Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

80 Tahun Merdeka, tetapi Pendidikan Kita masih Terkekang Sistem dan Uang

8 Agustus 2025   12:58 Diperbarui: 9 Agustus 2025   00:11 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Proyek-proyek kemitraan dengan korporasi semakin memperkuat dominasi industri dalam kampus. Alih-alih mengkritik industri yang merusak lingkungan atau menindas buruh, kampus justru menjadi mitra pasif yang ikut melanggengkan ketimpangan. Etika akademik dikorbankan demi aliran dana. Mahasiswa diajarkan untuk bekerja dan patuh, bukan untuk bertanya dan menggugat.

Di tengah semua ini, makna pendidikan sebagai proses pencerahan dan pemerdekaan makin memudar. Kampus kehilangan keberaniannya untuk bersikap. Ia takut kehilangan sponsor, takut dicap tidak relevan, dan akhirnya memilih aman. Padahal pendidikan sejatinya bukan tentang kenyamanan, tetapi keberanian berpikir dan keberanian melawan.

Ketimpangan Digital dan Krisis Relevansi Kurikulum

Pandemi telah membuka borok sistem pendidikan digital kita. Ketika sekolah dan kuliah dialihkan ke sistem daring, tampak jelas siapa yang bisa bertahan dan siapa yang terlempar dari sistem. Ketimpangan akses terhadap perangkat, kuota internet, dan literasi digital menjadikan pendidikan daring sebagai peneguh ketidakadilan. Sekolah berubah jadi ruang eksklusif yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang punya sinyal dan gawai.

Sementara itu, kurikulum yang digunakan tetap bersifat seragam dan kaku. Materi diajarkan seolah-olah semua siswa berada di posisi yang sama, padahal kenyataan mereka sangat beragam. Tidak ada ruang untuk adaptasi lokal, partisipasi siswa, atau fleksibilitas konten. Pendidikan menjadi penghafalan, bukan pemahaman. Guru kejar target, murid kejar nilai, dan makna pembelajaran tercerabut dari konteksnya.

Krisis relevansi juga terlihat dalam disconnect antara materi ajar dan realitas sosial. Anak-anak diajarkan rumus dan teori, tapi tidak diajarkan untuk memahami konflik agraria di desanya sendiri. Mahasiswa ekonomi belajar tentang pasar bebas, tapi tak pernah diajak menganalisis pasar tradisional di sekitarnya. Ini bukan hanya soal substansi, tapi soal arah. Untuk siapa dan untuk apa pendidikan ini berjalan?

Teknologi seharusnya menjadi alat untuk membuka akses dan memperluas wawasan. Tapi dalam praktiknya, ia justru menciptakan kasta baru dalam dunia pendidikan. Mereka yang punya teknologi unggul, mereka yang tidak tertinggal. Di balik jargon "digitalisasi pendidikan" tersembunyi realitas pengucilan. Sekolah daring tidak netral--ia menyingkirkan yang tak mampu.

Untuk membebaskan pendidikan dari krisis ini, kita butuh kurikulum yang hidup, kontekstual, dan partisipatif. Bukan yang dibakukan dari pusat lalu diterapkan secara top-down. Pendidikan seharusnya lahir dari dialog, bukan hanya dari diktat. Karena hanya dengan begitu, sekolah bisa kembali menjadi ruang yang membebaskan.

Guru dan Dosen di Persimpangan: Antara Idealisme dan Realitas

Para pendidik--guru dan dosen--adalah aktor paling krusial dalam sistem pendidikan, namun merekalah yang paling terpinggirkan. Di tengah beban administrasi yang menumpuk, upah yang tak sepadan, dan sistem kerja kontrak yang tidak manusiawi, mereka tetap dituntut untuk menjadi pelita. Padahal, pelita pun bisa padam jika tidak dirawat.

Guru honorer dengan penghasilan di bawah UMR harus mengajar penuh dedikasi tanpa jaminan kerja yang jelas. Banyak dari mereka yang mengabdi selama puluhan tahun tanpa diangkat jadi ASN. Dosen di perguruan tinggi swasta sering kali digaji rendah dan dibebani tuntutan publikasi tanpa dukungan yang memadai. Di sinilah idealisme sering kali terpaksa bertekuk lutut pada kenyataan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun