Spontanitas kemarahan massa membuktikan bahwa di balik setiap aksi jalanan, selalu ada wajah rakyat biasa yang terhimpit keadaan. Namun ketika wajah itu larut dalam kerumunan, mereka tak lagi dikenali sebagai individu. Mereka menjadi bagian dari "massa" yang mudah dicap: perusuh, pendemo bayaran, atau pahlawan rakyat. Identitas asli mereka tenggelam dalam arus narasi besar.
4. Kesenjangan Informasi dan Narasi Provokatif
Di era digital, informasi berlimpah, tetapi justru semakin sulit dipercaya. Inilah paradoks besar yang menyelimuti demo pasca peringatan kemerdekaan ke-80. Publik disuguhi banjir berita, video, dan komentar, namun tak punya kemampuan cukup untuk memilah mana yang fakta, mana yang manipulasi. Dalam ruang kosong ini, narasi provokatif tumbuh subur, memanfaatkan ketidakpastian untuk mengobarkan amarah.
Kesenjangan informasi sering muncul karena akses dan literasi. Rakyat di akar rumput mungkin hanya menerima potongan video yang beredar di WhatsApp tanpa konteks lengkap. Sementara elite politik dan media besar bisa mengakses data penuh, lalu mengolahnya sesuai kebutuhan. Ketimpangan inilah yang membuka ruang bagi mereka yang lihai mendesain pesan singkat, emosional, dan mudah viral.
Narasi provokatif bekerja dengan pola sederhana: menciptakan musuh bersama. Bisa pemerintah, bisa aparat, bisa kelompok tertentu. Dengan menyalakan emosi marah dan takut, mereka membentuk persepsi seolah rakyat sedang menghadapi ancaman besar. Padahal, ancaman itu seringkali dilebih-lebihkan atau bahkan diciptakan.
Ketika narasi provokatif menyebar tanpa filter, masyarakat menjadi mudah tersulut. Mereka bereaksi bukan atas fakta, melainkan atas persepsi yang sudah terdistorsi. Inilah yang menjelaskan mengapa demo bisa membesar dengan cepat meskipun masalah awalnya tidak sebesar itu. Desain narasi mengubah keluhan kecil menjadi gerakan besar.
Pada akhirnya, kesenjangan informasi dan narasi provokatif memperlihatkan bahwa dalam politik kontemporer, kebenaran faktual bukan lagi yang utama. Yang lebih menentukan adalah siapa yang mampu menguasai ruang persepsi, siapa yang bisa memengaruhi imajinasi massa. Dan itu seringkali bukan rakyat, melainkan mereka yang punya kepentingan politik.
Penutup: Amuk Massa, Demokrasi, dan Pertarungan Narasi
Demo pada akhir Agustus 2025 Â memperlihatkan wajah ganda demokrasi Indonesia. Di satu sisi, ia menjadi ruang bagi rakyat untuk bersuara, menyalurkan amarah dan harapan. Namun di sisi lain, ia juga menjadi panggung politik yang sarat manipulasi, di mana amuk massa dibungkus dalam desain narasi yang dikendalikan elite.