Birokratisasi pendidikan semakin memperparah situasi. Guru dan dosen lebih banyak mengisi form, laporan, dan memenuhi akreditasi daripada mengajar secara reflektif. Mereka dipaksa menjadi "pekerja akademik" yang sibuk mengejar skor dan standar, bukan pendidik sejati yang mendampingi proses pembelajaran. Ruang untuk diskusi kritis kian sempit, karena segalanya dinilai melalui angka.
Lebih dari itu, mereka juga dihadapkan pada risiko tekanan politik, sensor akademik, dan pembungkaman wacana. Tak sedikit dosen yang diintimidasi karena menyuarakan kritik terhadap kebijakan negara atau menyentuh isu-isu sensitif. Ini menunjukkan bahwa kapitalisasi pendidikan berjalan seiring dengan kontrol terhadap pemikiran. Para pendidik dikondisikan untuk diam.
Namun, justru dari para guru dan dosen yang masih mempertahankan integritas dan keberanian, kita melihat harapan. Mereka adalah penjaga api pendidikan yang membebaskan. Mereka yang tetap mengajar dengan nurani, berpihak pada murid, dan menolak tunduk pada sistem yang menindas. Di tangan merekalah, sisa-sisa kemerdekaan pendidikan masih bertahan.
Pendidikan sebagai Ruang Perlawanan yang Belum Selesai
Pendidikan Indonesia tengah berada di persimpangan tajam. Antara menjadi alat reproduksi ketimpangan sosial atau menjadi medan perlawanan menuju keadilan. Di tengah tekanan kapitalisasi dan birokratisasi, tugas kita bukan sekadar memperbaiki sistem, tapi mengembalikan ruh pendidikan itu sendiri: sebagai ruang pembebasan, bukan penjajahan baru.
Sekolah dan kampus tak boleh lagi tunduk pada pasar, apalagi pada logika laba semata. Mereka harus kembali menjadi ruang aman bagi gagasan-gagasan subversif, keberanian moral, dan imajinasi sosial. Pendidikan bukan jalan menuju status sosial, melainkan jalan untuk memahami dan mengubah kenyataan.
Merdeka belajar sejati bukan tentang ganti kurikulum, tapi tentang siapa yang boleh berpikir, bertanya, dan membayangkan masa depan. Dan selama masih ada anak muda, guru, dan rakyat yang berani melawan sistem yang menindas, maka perjuangan pendidikan akan terus hidup. Karena sekolah bukan tempat untuk mencetak robot, tetapi tempat untuk menumbuhkan manusia.
***
Depok, 8/8/2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI