Amuk massa selalu memikat karena tampak murni: sebuah letupan kolektif yang tak terbendung. Namun, di era informasi ini, tak ada yang sepenuhnya polos. Kemarahan bisa diatur ritmenya, seperti orkestra yang menunggu aba-aba konduktor. Desain narasi bekerja halus, memberi arah, memperbesar gema, bahkan menentukan siapa yang jadi pahlawan dan siapa yang dituding sebagai biang kerok. Pertanyaannya: apakah massa benar-benar sedang bersuara, atau hanya sedang menghidupi narasi orang lain?
Setelah gegap gempita perayaan HUT RI ke-80, jalanan kota besar kembali riuh oleh gelombang massa. Spanduk, teriakan, dan wajah-wajah yang murka seolah menegaskan bahwa euforia kemerdekaan belum menyentuh rasa merdeka di perut rakyat. Kenyataan ini mematahkan pidato kenegaraan penuh optimisme yang terdengar di berbagai podium. Sebaliknya, di balik podium perayaan kemerdekaan itu ada kenyataan lain: kemerdekaan yang kita rayakan masih sebatas fisik, sementara pikiran rakyat kerap dikuasai oleh narasi yang disetir. Sehingga di balik teriakan yang menyertai amuk massa  ada sesuatu yang lebih dingin dan terukur: desain narasi yang ditata rapi, menunggu amarah rakyat sebagai bahan bakar. Inilah paradoks negeri merdeka: di satu sisi, ada ledakan spontanitas yang jujur dari rakyat kecil, dan di sisi lain, ada kalkulasi politik yang menjadikan kerumunan sebagai panggung untuk mengerek keuntungan.
Baca juga:
Amuk massa jarang benar-benar lahir dari ruang hampa. Ada yang berteriak karena lapar, ada yang marah karena tersulut, tapi sering kali ada pula tangan-tangan tak terlihat yang sibuk merajut narasi di belakang layar. Demonstrasi yang tampak spontan bisa saja sudah lama dipetakan: siapa yang menyalakan isu, siapa yang menebar gambar, siapa yang mengatur ritme. Massa bergerak dengan emosi, sementara narasi bergerak di dalam kepala.
Dari jalan raya hingga linimasa, amarah rakyat bisa dikemas seperti konten: diberi judul, disisipi efek dramatis, lalu dipasarkan ke publik. Kondisi ini membuat masyarakat sering terjebak pada persepsi, bukan realitas. Banyak orang merasa sudah cukup tahu hanya dari headline, meme, atau potongan video berdurasi satu menit. Amuk massa jadi tontonan yang didesain oleh sutradara narasi. Ruang berpikir kritis rakyat pun terus menyempit di hadapan agenda tersembunyi para penunggang narasi.
Pengendalian narasi adalah senjata utama yang sudah digunakan sejak dulu. Belanda menjajah bangsa kita dengan narasi bahwa rakyat Nusantara "tidak mampu mengurus diri sendiri". Kini, pengendalian narasi hadir dalam bentuk lebih halus: pemberitaan yang disusun sepihak, algoritma media sosial yang menonjolkan konten tertentu, hingga politik identitas yang dikemas dalam bahasa moralitas. Kolonialisme informasi menggantikan kolonialisme militer.
Baca juga:
Kemerdekaan Digital: Antara Peluang Emas dan Kolonialisme Siber