 Oktober 2021   22:30 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Rasa sesak itu sempurna mengukung ketika hasil swabku benar positif. Ah, bukan hanya aku. keluarga kita. Aku tak sanggup membayangkan betapa semakin sakit tubuhmu karena virus jahat itu ternyata juga ada dalam tubuhmu. Betapa semakin sesak? Betapa semakin menyiksa? Aku sempurna tak bisa menjagamu. Bukan hanya aku. Ayah juga adik tak bisa mendampingimu. Kita sama-sama tersekat oleh satu hal : isolasi. Aku tak bisa melihatmu meski hanya dari jauh. Tak bisa. Sesak dadaku membayangkan kau terbaring sendirian tanpa kawan. Apakah engkau kembali kejang? Apakah engkau sesak nafas demikian hebatnya? Hari-hari itu terlewat penuh dengan kecemasan dan ketakutan.

24 Juni 2021
Mendung menggelayut sedari pagi. Langit hitam gelap. Semesta seakan sedang sedih. Aku melalui hari itu masih sama dengan sebelumnya : isolasi mandiri. Membunuh sepi dengan menyapa teman-teman. Membunuh cemas dengan berdialog di teleconference. Namun, sungguh perasaanku tak pernah tenang. 

Seolah tahu sesuatu akan terjadi. Terang pun berganti petang. Dan dering handphone dari panggilan nomor yang sangat tak kuharapkan pun nyaring memanggilku. Rumah sakit. Seketika otakku pun mengerti sesuatu buruk sedang terjadi. Apa kata mereka? Kondisimu kritis. Keluarga harus segera datang. 

Andai kondisi berbeda tentu aku sudah berlari segera mengunjungimu. Namun isolasi membuat posisiku begitu terkunci. Engkau tahu? Aku meminta kepada banyak orang. Memohon berkenan datang. Demi mewakili kami yang tak mungkin pergi. Namun betapa susahnya. Pandemi ini begitu jahatnya. 

Pandemi ini tidak hanya membunuh jutaan nyawa, tetapi juga mematikan banyak hati untuk peduli dan empati. Aku berurai mata meminta. Memohon berkenan datang melihat kondisimu. Bagaimana kondisimu saat aku berjuang meminta pertolongan ketika itu? Apakah engkau kejang demikian hebatnya? Apakah engkau sesak nafas demikian parah? Apakah engkau menungguku yang tak mungkin datang?

Selalu ada orang baik di dunia ini. Ya, setelah penolakan demi penolakan, akhirnya datang juga manusia berhati malaikat itu. Iya, mereka yang mau datang melihat kondisimu. Namun, semua terlambat. Ya, semua terlambat. Engkau telah pergi. Engkau telah pergi tanpa pesan apapun untukku. Engkau telah pergi dalam kesepian. Engkau pergi dalam sunyi.

Ibu.....aku tahu aku akan kehilanganmu. Aku tahu engkau akan pergi tinggalkanku. Namun, kepergianmu dalam sepi sempurna meremukkan hatiku. Ibu, aku sungguh ingin ada di saat terakhirmu. Aku sungguh ingin ikut memandikanmu juga mengantarkan ke perisitirahatan terakhirmu. Namun, aku tidak bisa melakukannya. Bagaimana kondisi Ibu saat pergi? Apakah Ibu mencariku? Menungguku?

Ibu, malam itu aku kuat tetap berdiri tegak tanpa menangis. Aku sanggup tetap berdiri tegak untuk meminta tolong banyak orang menyiapkan pemakaman untukmu. Aku sanggup melewati malam yang entah kenapa sangat sunyi menusuk hati. Namun sungguh, aku butuh banyak hari-hari berikutnya untuk berdamai. Ya, berdamai dengan rasa takut dan panik mendengar bunyi HP. Berdamai dengan rasa takut karena langit mendung. Berdamai dengan rasa takut pada senja hari.

Ibu, tulisan ini tidak akan pernah cukup detail menjelaskan perasaan-perasaanku. Rasa cemasku. Rasa takutku. Rasa sedihku. Namun, tulisan ini akan mengikat kenangan hari-hari berat itu. Hari-hari akan kehilangan Ibu.

Maafkan anakmu Bu, yang ternyata tertakdir tak dapat menemani saat terakhirmu. Tak putus doa kami untukmu selalu.
Lelap dan damailah dalam tidur panjangmu...

Ibu sudah tidak sakit lagi kan? Sudah bahagia? Semoga senantiasa ya Bu.

Rumah, 4 bulan setelah kepergianmu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun