Mohon tunggu...
Suprapdi
Suprapdi Mohon Tunggu... Lainnya - Business Law

Akun Opini

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana Cara Menghitung Pembagian Harta Gono-Gini Dalam Islam?

27 November 2021   12:30 Diperbarui: 27 November 2021   12:56 1103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber/ilustrasi gambar: Sripoku.com 

Dalam Islam sendiri, tidak ada istilah harta gono-gini seperti yang tersebar di masyarakat selama ini. Karena, hak istri atas harta selama pernikahan berlangsung itu hanya sebatas nafkah yang diberikan oleh suami. Ketika perceraian itu terjadi maka setiap pasangan memiliki hak masing-masing atas harta yang dimiliki sesuai dengan hukum yang berlaku dalam Islam.

Status Harta Selama Perkawinan Dalam Islam

Dalam Islam sendiri, tidak semua harta yang diperoleh selama pernikahan berlangsung masuk kedalam harta bersama. Hal ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai Harta Kekayaan Dalam Perkawinan. Dalam Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam, menyebutkan  “(1). Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. (2). Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami, tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya”. Dan dalam Pasal 87 menyebutkan, “(1). Harta bawaan masing-masing suami-istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai wasiat atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak  tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. (2). Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sedekah, atau lainnya”.

Dengan memahami hal ini jelas bahwasannya baik suami maupun istri memiliki hak penuh atas harta yang dimiliki, sebelum, saat, atau setelah pernikahan.

Cara Membaginya Dalam Hukum Islam

Kaidah dasarnya, harta gono-gini itu dibagi sesuai berdasarkan kesepakatan dan musyawarah oleh suami-istri yang bercerai. Namun, apabila hal tersebut tidak dapat dimungkinkan maka dapat diselesaikan di Pengadilan.

Lebih jelasnya bisa disimak poin-poin dibawah ini:

1.Harta gono-gini itu bersifat umum, baik itu aset yang didapatkan sejak pernikahan maupun dalam bentuk usaha yang dikelola bersama oleh suami-istri tersebut.

Pada umumnya, pada literatur yang menjelaskan tentang perceraian suami-istri seperti, Mausu’atul-Usrah Tahta Ri’ayatil Islam (Syekh ‘Athiyah Saqr) hanya terfokus pada kewajiban iddah, mahar, dan kewajiban biaya pengasuh anak, tetapi hal tersebut tidak menjelaskan tentang harta gono-gini. Namun, dalam sangketa harta gono-gini sudah banyak terjadi perselisihan seperti di Indonesia saat ini, maka dengan adanya ini perlu di respons oleh fikih.

2.Pada dasarnya seperti dijelaskan diatas harta gono-gini itu dibagi berdasarkan kesepakatan dan musyawarah. Namun, bila tidak memungkinkan maka perlu melalui putusan pengadilan untuk menyelesaikan masalah ini, yaitu saat ada perjanjian perkawinan, maka hal ini harus merujuk pada perjanjian perkawinan tersebut. Tetapi, saat tidak ada perjanjian perkawinan maka harta gono-gini akan dibagi dua (suami/duda setengah dan istri/janda setengah).

Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa: “Janda atau Duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.

Namun, dari kedua pilihan itu (antara diselesaikan dengan musyawarah atau melalui pengadilan) yang pilihan paling baik adalah diselesaikan secara musyawarah, karena kedua belah pihak tersebut menjadi lapang dan ikhlas dengan hasil pembagian harta gono-gininya.

Sebenarnya tidak ada dalil yang mewajibkan demikian, tetapi pembagian harta bersama juga dapat ditinjau dari sejumlah kemungkinan yang ada, seperti :

a). Perhitungannya Pasti

Jika perhitungan harta tersebut diketahui secara pasti baik besaran presentase antara suami dan istri  maka pembagian harta dapat dibagi dengan jelas.

b). Perhitungannya Tidak Diketahui Dengan Pasti

Jika besaran presentasenya tidak diketahui dengan pasti maka pembagian hartanya harus melalui jalan sulh (Kesepakatan suami-istri setelah melalui musyawarah), ‘urf (adat kebiasaan yang berlaku umum), dan qadha (putusan yang ditetapkan oleh hakim). Saat kedua belah pihak (suami-istri) melakukan kesepakatan dalam pembagian harta bersama maka ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini tidak berlaku.

3.Saat diselesaikan dengan musyawarah ada beberapa tuntunan fikih dan adab yang harus diperhatikan, yakni:

a)Sesungguhnya masing-masing kedua belah pihak mendapatkan hak atas harta gono-gini karena kontribusi masing-masing dari kedua suami-istri yang sulit menemukan kata sepakat. Namun, dengan adab merelakan hak masing-masing (tanazul ‘anil haq) itu akan mudah untuk mencapai kata sepakat.

b)Tafahum, saling memahami dan melihat tanggung jawab masing-masing, seperti saat terjadi perceraian dan meninggalkan anak yang butuh biaya pengasuhan dan pendidikan, maka dengan hal ini harus menjadi pertimbangan seberapa besar hak istri dan anak-anak. Dari sisi fikih sendiri, keputusannya memberikan bagian istri juga sesuai dengan ketentuan fikih mengenai kewajiban suami-istri saat mereka meninggalkan anak, untuk menyediakan dan menyerahkan biaya maka dengan hal ini harta gono-gini tersebut bisa menjadi sumber nafkahnya.

4.Namun, apabila tidak diselesaikan secara musyawarah yakni diselesaikan secara ranah peradilan. Nanti, hakim dalam memutus perkaranya akan melihat kondisi suami-istri tersebut. Hal ini dilakukan bertujuan untuk mendapat keputusan terbaik yang sama-sama menguntungkan bagi kedua belah pihak. Dalam kondisi demikian hakim juga dibolehkan untuk memutuskan pembagian harta dengan merujuk pada hukum perdata yang berlaku, selama tidak melanggar ketentuan syariat Islam.

 Nantinya, setelah perceraian itu istri juga berhak mendapatkan harta kesehjahteraan (Mut’ah) dari mantan suaminya sesuai kemampuan dan keikhlasannya. Sebagaimana firman Allah SWT: “dan bagi perempuan-perempuan yang diceraikan hendaklah diberi mut’ah menurut cara yang patut sebagai suatu kewajiban bagi orang yang bertakwa”. (QS.Al-Baqarah:241)

Wallahu’alam…..

Selengkapnya bisa dibaca di http://bit.ly/MuamalahDaily_

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun