SEMERBAK mentari pagi di ufuk timur. Sapuan cahayanya menyapa semesta, ketika saya bersama istri dan si kecil menuju sawah yang tidak jauh dari perkampungan. Dengan mengendarai roda, kami hanya membutuhkan kurang lebih lima menit perjalanan.Â
Sebenarnya, kami bisa berjalan kaki, tetapi si kecil merengek harus menggunakan motor. Karena ketetapannya begitu mutlak, saya sama istri terpaksa tunduk dan patuh pada keinginannnya. Jadilah kami harus mengendarai roda dua, dari rumah menuju sawah.
Di pagi ini, Jumat, 4 September 2020, mulai terlihat ramai kendaraan yang melintasi jalan yang menghubungkan kecamatan Parado di bagian selatan dengan kota Bima di bagian utara. Maklum, tidak jauh dari kampung tempat saya tinggal, ada pasar Tente yang sabang hari hingga malam selalu ramai.Â
Pasar ini cukup sentral, karena menghubungkan puluhan kampung, baik dari selatan, tenggara maupun utara kabupaten. Bahkan di pasar ini mobil lintas provinsi biasa menunggu penumpang. Bahkan saya bersama istri cukup sering menyambangi pasar Tente untuk membeli segala kebutuhan. Pasar ini menjadi denyut nadi perekonomian masyarakat sekitar.
Di sawah, kami memanen ubi jalar yang pernah di tanam dua bulan sebelumnya. Walaupun belum cukup umur, yang mestinya menunggu satu bulan lagi baru tepat untuk dipanen, tetapi karena suatu kebutuhan, kami memutuskan mencari ubi yang sudah cukup besar.Â
Di bawah terik matahari mulai menyengat, saya menggali ubi jalar yang beberapa di antaranya sudah menyembul di atas tanah. Karena belum saatnya untuk diambil, maka ubi jalar yang digali masih banyak yang kecil.
Saya hanya menggali satu bedekan saja. Yang penting cukup di bawah pulang untuk di masak. Sayang, kalau diambil banyak, karena sebagian ubi jalar masih bisa lebih besar lagi kalau di panen satu bulan ke depan.Â
Setelah di rasa cukup. Istri kemudian mengumpulkan dan memasukkannya ke dalam keranjang. Sebelum memutuskan kembali ke rumah, istri memberi tahu, akan memetik kangkung terlebih dahulu yang tumbuh liar di sela-sela jagung warga.
Sembari menunggu istri, saya melempar pandang pada beberapa petani yang sedang sibuk mengairi persawahan. Ada pula sedang menyangkul, memanen, bahkan ada pula yang sedang membajak.Â
Sebab, di beberapa tempat di kabupaten Bima, pulau Sumbawa, para petani tidak lagi mengenal musim tanam karena faktor hujan.
Karena pada umumnya, masyarakat sudah menggunakan air pengeboran untuk mengairi persawahan tanpa harus menunggu hujan tiba.Â