Rembulan itu bersinar kala awan pergi menyelimuti dalam kabut
Kabut hitam seperti polusi dibawah jembatan
Polusi ponduduk yang dibilang sampah
Ia dibilang sampah, sampah masyarakat
Sebenarnya siapa yang sampah?
Sampah masyarakat itu siapa?
Sampah itu kotor, seperti para koruptor
Namun polisi seolah meredami dengan ulah membelenggunya dari balik jeruji besi
Padahal aku tau, itu hanya pencitraan demi eksistensi paling nanti juga dapat gratifikasi, remisi, atau jalan-jalan ke Bali?
Sampai aku tidak tau membedakan mana polusi dan mana polisi.
Pembangunan digadang sebagai pembaharuan
Namun polusi tetap mengitari sekeliling kota
Aku suka menyebutnya dia adalah korban
Korban kepentingan yang disebut Pembangunan
Atau dia yang tidak bisa beradaptasi  dengan keadaan
Tidak jarang kita lihat di bawah jembatan
Atau dia yang meminta-minta di lampu merah dan pinggir jalan
Kau mungkin tidak pernah tau yang mereka rasakan
Karena selalu duduk di balik meja tahta kekuasaan
Aku melihat mereka berjuang
Entah untuk bertahan hidupnya,
Mencari makan anaknya,
Atau mempertahankan hidup keluarga dan saudaranya
Lihatlah tuan, lihatlah keluar dari ruang kerjamu
Kau yang biasa duduk enak dimeja kerja merumus kebijakan
Fasilitas yang diberikan padamu penuh kemewahan
Coba kau rasakan, hidup dalam kesempitan dan kekurangan
Tuan, ia menjual koran dibawah terik panas dan hujan
Tak pandang tua, muda, laki, atau perempuan
Mereka terima nasib dengan tanpa pembelaan
Entah itu pemberian tuhan atau karena proyek politik atas nama pembangunan
Tuan, ia tidur beratap kardus dan beralaskan koran
Atau mungkin beralas kardus beratap jembatan
Tuan, mereka semua sama dihadapan tuhan dan pemerintahan
Namun, mengapa mereka dipinggirkan
Katanya kau ingin membersihkan kolong jembatan dengan memberi janji kesejahteraan
Nampaknya janjimu hanyalah bualan Tuan
Tak sadarkah kau diakhirat nanti mereka akan bertanya padamu sebagai seorang korban?
Oh dunia, dimanakah belas kasih Tuan,
Benarkah tuhan tidak adil?
Atau kita yang tidak mau adil?
Mengapa polusi tetap bertambah dan bertebaran
Mengisi kolong jembatan dan hamparan teras ruko ketika malam
Mereka dianggap hina,
Siapa sebenarnya yang hina?
Polusi masyarakat atau para koruptor yang berperilaku seperti setan?
Ia makan tak pasti
Kerjapun sulit didapati
Jangan kau tanya keadaan gizi
Makan nasi saja mereka sudah syukuri
Mereka lusuh, mereka jarang mandi
Entah sudah berapalama ia bersetubuh dengan debu
Dibalik baju yang kumal dan lusuh
Hak nya terampas oleh janji bermoduskan ayat konstitusi
Fakir, miskin, dan anak terlantar dipelihara oleh negeri,
Namun, haknya tak pernah mereka dapati
Yang mereka dapati hanya hinaan, penggusuran, dan caci maki
Tuhan, pantaskah aku menerima surgamu nanti?//
Puisi Oleh Supiyandi