Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

80 Tahun Merdeka dengan Warisan Reformasi dan Demokrasi yang Terluka

9 Agustus 2025   09:27 Diperbarui: 9 Agustus 2025   09:27 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ironisnya, masyarakat kerap ikut terjebak dalam permainan oligarki. Politik uang menjadi praktik umum, membuat rakyat rela menjual suaranya demi keuntungan sesaat. Padahal, dampak jangka panjangnya adalah hilangnya kontrol publik terhadap wakil-wakil yang seharusnya bekerja untuk mereka. Oligarki tidak hanya menguasai politik, tetapi juga membentuk budaya politik yang permisif terhadap korupsi dan kolusi.

Jika oligarki dan dinasti politik dibiarkan, cita-cita Reformasi akan terkubur. Demokrasi akan berubah menjadi teater yang dimainkan oleh para pemilik modal, sementara rakyat hanya menjadi penonton yang diminta bertepuk tangan setiap lima tahun sekali.

Refleksi: Merdeka Secara Politik Belum Tentu Berdaulat sebagai Warga

Ilustrasi demonstrasi mahasiswa menolak pengesahan RUU TNI (Sumber: Getty Images via BBC.com)
Ilustrasi demonstrasi mahasiswa menolak pengesahan RUU TNI (Sumber: Getty Images via BBC.com)

Kemerdekaan politik yang kita miliki hari ini sering dianggap sebagai puncak pencapaian Reformasi. Kita bisa memilih pemimpin, menggelar pemilu, dan memiliki institusi demokrasi. Namun, realitasnya menunjukkan bahwa kemerdekaan politik tidak otomatis membuat warga berdaulat. Demokrasi prosedural tanpa demokrasi substansial hanya akan melahirkan kebebasan yang semu.

Kedaulatan warga sejati lahir ketika suara rakyat benar-benar memengaruhi kebijakan publik, ketika wakil rakyat bekerja untuk kepentingan publik, dan ketika hukum berlaku sama untuk semua. Saat ini, kesenjangan antara rakyat dan penguasa justru melebar. Warga sering kali menjadi objek kebijakan, bukan subjek yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

Kita juga harus mengakui bahwa demokrasi membutuhkan partisipasi aktif. Hak pilih hanyalah satu bagian kecil dari proses demokrasi. Mengawal kebijakan, mengawasi anggaran, dan mengkritisi kebijakan yang keliru adalah bagian lain yang sama pentingnya. Sayangnya, budaya politik kita masih menempatkan rakyat sebagai penonton, bukan pemain utama.

Reformasi 1998 adalah momentum emas yang memberi kita kesempatan untuk membangun demokrasi sejati. Namun, kesempatan itu bisa hilang jika kita membiarkan pembungkaman, oligarki, dan politik uang merajalela. Luka Reformasi hanya bisa sembuh jika kita menghidupkan kembali partisipasi warga secara kritis dan berkelanjutan.

Kedaulatan warga bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan yang harus dipertahankan setiap hari. Tanpa itu, kemerdekaan yang kita rayakan hanya akan menjadi simbol tanpa substansi.

Penutup

Ilustrasi kampanye Pilkada serentak 2024 (Sumber: Kompas.id)
Ilustrasi kampanye Pilkada serentak 2024 (Sumber: Kompas.id)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun