Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Proklamasi 4.0: Merdeka Digital bagi "Digital Native"-Gen Z

5 Agustus 2025   07:42 Diperbarui: 5 Agustus 2025   07:42 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi logo HUT 80 tahun Indonesia merdeka (Sumber: Kompas.com)

Hari kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2025 ditandai dengan perjalanan bangsa kita menghadapi tantangan pembangunan teknologi era industri 4.0. Era ini ditandai dengan digitalisasi secara masif di seluruh sektor pembangunan sehingga hari ini hampir semua lini kehidupan bangsa sudah dikendalikan oleh teknologi digital. Pergeseran pola pembangunan negara ini berdampak pula pada perilaku dan orientasi hidup masyarakat yang sudah bergantung pada teknologi digital. 

Kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Dwi-tunggal RI Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 adalah landasan kedaulatan yang memberikan ruh bagi pembangunan bangsa yang sebentar lagi akan memasuki dekade yang kedelapan. Artinya, 17 Agustus 2025, Indonesia memasuki 80 tahun kemerdekaan dengan problem kebangsaan yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan dekade-dekade sebelumnya. 

Dalam usia 80 tahun ini, Generasi Z atau Gen Z-- anak-anak muda yang lahir di tengah derasnya arus digital--menghadapi medan juang yang berbeda: dunia maya yang dipenuhi algoritma, konten viral, dan kebebasan berekspresi yang kompleks. Mereka hidup di era yang disebut sebagai Proklamasi 4.0, di mana kemerdekaan tidak lagi hanya dimaknai secara fisik atau politis, melainkan juga secara digital. Pertanyaannya: apakah mereka sungguh merdeka?

Kemerdekaan digital semestinya memungkinkan siapa pun untuk menyuarakan ide, berkreasi, dan terhubung lintas batas. Namun, dalam kenyataannya, dunia digital bukan ruang hampa nilai. Ia penuh jebakan---klikbait, manipulasi algoritma, hoaks, hingga ketergantungan terhadap validasi sosial. Proklamasi 4.0 adalah proklamasi yang harus terus diperjuangkan, bukan sekadar dinikmati. Gen Z harus menyadari bahwa kemerdekaan di dunia maya tetap membutuhkan kesadaran kritis dan pengelolaan diri.

Di tengah dominasi platform asing, pertanyaan tentang kedaulatan data dan algoritma semakin relevan. Banyak dari kita yang tidak sadar bahwa informasi yang kita lihat sehari-hari ditentukan oleh rumus rahasia yang dimiliki segelintir perusahaan teknologi. Apakah ini bentuk baru kolonialisme digital? Jika dulu penjajah mengambil hasil bumi, kini data pribadi kita menjadi komoditas baru yang diperdagangkan tanpa kita sadari.

Fenomena ini tidak berarti Gen Z kita kalah. Justru, mereka memiliki peluang besar untuk menegaskan kemerdekaan mereka melalui literasi digital dan pemanfaatan teknologi untuk keberdayaan sosial. Mereka adalah generasi yang paling dekat dengan teknologi, dan justru karena itu, merekalah yang paling berpotensi mengubah tatanan digital agar lebih berkeadilan dan manusiawi.

Proklamasi digital adalah kebebasan berbicara di media sosial  memperjuangkan ruang digital yang sehat, adil, dan inklusif. Ini adalah panggilan bagi Gen Z untuk menyusun ulang narasi kemerdekaan: dari sekadar bebas, menjadi berdaulat. Dari sekadar viral, menjadi berdampak.

Algoritma, Sensor, dan Paradoks Ekspresi

Ilustrasi kompleksitas dunia digital yang dihadapi oleh Gen Z (Sumber: Community.mekari.com)
Ilustrasi kompleksitas dunia digital yang dihadapi oleh Gen Z (Sumber: Community.mekari.com)

Salah satu daya tarik terbesar dunia digital adalah janjinya akan kebebasan berekspresi. Media sosial membuka ruang bagi siapa pun untuk bersuara, berpendapat, dan menciptakan karya. Namun di balik janji itu, tersembunyi paradoks: ekspresi kita tidak sepenuhnya bebas, tetapi dibentuk dan dibatasi oleh algoritma dan kebijakan platform yang tidak selalu transparan.

Konten yang dianggap "aman" oleh algoritma sering kali mendapat jangkauan lebih luas, sementara konten yang kritis atau menyuarakan keadilan sosial bisa dibatasi jangkauannya atau bahkan diturunkan. Ironisnya, banyak aktivis muda dan jurnalis warga dari Generasi Z yang justru menjadi korban sensor digital. Ini menunjukkan bahwa meski secara teknis kita bisa berbicara, ekspresi kritis kita tetap bisa dibungkam secara struktural. 

Paradoks lainnya adalah algoritma yang memperkuat polarisasi. Dalam upaya mempertahankan keterlibatan pengguna, platform digital cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi atau bias kita. Akibatnya, kita hidup dalam "filter bubble"yang mempersempit pandangan dan membuat kita kurang terbuka terhadap perspektif lain. Kebebasan berekspresi pun berubah menjadi kebebasan untuk saling menyerang atau mengisolasi diri.

Gen Z, sebagai aktor utama di ruang digital, perlu memahami cara kerja algoritma dan implikasinya. Mereka perlu menuntut transparansi algoritma, mendukung platform yang etis, dan membangun ekosistem digital yang mempromosikan keragaman suara, bukan sekadar engagement tinggi. Edukasi literasi digital yang kritis harus menjadi bagian dari kurikulum dan budaya diskusi mereka.

Kebebasan digital bukan sekadar ada atau tidak ada. Ia adalah proses yang terus dinegosiasikan. Dalam dunia yang dikendalikan oleh mesin dan data, perjuangan untuk mengekspresikan diri secara utuh adalah bentuk baru dari perlawanan terhadap penjajahan digital yang tersembunyi.

Literasi Digital sebagai Bentuk Perlawanan

Ilustrasi literasi digital di kalangan Generasi Z (Sumber: Jawapos.com)
Ilustrasi literasi digital di kalangan Generasi Z (Sumber: Jawapos.com)

Dalam menghadapi dominasi algoritma dan potensi manipulasi informasi, literasi digital bukan sekadar kemampuan mengakses atau menggunakan teknologi, tetapi juga kesanggupan untuk memahami, menganalisis, dan mengkritisi informasi secara mendalam. Bagi Gen Z, literasi digital adalah senjata utama untuk mempertahankan kemerdekaan di era proklamasi digital.

Literasi digital mencakup kesadaran terhadap bagaimana data digunakan, bagaimana informasi diproduksi, serta bagaimana narasi dibentuk dan disebarluaskan. Sayangnya, banyak pengguna muda yang hanya menjadi konsumen pasif dari banjir konten tanpa pernah benar-benar memeriksa kebenaran atau motif di baliknya. Dalam konteks ini, edukasi literasi digital harus digalakkan secara sistemik dan berkelanjutan.

Inisiatif-inisiatif lokal seperti komunitas cek fakta, kelas digital kreatif, dan forum diskusi daring bisa menjadi motor perubahan. Gen Z harus dilatih bukan hanya untuk membuat konten, tetapi juga untuk bertanya: "Mengapa konten ini ada? Siapa yang diuntungkan? Apakah ini adil?" Pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan mendorong terbentuknya generasi pengguna yang sadar dan berdaulat secara informasi.

Tak hanya pada level individu, negara pun perlu hadir dalam memastikan literasi digital menjadi prioritas nasional. Pemerintah harus mendorong kolaborasi lintas sektor untuk menciptakan regulasi yang melindungi warganet sekaligus memperkuat kapasitas kritis mereka. Dengan demikian, kita sebagai warga negara tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga warga digital yang aktif dan merdeka.

Dengan literasi digital, Gen Z akan bertahan di era informasi sekaligus memimpin arah perubahan. Mereka tidak lagi menjadi objek algoritma, melainkan subyek yang mengarahkan arah perkembangan digital sesuai nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Identitas Digital dan Kedaulatan Diri

Ilustrasi ekspresi identitas Gen Z sebagai Digital Native (Sumber: Kabarbaik.co)
Ilustrasi ekspresi identitas Gen Z sebagai Digital Native (Sumber: Kabarbaik.co)

Di era digital, identitas bukan hanya ditentukan oleh nama dan latar belakang, tetapi juga oleh jejak digital yang kita tinggalkan: unggahan, likes, komentar, hingga data lokasi dan preferensi belanja. Identitas digital adalah refleksi dari siapa kita di mata dunia, dan lebih penting lagi, siapa kita di mata algoritma. Ini membawa tantangan baru: bagaimana menjaga kedaulatan diri dalam dunia yang begitu terbuka namun penuh pengawasan?

Gen Z membangun identitas mereka di ruang digital--Instagram, TikTok, Twitter, dan lain-lain. Namun seringkali identitas itu dikonstruksi bukan dari refleksi diri yang jujur, melainkan dari tekanan untuk tampil sempurna, viral, atau sesuai tren. Akibatnya, banyak dari mereka mengalami kecemasan, kehilangan keotentikan, dan bahkan krisis eksistensial yang disebabkan oleh ketergantungan pada citra digital.

Lebih dari sekadar pencitraan, identitas digital juga rentan dimanipulasi oleh pihak ketiga. Data pribadi bisa dijual, dimanfaatkan untuk iklan politik, atau menjadi bahan manipulasi psikologis. Fenomena deepfake, AI-generated persona, dan bot juga memperumit batas antara identitas asli dan tiruan. Apakah kita benar-benar menjadi diri sendiri di dunia digital, atau sekadar potongan-potongan data yang dikurasi oleh pihak lain?

Dalam menghadapi ini, penting bagi Gen Z untuk memahami hak-hak digital mereka: hak atas privasi, keamanan data, dan kontrol atas informasi pribadi. Mereka juga harus diajak untuk menyadari pentingnya membangun identitas yang otentik, yang tak hanya bertumpu pada validasi eksternal, tetapi pada nilai dan kesadaran diri yang utuh.

Kedaulatan digital bukan hanya soal keamanan teknologi, tetapi juga soal integritas manusia. Ketika Gen Z berani mendefinisikan dirinya sendiri di dunia digital dengan kesadaran, itulah bentuk tertinggi dari kemerdekaan: menjadi diri sendiri tanpa takut, tanpa manipulasi, dan tanpa kehilangan makna.

Menuju Proklamasi Digital yang Berdaulat

Ilustrasi logo HUT 80 tahun Indonesia merdeka (Sumber: Kompas.com)
Ilustrasi logo HUT 80 tahun Indonesia merdeka (Sumber: Kompas.com)

Kemerdekaan di era digital bukanlah sesuatu yang otomatis hadir hanya karena kita memiliki akses ke internet. Ia adalah medan perjuangan baru yang menuntut kecerdasan, keberanian, dan kesadaran kolektif. Gen Z, sebagai pemilik masa depan digital Indonesia, perlu merebut kembali ruang-ruang ekspresi, memaknai ulang identitas, dan menuntut keadilan dalam sistem yang membentuk kehidupan daring mereka.

Proklamasi 4.0 bukan hanya soal bersuara di media sosial, tetapi tentang siapa yang menentukan arah suara itu, siapa yang mengatur datanya, dan siapa yang memetik keuntungannya. Dalam dunia yang kompleks ini, kemerdekaan sejati hanya bisa dicapai jika kita merdeka secara informasi, teknologi, dan pemikiran.

Gen Z adalah generasi proklamator baru. Namun perjuangan mereka bukan melawan penjajah bersenjata, melainkan melawan penjajahan yang tak kasat mata: algoritma, sensor, dan manipulasi data. Dan dalam perjuangan ini, literasi, kesadaran, serta solidaritas adalah senjata utama mereka. Sudah saatnya kita mendeklarasikan ulang kemerdekaan, bukan hanya di bumi, tapi juga di dunia maya.

Depok, 5/8/2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun