Delapan dekade sejak proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia seharusnya telah sepenuhnya mewujudkan cita-cita luhur yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu janji yang terus digaungkan sejak awal adalah "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Namun, di tengah gegap gempita perayaan hari kemerdekaan setiap tahun, pertanyaan fundamental justru kian mendesak: kemerdekaan itu untuk siapa?
Realitas sosial hari ini menunjukkan bahwa tidak semua warga merasakan hasil dari pembangunan nasional. Ketimpangan masih begitu nyata. Ada yang hidup di tengah gemerlap kota dengan segala fasilitas, namun ada pula yang masih bergumul dengan kemiskinan ekstrem, keterbatasan akses air bersih, atau putus sekolah karena tidak mampu membayar seragam. Dalam konteks ini, keadilan sosial tampak seperti gagasan mulia yang belum benar-benar membumi.
Kesenjangan bukan hanya terjadi antarindividu, tetapi juga antarwilayah. Ketimpangan pembangunan antara Indonesia bagian barat dan timur, antara kota besar dan desa terpencil, masih sangat mencolok. Sementara jalan tol dan gedung pencakar langit menjulang di satu tempat, di tempat lain jalan rusak dan Puskesmas tanpa dokter menjadi pemandangan sehari-hari. Maka, sudah sepatutnya kita bertanya: apakah keadilan sosial itu benar-benar hadir untuk seluruh rakyat Indonesia?
Keadilan sosial bukanlah slogan yang cukup diucapkan di atas podium. Ia harus hadir dalam wujud nyata: dalam akses pendidikan yang merata, lapangan kerja yang adil, layanan kesehatan yang setara, dan perlindungan bagi kelompok paling rentan. Jika kemerdekaan hanya dirasakan oleh segelintir elit atau kelompok tertentu, maka janji proklamasi belum benar-benar tuntas.
Artikel ini mencoba menyigi ulang makna kemerdekaan dengan menyoroti satu hal penting yang kerap terlupakan: pembangunan inklusif sebagai jalan menuju keadilan sosial. Sebab, 80 tahun bukan waktu yang sebentar. Sudah saatnya kita menuntut lebih dari sekadar seremoni. Kita membutuhkan pemeriksaan jujur terhadap capaian dan kegagalan negara dalam memenuhi amanat konstitusi.
Keadilan Sosial dalam Konteks Indonesia
Gagasan keadilan sosial bukan barang asing dalam sejarah pemikiran Indonesia. Para pendiri bangsa menempatkannya sebagai sila kelima dalam Pancasila dan menjadikannya tujuan akhir dari kemerdekaan. Bung Hatta, sebagai tokoh penting ekonomi kerakyatan, percaya bahwa kesejahteraan tidak boleh menjadi milik segelintir orang. Koperasi, dalam pandangannya, adalah alat untuk membebaskan rakyat dari dominasi modal dan struktur feodal.
Pada awal kemerdekaan, keadilan sosial diartikan sebagai distribusi kekayaan yang adil, penghapusan eksploitasi, dan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Sayangnya, filosofi ini tidak sepenuhnya terimplementasi dalam strategi pembangunan nasional. Pembangunan kerap kali berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tanpa cukup memperhatikan siapa yang diuntungkan dan siapa yang tertinggal. Dalam praktiknya, pendekatan ini memperdalam jurang ketimpangan.
Dari masa ke masa, arah kebijakan ekonomi nasional bergeser mengikuti kepentingan politik. Di era Orde Baru, pembangunan difokuskan pada stabilitas dan pertumbuhan, namun dengan ongkos eksploitasi sumber daya alam dan marjinalisasi petani serta buruh. Era Reformasi membawa kebebasan baru, namun pasar bebas yang tak terkendali justru memperkuat dominasi modal dan memperlemah peran negara sebagai pengatur keadilan.
Keadilan sosial kemudian menjadi terminologi yang hampa dalam perdebatan publik. Ia hadir dalam pidato-pidato kenegaraan, namun absen dalam implementasi kebijakan yang menyentuh rakyat kecil. Ketika distribusi kekayaan, pelayanan publik, dan kesempatan kerja hanya tersedia bagi mereka yang mampu mengakses sistem, maka cita-cita keadilan tinggal menjadi simbol.