Mohon tunggu...
Ummi Azzura Wijana
Ummi Azzura Wijana Mohon Tunggu... Music freak

Perempuan biasa yang suka musik, dolan, jajan, dan motoran. Sesekali motret sawah, gunung, dan lautan. Lalu berlari mencari matahari pagi hingga senja

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Memulai Hidup di Usia Pra-lansia

9 Oktober 2025   13:22 Diperbarui: 9 Oktober 2025   13:50 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi Fotografi. (Foto: Joshua Igho)

Ketika usia mulai menyentuh angka 45 tahun, sebagian besar orang mulai dihadapkan pada kenyataan tentang perubahan tubuh. Secara medis, fase ini menandai awal dari penurunan fungsi organ dan meningkatnya risiko penyakit kronis. Namun menariknya, banyak penelitian justru menyebut bahwa usia 45 tahun merupakan usia emas bagi kesehatan manusia---sebuah titik balik yang menentukan kualitas hidup di masa depan.

Jujur saja, ketakutan sempat menghantui pikiran saya ketika memasuki usia pra-lansia. Bayangan tentang tubuh yang melemah, kulit yang menua, hingga datangnya berbagai penyakit kronis membuat saya cemas. 

Sebagai perempuan, saya juga mulai merasakan perubahan hormonal yang signifikan: siklus menstruasi tak teratur, suasana hati yang mudah berubah, hingga gangguan tidur yang membuat tubuh terasa lelah setiap pagi.

Fase perimenopause hingga menopause menjadi babak baru yang tak mudah. Hormon estrogen dan progesteron yang mulai menurun membuat tubuh seolah kehilangan keseimbangannya. Suhu tubuh sering kali meningkat tanpa sebab, tidur jadi tak nyenyak, dan suasana hati terasa tidak stabil. Di sisi lain, fungsi organ dalam tubuh pun perlahan menurun. Katanya otot jantung menebal, pembuluh darah tak selentur dulu, dan daya tahan tubuh tak sekuat masa muda.

Gejala seperti sesak napas, nyeri dada, pusing, dan mudah lelah mulai sering muncul. Pikiran pun dipenuhi pertanyaan: Apakah menua berarti menjadi lemah dan tak berdaya? Apakah tidak ada cara untuk tetap sehat di usia ini?

Pertanyaan itu akhirnya mengantar saya pada pencarian baru. Hingga suatu hari, saya menemukan kisah para lansia yang hidup sehat dan aktif di media sosial. Mereka berusia jauh di atas saya, namun tampak bugar, ceria, dan produktif. Dari situlah saya menyadari bahwa usia bukan penghalang untuk hidup sehat, melainkan momentum untuk mulai memperhatikan diri dengan lebih bijak.

Berdasarkan sejumlah penelitian kesehatan, usia 45 tahun memang disebut sebagai usia emas untuk memulai gaya hidup sehat. Meski tubuh mulai menurun secara biologis, pada fase ini seseorang justru memiliki kesadaran yang lebih matang tentang pentingnya menjaga kesehatan fisik dan mental.

Baca juga: Gunung Andong: Surga Kecil yang Dirindukan

Ada tiga kunci utama untuk melewati masa pra-lansia dengan penuh energi dan optimisme: olahraga teratur, pola makan seimbang, dan manajemen stres yang baik.

1. Olahraga Teratur: Investasi untuk Jantung dan Jiwa

Langkah pertama yang saya lakukan adalah berolahraga secara rutin, minimal 30 menit setiap hari. Tidak harus berat; kadang cukup jalan cepat, pemanasan ringan, atau bersepeda statis di rumah. Pada saat sibuk, 15 menit latihan intensitas tinggi dengan laripun sudah cukup, asal dilakukan secara konsisten.

latihan intensitas tinggi. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
latihan intensitas tinggi. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Hasilnya sungguh nyata. Tubuh terasa lebih segar, tidur menjadi lebih nyenyak, dan saya hampir tak pernah lagi jatuh sakit. Olahraga terbukti membantu menuju berat badan ideal, memperkuat tulang dan otot, menyehatkan jantung, serta meningkatkan daya ingat dan kekebalan tubuh. Yang tak kalah penting, aktivitas fisik juga melepaskan hormon endorphin; "hormon bahagia" yang mampu mengusir stres dan memperbaiki suasana hati.

2. Pola Makan Seimbang: Nutrisi yang Menghidupkan

Perubahan kedua yang saya lakukan adalah mengatur pola makan. Saya mulai memperbanyak konsumsi sayur dan buah segar yang kaya antioksidan, vitamin, dan serat. Kombinasi ini mampu memperlambat penuaan dini, meregenerasi sel, serta menjaga elastisitas kulit agar tetap sehat dan segar.

Mengatur pola makan. (Foto: Ummi Azzura)
Mengatur pola makan. (Foto: Ummi Azzura)

Air putih pun tak kalah penting. Saya membiasakan diri untuk minum minimal delapan gelas per hari agar metabolisme tetap lancar dan tubuh tidak dehidrasi. Kebiasaan sederhana ini memberikan dampak besar terhadap vitalitas tubuh dan kejernihan pikiran.

3. Kesehatan Mental: Kunci Bahagia di Usia Pra-Lansia

Satu hal yang sering diabaikan oleh banyak orang adalah kesehatan mental. Di usia pra-lansia, banyak yang mulai merasa kesepian karena anak-anak sudah mandiri, pasangan sibuk, atau lingkar sosial semakin menyempit. Kondisi ini bisa memicu stres, bahkan depresi, jika tidak segera diatasi.

Saya belajar untuk tidak membiarkan diri terjebak dalam kesepian. Saya mulai meluangkan waktu untuk melakukan hobi yang dulu terlupakan; menulis, membaca, travelling, fotografi dan bergabung dengan komunitas positif. 

Hobi Fotografi. (Foto: Joshua Igho)
Hobi Fotografi. (Foto: Joshua Igho)

Mengikuti kegiatan sosial, kelompok sastra, atau sekadar berbincang ringan dengan teman-teman menjadi terapi yang menyenangkan.

Komunitas Sastra. (Foto: Ety Dsaniastuti)
Komunitas Sastra. (Foto: Ety Dsaniastuti)

Dan tentu saja, piknik menjadi salah satu cara terbaik untuk menjaga keseimbangan mental. Rekreasi di alam terbuka bukan hanya menyegarkan pikiran, tapi juga menyehatkan fisik karena tubuh mendapatkan asupan vitamin D alami dari sinar matahari. Selain itu, interaksi dengan keluarga dan masyarakat memperkuat ikatan emosional serta menumbuhkan rasa memiliki yang sangat penting di masa pra-lansia.

Baca juga: Pantai Sepanjang: Permata Gunungkidul yang Tersembunyi

Kini saya menyadari bahwa memasuki usia 45 bukanlah awal dari kemunduran, melainkan titik balik menuju kehidupan yang lebih sadar dan bermakna. Pra-lansia justru merupakan masa terbaik untuk menata ulang gaya hidup, memperkuat fisik, menyehatkan mental, dan memperbaiki hubungan dengan lingkungan sosial.

Menjadi sehat di usia ini bukan tentang menolak tua, melainkan tentang menerima prosesnya dengan penuh kesadaran. Karena sejatinya, tubuh yang sehat dan pikiran yang bahagia tidak datang secara instan, melainkan dari keputusan-keputusan kecil yang dilakukan setiap hari.

Usia 45 bukan akhir dari energi muda, tetapi awal dari kebijaksanaan hidup; saat kita belajar mencintai tubuh, menjaga pikiran, dan menikmati hidup dengan penuh syukur.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun