Mohon tunggu...
Moeh Zainal Khairul
Moeh Zainal Khairul Mohon Tunggu... Dosen - Penjelajah

Tenaga Ahli Pendamping UKM Dinas Koperasi dan UKM Kota Makassar 2022 dan 2023 Coach Trainer Copywriting LPK Magau Jaya Digital Lecturer Guru SMP Al AKHYAR

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merajut Ketahanan Pangan di Tengah Harga Beras Kian "Mencekik Leher"

1 Maret 2024   16:16 Diperbarui: 1 Maret 2024   18:51 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar: Voi.id

Sore ini, sambil menikmati secangkir kopi point  saya merenungkan sebuah fenomena yang belakangan ini menjadi perbincangan hangat di berbagai sudut negeri sepekan menjelang ramadhan nampaknya  ada sesuatu yang lebih mendalam: kegelisahan tentang pangan, khususnya beras. Ya, beras, makanan pokok sejuta umat di negeri ini, kini harganya meroket tak terkendali. Sebuah fenomena yang mengundang tanya: mengapa bisa terjadi?

Pergeseran musim panen menjadi jawaban pertama. Ini bukan sekadar perubahan kalender atau agenda petani, melainkan dampak nyata dari perubahan iklim yang kian tak menentu. Musim hujan yang datang lebih lambat, atau kemarau yang tiba-tiba menghampiri, membuat petani kita terjebak dalam ketidakpastian. Hasilnya? Pasokan beras yang fluktuatif dan harga yang naik turun seperti roller coaster.

Lantas, ada fenomena panic buying. Ketika kabar tentang potensi kelangkaan beras tersiar, banyak dari kita yang berlomba-lomba mengisi gudang dengan stok beras sebanyak-banyaknya. Akibatnya, permintaan melonjak, sementara pasokan tak kunjung bertambah. Harga beras pun melambung, meninggalkan kekhawatiran di setiap sudut rumah tangga.

Namun, di tengah semua ini, ironisnya, petani beras kita justru kurang menikmati kenaikan harga tersebut. Mengapa? Karena biaya produksi yang tinggi, akses pasar yang terbatas, dan ketidakadilan dalam rantai distribusi membuat mereka hanya mendapatkan sebagian kecil dari keuntungan. Ini adalah realita pahit yang harus kita hadapi dan benahi.

Di tengah kekacauan ini, beberapa negara penghasil beras memutuskan untuk membatasi ekspor. Langkah ini, meski dimaksudkan untuk menjaga stok domestik, justru menambah ketegangan di pasar global dan mendorong harga beras semakin tinggi. Kita, sebagai bagian dari komunitas global, harus mencari jalan keluar bersama, bukan saling menutup pintu.

Solusi? Mungkin sudah saatnya kita tidak terlalu bergantung pada beras. Ada banyak alternatif pangan yang bisa kita gali, salah satunya adalah umbi-umbian seperti singkong atau beras porang. Kedua tanaman ini tidak hanya mampu tumbuh subur di tanah kita, tapi juga kaya akan nutrisi. Singkong, misalnya, telah lama menjadi makanan pokok di beberapa daerah. Sementara itu, beras porang, dengan tekstur dan rasa yang unik, menawarkan alternatif pangan yang sehat dan ramah lingkungan.

Mengintegrasikan beras porang dalam pola konsumsi kita bisa menjadi langkah awal yang baik. Selain membantu diversifikasi pangan, ini juga bisa membuka peluang ekonomi baru bagi petani kita. Bayangkan jika beras porang bisa menjadi tren makanan sehat di masa depan. Bukan hanya kesehatan yang kita dapat, tapi juga ketahanan pangan yang lebih kuat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun