Konten yang dianggap "aman" oleh algoritma sering kali mendapat jangkauan lebih luas, sementara konten yang kritis atau menyuarakan keadilan sosial bisa dibatasi jangkauannya atau bahkan diturunkan. Ironisnya, banyak aktivis muda dan jurnalis warga dari Generasi Z yang justru menjadi korban sensor digital. Ini menunjukkan bahwa meski secara teknis kita bisa berbicara, ekspresi kritis kita tetap bisa dibungkam secara struktural.Â
Paradoks lainnya adalah algoritma yang memperkuat polarisasi. Dalam upaya mempertahankan keterlibatan pengguna, platform digital cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi atau bias kita. Akibatnya, kita hidup dalam "filter bubble"yang mempersempit pandangan dan membuat kita kurang terbuka terhadap perspektif lain. Kebebasan berekspresi pun berubah menjadi kebebasan untuk saling menyerang atau mengisolasi diri.
Gen Z, sebagai aktor utama di ruang digital, perlu memahami cara kerja algoritma dan implikasinya. Mereka perlu menuntut transparansi algoritma, mendukung platform yang etis, dan membangun ekosistem digital yang mempromosikan keragaman suara, bukan sekadar engagement tinggi. Edukasi literasi digital yang kritis harus menjadi bagian dari kurikulum dan budaya diskusi mereka.
Kebebasan digital bukan sekadar ada atau tidak ada. Ia adalah proses yang terus dinegosiasikan. Dalam dunia yang dikendalikan oleh mesin dan data, perjuangan untuk mengekspresikan diri secara utuh adalah bentuk baru dari perlawanan terhadap penjajahan digital yang tersembunyi.
Literasi Digital sebagai Bentuk Perlawanan
Dalam menghadapi dominasi algoritma dan potensi manipulasi informasi, literasi digital bukan sekadar kemampuan mengakses atau menggunakan teknologi, tetapi juga kesanggupan untuk memahami, menganalisis, dan mengkritisi informasi secara mendalam. Bagi Gen Z, literasi digital adalah senjata utama untuk mempertahankan kemerdekaan di era proklamasi digital.
Literasi digital mencakup kesadaran terhadap bagaimana data digunakan, bagaimana informasi diproduksi, serta bagaimana narasi dibentuk dan disebarluaskan. Sayangnya, banyak pengguna muda yang hanya menjadi konsumen pasif dari banjir konten tanpa pernah benar-benar memeriksa kebenaran atau motif di baliknya. Dalam konteks ini, edukasi literasi digital harus digalakkan secara sistemik dan berkelanjutan.
Inisiatif-inisiatif lokal seperti komunitas cek fakta, kelas digital kreatif, dan forum diskusi daring bisa menjadi motor perubahan. Gen Z harus dilatih bukan hanya untuk membuat konten, tetapi juga untuk bertanya: "Mengapa konten ini ada? Siapa yang diuntungkan? Apakah ini adil?" Pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan mendorong terbentuknya generasi pengguna yang sadar dan berdaulat secara informasi.
Tak hanya pada level individu, negara pun perlu hadir dalam memastikan literasi digital menjadi prioritas nasional. Pemerintah harus mendorong kolaborasi lintas sektor untuk menciptakan regulasi yang melindungi warganet sekaligus memperkuat kapasitas kritis mereka. Dengan demikian, kita sebagai warga negara tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga warga digital yang aktif dan merdeka.
Dengan literasi digital, Gen Z akan bertahan di era informasi sekaligus memimpin arah perubahan. Mereka tidak lagi menjadi objek algoritma, melainkan subyek yang mengarahkan arah perkembangan digital sesuai nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.