Demo besar pasca peringatan kemerdekaan ke-80 bukan hanya peristiwa politik biasa, melainkan sebuah tontonan sosial yang sarat makna. Ribuan orang turun ke jalan dengan semangat menyuarakan keresahan, namun di balik kerumunan itu, terselip agenda-agenda lain yang jauh lebih licik. Indikatornya jelas: mobilisasi massa secara serentak untuk bertindak anarkis, provokatif, dan kriminal (menjarah rumah pejabat negara).
Bagaimana mengidentifikasi motif di balik aksi massa yang ditengarai telah menyimpang dari agenda utama: menyampaikan aspirasi rakyat.
1. Ditunggangi: Antara Aspirasi dan Manipulasi
Gerakan rakyat yang mestinya murni, perlahan ditunggangi oleh kepentingan politik yang terorganisir dengan baik. Tuntutan rakyat yang awalnya sederhana dan jelas (turunkan tunjangan DPR) berubah menjadi  narasi provokatif yang seragam, tanda ada orkestrasi di balik layar.
Fenomena ini bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Setiap kali ada momentum kebijakan yang kontroversial, selalu ada pihak-pihak yang lihai memanfaatkan energi sosial menjadi bahan bakar politik. Mereka mengemas kemarahan rakyat dalam narasi yang tampak heroik, namun sejatinya diarahkan pada tujuan pragmatis: menggoyang legitimasi atau memperkuat posisi tawar kelompok tertentu. Akibatnya, suara rakyat bercampur aduk dengan kepentingan elite.
Di level akar rumput, massa seringkali tidak menyadari bahwa langkah mereka sudah menjadi bagian dari skenario besar. Mereka marah karena harga sembako, frustrasi karena pengangguran, kecewa pada layanan publik atau kebijakan yang tidak pro rakyat, tetapi kemudian menemukan diri mereka berada di barisan demo yang membawa tuntutan politis yang jauh dari masalah harian mereka. Ada ironi yang mencolok: kesedihan dan amarah pribadi rakyat dijadikan bahan bakar untuk ambisi elite.
Kondisi ini memunculkan keraguan publik. Apakah demo itu sungguh mewakili aspirasi rakyat atau sekadar pertunjukan politik yang ditata rapi? Di satu sisi, masyarakat butuh ruang untuk bersuara. Di sisi lain, ruang itu seringkali dibajak, sehingga substansi yang murni menjadi kabur. Tidak heran jika kemudian banyak orang merasa apatis terhadap demonstrasi, karena menganggapnya sudah tidak autentik lagi.
Ketika demo ditunggangi, yang muncul bukan lagi gerakan sosial organik, melainkan panggung propaganda. Aspirasi rakyat menjadi latar belakang, sementara aktor politiklah yang memainkan peran utama. Dan pada titik ini, demokrasi justru kehilangan kemurniannya, bergeser dari partisipasi rakyat menjadi strategi manipulasi.
2. Perang Narasi: Media, Medsos, dan Rebutan Persepsi
Polarisasi pun semakin nyata. Di satu kubu, demo dipotret sebagai ekspresi kemarahan rakyat yang sah, suara keadilan yang perlu didengar. Di kubu lain, demo dituding sebagai tindakan destruktif yang merusak ketertiban dan digerakkan oleh aktor-aktor politik oportunis. Perang narasi ini tidak berhenti di layar televisi, tetapi menjalar ke grup WhatsApp keluarga, feed Instagram anak muda, hingga cuitan-cuitan Twitter yang mendadak viral.
Kekuatan narasi terletak pada kemampuannya menyederhanakan kompleksitas. Ketika fakta begitu berlapis, narasi hadir menawarkan cerita singkat yang mudah ditelan. "Rakyat marah karena lapar," terdengar meyakinkan, meski realitasnya lebih rumit. Atau sebaliknya, "demo ini ulah bayaran," terdengar masuk akal meski tak semua orang di lapangan menerima amplop. Narasi bekerja dengan logika emosional, bukan dengan bukti empiris.
Akibatnya, masyarakat terjebak dalam ruang gema. Mereka hanya mengonsumsi narasi yang sesuai dengan preferensi politik mereka. Media dan medsos menjadi mesin penguat bias, bukan penyedia informasi utuh. Situasi ini memperdalam jurang perpecahan, membuat publik sulit menemukan kebenaran di antara kabut propaganda.
Perang narasi dalam demo pasca HUT ke-80 RI membuktikan bahwa di era digital, pertempuran bukan lagi soal siapa yang paling banyak turun ke jalan, melainkan siapa yang paling efektif membungkus cerita. Bagi aktor politik, memenangkan narasi sama artinya dengan memenangkan dukungan publik.
3. Spontanitas Massa: Dari Frustrasi ke Aksi Jalanan
Jika ditanya apa yang memicu ribuan orang turun ke jalan, jawabannya seringkali sederhana: rasa marah. Marah karena harga naik, marah karena merasa dipinggirkan, marah karena merasa tak didengar. Kemarahan itu tumbuh perlahan di keseharian, namun meledak tiba-tiba ketika ada momentum. Peringatan ke-80 tahun kemerdekaan, dengan segala seremoni megahnya, justru menjadi kontras yang menyakitkan bagi mereka yang merasa hidupnya stagnan atau makin sulit.
Spontanitas massa bukan berarti tanpa akar. Justru, ia berakar dalam pada kondisi struktural: kesenjangan sosial, ketidakadilan ekonomi, dan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat kecil. Massa yang marah menemukan alasan untuk berkumpul, dan ruang demo memberikan legitimasi atas kemarahan itu. Namun, seperti api, kemarahan spontan ini mudah menyambar dan sulit dikendalikan.
Kerap kali, demo yang dimulai dengan damai berakhir ricuh. Bukan semata karena provokasi dari luar, tetapi juga karena energi emosi yang tak terbendung. Dalam kerumunan, individu kehilangan kontrol personal. Kemarahan menular, dan massa bergerak mengikuti arus. Satu orang melempar batu, yang lain ikut. Satu barisan maju menghadang polisi, yang lain terdorong untuk mengikuti.
Fenomena psikologi massa ini selalu berulang. Elite politik tahu betul cara memicunya, sementara aparat berusaha meredam dengan strategi represif. Ironinya, setiap upaya represif justru sering memperkuat amarah dan memperpanjang siklus kekerasan. Di sinilah demo yang ditunggangi menjadi semakin berbahaya: energi murni rakyat digabung dengan provokasi elite, menghasilkan ledakan sosial yang sulit diprediksi.
Spontanitas kemarahan massa membuktikan bahwa di balik setiap aksi jalanan, selalu ada wajah rakyat biasa yang terhimpit keadaan. Namun ketika wajah itu larut dalam kerumunan, mereka tak lagi dikenali sebagai individu. Mereka menjadi bagian dari "massa" yang mudah dicap: perusuh, pendemo bayaran, atau pahlawan rakyat. Identitas asli mereka tenggelam dalam arus narasi besar.
4. Kesenjangan Informasi dan Narasi Provokatif
Di era digital, informasi berlimpah, tetapi justru semakin sulit dipercaya. Inilah paradoks besar yang menyelimuti demo pasca peringatan kemerdekaan ke-80. Publik disuguhi banjir berita, video, dan komentar, namun tak punya kemampuan cukup untuk memilah mana yang fakta, mana yang manipulasi. Dalam ruang kosong ini, narasi provokatif tumbuh subur, memanfaatkan ketidakpastian untuk mengobarkan amarah.
Kesenjangan informasi sering muncul karena akses dan literasi. Rakyat di akar rumput mungkin hanya menerima potongan video yang beredar di WhatsApp tanpa konteks lengkap. Sementara elite politik dan media besar bisa mengakses data penuh, lalu mengolahnya sesuai kebutuhan. Ketimpangan inilah yang membuka ruang bagi mereka yang lihai mendesain pesan singkat, emosional, dan mudah viral.
Narasi provokatif bekerja dengan pola sederhana: menciptakan musuh bersama. Bisa pemerintah, bisa aparat, bisa kelompok tertentu. Dengan menyalakan emosi marah dan takut, mereka membentuk persepsi seolah rakyat sedang menghadapi ancaman besar. Padahal, ancaman itu seringkali dilebih-lebihkan atau bahkan diciptakan.
Ketika narasi provokatif menyebar tanpa filter, masyarakat menjadi mudah tersulut. Mereka bereaksi bukan atas fakta, melainkan atas persepsi yang sudah terdistorsi. Inilah yang menjelaskan mengapa demo bisa membesar dengan cepat meskipun masalah awalnya tidak sebesar itu. Desain narasi mengubah keluhan kecil menjadi gerakan besar.
Pada akhirnya, kesenjangan informasi dan narasi provokatif memperlihatkan bahwa dalam politik kontemporer, kebenaran faktual bukan lagi yang utama. Yang lebih menentukan adalah siapa yang mampu menguasai ruang persepsi, siapa yang bisa memengaruhi imajinasi massa. Dan itu seringkali bukan rakyat, melainkan mereka yang punya kepentingan politik.
Penutup: Amuk Massa, Demokrasi, dan Pertarungan Narasi
Demo pada akhir Agustus 2025 Â memperlihatkan wajah ganda demokrasi Indonesia. Di satu sisi, ia menjadi ruang bagi rakyat untuk bersuara, menyalurkan amarah dan harapan. Namun di sisi lain, ia juga menjadi panggung politik yang sarat manipulasi, di mana amuk massa dibungkus dalam desain narasi yang dikendalikan elite.
Fenomena ini menyisakan pertanyaan reflektif: sejauh mana rakyat benar-benar memiliki kontrol atas narasi yang mereka jalani? Ataukah mereka hanya pion dalam permainan besar perebutan kekuasaan? Demokrasi tampak hidup, tetapi roh partisipasinya justru makin rapuh ketika suara rakyat dikooptasi oleh skenario politik.
Membaca peristiwa ini, kita dipaksa menyadari bahwa demokrasi tidak bisa hanya diukur dari jumlah massa di jalan atau riuhnya perdebatan di media. Demokrasi sejati hanya mungkin hadir jika rakyat punya akses penuh pada informasi yang jernih, ruang aspirasi yang otentik, dan narasi yang tidak selalu diarahkan oleh elite. Tanpa itu semua, yang tersisa hanyalah amuk massa dan desain narasi---sebuah demokrasi yang bising tapi kosong.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI