Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Habis Merdeka Muncullah Amuk

31 Agustus 2025   12:58 Diperbarui: 31 Agustus 2025   22:42 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi aksi protes massa di depan gedung DPR/MPR pada Agustus 2025 (Sumber: Antaranews.com via Kontan.co.id)

Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Rasanya itulah ungkapan yang paling pas untuk menggambarkan kesan yang muncul di dalam batin setelah mengamati kondisi sosial politik nasional sejak aksi massa ke DPR pada 25 Agustus lalu. Meskipun ungkapan tersebut terdengar klise, tapi dalam kondisi yang semakin mencekam, kata kata tersebut paling cocok untuk mewakili situasi batin bangsa kita sekarang.

Indonesia sedang diamuk oleh emosi massa yang berbuntut panjang. Mulai dari bentrokan aparat-massa, pembakaran fasilitas publik, penggerudukan properti anggota DPR, hingga penjarahan oleh massa. Semua peristiwa ini bergerak serentak seperti diorkestrasi dari di Jakarta hingga kota-kota besar lainnya di Indonesia. 

Pertanyaannya sekarang: siapa yang menyulut emosi massa hingga meluap menjadi amuk di luar kendali? Siapa pula yang bisa menghentikannya tatkala figur-figur yang menjadi penyelenggara negara sekarang sudah kehilangan respek dan "trust" dari rakyat?

Ini memang ironis. Indonesia baru saja merayakan 80 tahun kemerdekaan. Di berbagai kota, bendera merah putih berkibar, parade budaya berlangsung, dan upacara kenegaraan dipenuhi simbol kebanggaan nasional. Para pejabat ramai-ramai bernyanyi dan berjoget di istana. Lini masa media sosial berseliweran konten-konten bernuansa merah putih yang menandakan kemeriahan peringatan kemerdekaan Indonesia. Intinya, perayaan tersebut memberi pesan keharmonisan pemerintah dan rakyat. 

Baca juga: 

17 Agustus 2025: Begini Semarak HUT RI ke-80

Namun, setelah euforia itu, masa bulan madu pemerintah dengan rakyat pun langsung bubar. Pemandangan kontras -- tetapi sudah cukup akrab-- mulai muncul: demontrasi. Awalnya hanya ratusan massa yang berkumpul di depan gedung DPR, memenuhi jalan, mengibarkan spanduk protes di samping bendera merah putih, lalu berorasi menyampaikan tuntutan mereka.

Beberapa hari kemudian muncul lagi aksi serupa namun dengan intensitas masa yang semakin meningkat. Titik aksi pun menyebar di beberapa titik di Jakarta. Aksi ini berjalan panas dan cenderung provokatif. Aksi ini terus berlangsung dan menyulut aksi-aksi serupa di luar Jakarta, bahkan sampai ke Sumatera hingga Sulawesi. Modusnya sama: memprovokasi aparat, merusak fasilitas umum, membakar kantor polisi dan kendaraan bermotor. Asap tebal dari flare dan ban terbakar membuat suasana berubah drastis. 

Padahal, pekan lalu kita semua sama-sama masih memekikkan kata merdeka sebagai salam persatuan dan persaudaraan sesama anak bangsa. Nuansa sakral perayaan kemerdekaan mendadak ternoda dengan ketegangan sosial yang tak bisa diabaikan. Kontras ini memperlihatkan wajah Indonesia yang penuh paradoks. Di satu sisi, negara merayakan pencapaian 80 tahun merdeka, di sisi lain rakyatnya masih bergulat dengan keresahan ekonomi dan sosial yang membuat perayaan terasa hambar. Perayaan berubah menjadi panggung ekspresi kemarahan kolektif.

Bagi sebagian orang, ini adalah ironi sejarah: kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata kini diisi dengan asap protes dan benturan di jalan. Seolah-olah peringatan kemerdekaan hanya memperlihatkan jurang lebar antara mereka yang di atas panggung dan mereka yang berdesakan di jalanan.

Spontanitas Kemarahan: Suara Rakyat yang Tak Terbendung

Ilustrasi aksi massa yang suaranya tidak digubris oleh pemerintah (Sumber: Kompas.com)
Ilustrasi aksi massa yang suaranya tidak digubris oleh pemerintah (Sumber: Kompas.com)

Rakyat turun ke jalan bukan tanpa alasan. Kenaikan harga kebutuhan pokok, sulitnya lapangan pekerjaan, serta kebijakan yang dianggap lebih menguntungkan elit ketimbang rakyat kecil menjadi bahan bakar kemarahan. Ketidakpuasan itu sudah lama bersemayam, hanya menunggu momen untuk meledak.

Kemerdekaan ke-80 menjadi momentum simbolis. Hari itu, ketika pejabat bicara soal capaian dan prestasi, masyarakat di akar rumput justru merasakan kontras: perut yang kosong, biaya sekolah anak yang semakin berat, dan beban hidup yang terus menekan. Ketimpangan itu melahirkan emosi kolektif yang tidak bisa lagi dibendung.

Baca juga: 

80 Tahun Indonesia Merdeka: Refleksi, Paradoks, dan Jalan Menuju 2045

Di sisi lain, perilaku pejabat publik semakin memuakkan entah dari pernyataan maupun sikap mereka terhadap rakyat. Alih-alih memperbaiki kinerjanya, mereka justru terang-terangan pamer gaya hidup mewah mereka yang bersumber dari uang rakyat juga. Puncaknya adalah para anggota DPR yang berjoget ramai-ramai setelah menerima kebaikan uang tunjangan hingga ratusan juta rupiah.

Reaksi tanda protes pun bermunculan di media sosial. Ungkapan kritik yang ditujukan langsung kepada personal pejabat tidak digubris. Malah, beberapa pejabat justru balik melawan kritik dan protes rakyat dengan cara mengejek dan menantang. 

Implikasinya adalah reaksi spontan kemarahan yang berakumulasi dengan berbagai problematika hidup menghasilkan gerakan perlawanan akar rumput. Gerakan ini tidak sepenuhnya diarahkan oleh komando organisasi. Banyak massa yang datang secara spontan, berangkat dari keresahan pribadi dan komunitas kecil. Fenomena ini memperlihatkan bahwa kemarahan publik memiliki daya dorong sendiri, bahkan tanpa mobilisasi struktural.

Namun, spontanitas inilah yang justru memantik munculnya kekacauan. Tanpa struktur, tuntutan menjadi beragam, orasi terdengar tumpang tindih, dan aksi lebih mirip letupan amarah ketimbang strategi politik. Di titik ini, demonstrasi menjadi rapuh lalu digiring ke arah lain dengan mudah. Spontanitas rakyat memang  energi murni demokrasi. Akan tetapi, jika tidak diarahkan, demonstrasi malah  berubah jadi senjata makan tuan.

Tunggang-Menunggang: Saat Politik Masuk ke Aksi Jalanan

Ilustrasi aksi pengamanan demonstrasi masa menggunakan gas air mata (Sumber: Liputan6.com)
Ilustrasi aksi pengamanan demonstrasi masa menggunakan gas air mata (Sumber: Liputan6.com)

Ketika massa berkumpul, celah bagi aktor politik terbuka lebar. Spanduk yang awalnya bertuliskan "Bubarkan DPR" perlahan berganti menjadi slogan-slogan partisan. Orator baru muncul dengan pidato yang lebih rapi dengan narasi yang sudah dipersiapkan. Lini masa media pun ramai dengan konten dengan orkestrasi yang senada. Rakyat yang awalnya bersuara untuk bubarkan DPR  tiba-tiba harus mendengar orasi soal pergantian rezim hingga kekejaman aparat.

Fenomena "ditunggangi" ini bukan hal baru. Dalam sejarah Indonesia, aksi rakyat sering menjadi lahan subur bagi elit politik untuk menanam kepentingannya. Massa dijadikan alat legitimasi, sementara isu pokok rakyat perlahan menghilang dari narasi utama.

Penunggang demonstrasi biasanya hadir dengan logistik: pengeras suara, transportasi, bahkan konsumsi. Mereka membawa bendera organisasi meski awalnya aksi digerakkan tanpa embel-embel organisasi. Begitu massa tercerai-berai, narasi yang tersisa di media justru adalah narasi politik. Bagi elit, momentum seperti ini adalah peluang emas. Aksi rakyat memberi legitimasi moral, dan framing di media memperbesar gaungnya. Di sinilah demonstrasi rakyat berubah menjadi panggung perebutan citra.

Akhirnya, rakyat kembali terpinggirkan dalam aksi yang mereka inisiasi sendiri. Aspirasi murni yang lahir dari keresahan sosial hilang ditelan propaganda politik.

Baca juga:

Kepeloporan Anak Muda dalam Narasi Perjuangan Bangsa Indonesia

Perang Narasi di Media dan Medsos

Sementara itu, perang narasi pun berlangsung sengit di ruang publik. Negara meresponsnya dengan cara-cara kuno. Salah satunya adalah pernyataan seorang purnawirawan jenderal ahli intelijen yang menyebutkan bahwa semua aksi massa tersebut ditunggangi kelompok asing yang hendak menjajah Indonesia dengan informasi dan narasi yang menyesatkan. Narasi ini bertujuan untuk mendeligitimasi aksi sekaligus mempertahankan citra stabilitas pemerintahan.

Sebaliknya, oposisi memanfaatkan momen ini dengan membingkai aksi sebagai "suara asli rakyat yang ditindas". Mereka menuduh pemerintah anti-kritik, dan menguatkan kesan bahwa rakyat semakin terpinggirkan. Bagi oposisi, demonstrasi adalah bukti kegagalan pemerintah.

Media arus utama ikut terbelah. Ada yang menyorot aksi sebagai anarki, fokus pada bentrokan dan kerusakan fasilitas umum. Ada pula yang mengangkat sisi penderitaan rakyat: ibu-ibu berteriak karena ekonomi yang sulit, atau buruh yang kehilangan pekerjaan. Perbedaan pemberitaan membuat publik semakin bingung.

Di media sosial, situasinya lebih kacau. Potongan video singkat viral dengan caption provokatif. Hoaks bertebaran, framing liar tak terkendali. Dalam hitungan jam, opini publik terpecah menjadi dua kubu besar yang saling hujat. Ketika narasi lebih berkuasa daripada fakta, kebenaran menjadi kabur. Yang tersisa hanyalah persepsi yang terus dipertahankan masing-masing kubu.

Retakan Pasca Demo: Prediksi Perpecahan dan Polarisasi

Aksi besar tidak pernah berakhir begitu saja. Ia meninggalkan residu politik yang bisa membelah masyarakat lebih dalam. Retakan sosial mulai terlihat, terutama ketika aksi dibaca berbeda oleh kelompok-kelompok warga.

Potensi perpecahan horizontal muncul ketika warga saling curiga: mereka yang ikut aksi dianggap provokator, sementara yang tidak ikut dianggap apatis. Kesenjangan ini mudah diperbesar oleh narasi provokatif di media sosial.

Perpecahan vertikal juga menguat. Pemerintah semakin curiga pada rakyat, rakyat semakin kehilangan kepercayaan pada pemerintah. Hubungan antara negara dan warganya terguncang, menciptakan jurang kepercayaan yang sulit dipulihkan.

Dalam jangka panjang, aksi ini bisa menjadi trauma kolektif. Bagi sebagian orang, demo bukan lagi ekspresi demokrasi, tetapi simbol kekacauan dan ketidakstabilan. Polarisasi bisa bertahan lama, bahkan setelah isu awal demonstrasi mereda.

Pertanyaannya: apakah bangsa ini bisa meredam retakan yang muncul, atau justru membiarkannya membesar menjadi ancaman disintegrasi politik?

Baca juga:

80 Tahun Merdeka dengan Warisan Reformasi dan Demokrasi yang Terluka

Penutup Reflektif

Delapan puluh tahun merdeka, namun bangsa ini masih berjuang menemukan keseimbangan antara aspirasi rakyat dengan kepentingan politik. Demonstrasi adalah cermin, memperlihatkan kemarahan tulus sekaligus permainan kekuasaan yang memboncengnya.

Tantangan terbesar kita bukan hanya merawat kemerdekaan secara simbolis, tetapi juga menjaga kemerdekaan dalam berpikir, menyuarakan aspirasi, dan memilah mana suara rakyat yang asli, mana yang ditunggangi. Jika bangsa ini gagal membaca narasi dengan jernih, maka asap demonstrasi akan terus menodai merah putih setiap kali kita merayakan kemerdekaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun