Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

80 Tahun Merdeka, tetapi Pendidikan Kita masih Terkekang Sistem dan Uang

8 Agustus 2025   12:58 Diperbarui: 9 Agustus 2025   00:11 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi protes masyarakat terhadap biaya pendidikan yang semakin mahal (Sumber: Westjavatoday.com)

Baca juga:

Menakar Keadilan Sosial setelah 80 Tahun Indonesia Merdeka

Keluarga dari kalangan ekonomi menengah ke bawah semakin kesulitan menjangkau pendidikan tinggi. Banyak yang terpaksa meminjam uang dari koperasi, meminjam ke rentenir, bahkan menjual aset demi melihat anaknya mengenakan toga. Di saat yang sama, kampus terus berlomba-lomba membangun gedung megah, memperluas jaringan internasional, dan menaikkan gengsi institusi. Ada jurang lebar antara kenyataan mahasiswa dan ambisi institusi.

Komersialisasi juga tampak jelas dalam cara perguruan tinggi membuka program studi yang "menguntungkan", seperti bisnis digital, manajemen, atau data science--sementara jurusan yang dianggap tidak menjual seperti filsafat, sastra, atau seni perlahan dimarginalkan. Ini bukan hanya soal pilihan akademik, tapi juga arah peradaban. Apa jadinya bangsa yang hanya memproduksi teknokrat tanpa daya kritis dan etika?

Sistem UKT yang katanya berkeadilan justru membuka celah manipulasi. Banyak orang tua yang memalsukan data demi bisa membayar murah, sementara yang jujur justru terhimpit. Seringkali, mahasiswa dari keluarga pas-pasan justru masuk ke golongan UKT tertinggi karena sistem penilaian yang kaku dan tidak manusiawi. Di sini, pendidikan tidak lagi menyaring berdasarkan kualitas intelektual, tapi berdasarkan kemampuan finansial.

Kapitalisasi pendidikan tidak hanya menghambat akses, tapi juga memengaruhi cita-cita. Anak-anak muda tak lagi bebas bermimpi jadi ilmuwan sosial, peneliti, atau seniman karena takut "tak bisa makan". Mereka didorong untuk memilih jurusan demi gaji, bukan demi kontribusi. Ketika pendidikan tunduk pada logika pasar, maka kemerdekaan berpikir ikut mati di meja kasir.

Kampus sebagai Industri: Hilangnya Ruh Pencerahan

Ilustrasi poster sindiran terhadap biaya kuliah yang mahal (Sumber: Balairungpress.com)
Ilustrasi poster sindiran terhadap biaya kuliah yang mahal (Sumber: Balairungpress.com)

Kampus, yang dahulu menjadi tempat lahirnya gagasan revolusioner dan perubahan sosial, kini berubah menjadi institusi steril yang lebih sibuk mencetak tenaga kerja dibanding mencetak pemikir. Narasi "link and match" yang digaungkan pemerintah memang terdengar ideal, tetapi jika dimaknai sempit sebagai penyesuaian total terhadap tuntutan industri, maka kampus tak ubahnya menjadi pabrik SDM murah bagi kepentingan pasar.

Indikator keberhasilan kampus saat ini bukan lagi kualitas gagasan atau kontribusi ilmiah terhadap masyarakat, tetapi jumlah mitra industri, proyek komersial, dan lulusan yang "cepat kerja". Akibatnya, kurikulum dibentuk berdasarkan keinginan industri, bukan kebutuhan sosial. Kampus kehilangan otonominya sebagai ruang kebebasan berpikir. Ia menjadi terlalu pragmatis, dan pendidikan menjadi transaksional.

Lebih jauh, riset pun ikut terkooptasi oleh logika pasar. Penelitian yang didanai adalah penelitian yang bisa dijual, bukan yang penting secara sosial atau filosofis. Banyak dosen dan mahasiswa yang akhirnya "memainkan sistem" agar tetap produktif secara administratif, meskipun tak punya dampak nyata. Riset kehilangan nilai luhur sebagai upaya memahami dan memperbaiki dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun