Ironisnya, masyarakat kerap ikut terjebak dalam permainan oligarki. Politik uang menjadi praktik umum, membuat rakyat rela menjual suaranya demi keuntungan sesaat. Padahal, dampak jangka panjangnya adalah hilangnya kontrol publik terhadap wakil-wakil yang seharusnya bekerja untuk mereka. Oligarki tidak hanya menguasai politik, tetapi juga membentuk budaya politik yang permisif terhadap korupsi dan kolusi.
Jika oligarki dan dinasti politik dibiarkan, cita-cita Reformasi akan terkubur. Demokrasi akan berubah menjadi teater yang dimainkan oleh para pemilik modal, sementara rakyat hanya menjadi penonton yang diminta bertepuk tangan setiap lima tahun sekali.
Refleksi: Merdeka Secara Politik Belum Tentu Berdaulat sebagai Warga
Kemerdekaan politik yang kita miliki hari ini sering dianggap sebagai puncak pencapaian Reformasi. Kita bisa memilih pemimpin, menggelar pemilu, dan memiliki institusi demokrasi. Namun, realitasnya menunjukkan bahwa kemerdekaan politik tidak otomatis membuat warga berdaulat. Demokrasi prosedural tanpa demokrasi substansial hanya akan melahirkan kebebasan yang semu.
Kedaulatan warga sejati lahir ketika suara rakyat benar-benar memengaruhi kebijakan publik, ketika wakil rakyat bekerja untuk kepentingan publik, dan ketika hukum berlaku sama untuk semua. Saat ini, kesenjangan antara rakyat dan penguasa justru melebar. Warga sering kali menjadi objek kebijakan, bukan subjek yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Kita juga harus mengakui bahwa demokrasi membutuhkan partisipasi aktif. Hak pilih hanyalah satu bagian kecil dari proses demokrasi. Mengawal kebijakan, mengawasi anggaran, dan mengkritisi kebijakan yang keliru adalah bagian lain yang sama pentingnya. Sayangnya, budaya politik kita masih menempatkan rakyat sebagai penonton, bukan pemain utama.
Reformasi 1998 adalah momentum emas yang memberi kita kesempatan untuk membangun demokrasi sejati. Namun, kesempatan itu bisa hilang jika kita membiarkan pembungkaman, oligarki, dan politik uang merajalela. Luka Reformasi hanya bisa sembuh jika kita menghidupkan kembali partisipasi warga secara kritis dan berkelanjutan.
Kedaulatan warga bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan yang harus dipertahankan setiap hari. Tanpa itu, kemerdekaan yang kita rayakan hanya akan menjadi simbol tanpa substansi.
Penutup