Di banyak daerah, implementasi regulasi ini masih sangat bergantung pada kehendak politik kepala daerah. Akibatnya, isu gizi anak menjadi prioritas musiman yang muncul ketika ada kunjungan pusat atau agenda politik tertentu. Tanpa instrumen pengawasan dan evaluasi berbasis hak, peraturan hukum ini hanya berfungsi sebagai pajangan normatif tanpa kekuatan memaksa.
Minimnya pelatihan dan kapasitas aparat daerah dalam memahami hak anak dan pentingnya gizi sehat juga menjadi kendala serius. Banyak petugas lapangan masih melihat program pangan sebagai kegiatan logistik, bukan sebagai upaya pemenuhan hak dasar anak. Ini memperkuat kultur teknokratisme yang mengaburkan dimensi hak dalam program publik.
Di sisi lain, tidak adanya mekanisme pelibatan anak dan keluarga dalam perumusan dan pemantauan kebijakan membuat program-program menjadi tidak partisipatif dan rentan gagal sasaran. Padahal, pemenuhan hak anak seharusnya berjalan dalam prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik.
Tinjauan kritis ini menunjukkan bahwa sekadar memiliki undang-undang belum cukup. Dibutuhkan keberanian politik untuk menjadikan UU Perlindungan Anak dan UU Pangan sebagai perangkat hidup yang mengikat negara dalam menjamin gizi anak sebagai hak yang tidak bisa ditawar.
Â
Program Makan Bergizi Gratis: Antara Komitmen Hak Anak dan Ancaman Penyelewengan
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan oleh pemerintahan saat ini sebenarnya merupakan langkah strategis untuk menjamin pemenuhan gizi anak sekaligus mendukung keberlangsungan pendidikan dasar.
Dengan sasaran jutaan anak sekolah di seluruh Indonesia, program ini semestinya menjadi bukti konkret keberpihakan negara terhadap hak anak atas pangan sehat dan bergizi.
Namun, potensi besar program ini justru terancam oleh berbagai persoalan teknis dan moral. Mulai dari potensi mark-up harga, pengadaan makanan tidak layak konsumsi, hingga ketidaksesuaian menu dengan kebutuhan gizi anak, telah menjadi kekhawatiran publik sejak awal wacana program diluncurkan.Â
Ketiadaan sistem transparansi dan kontrol publik memperbesar kemungkinan praktik korupsi dan manipulasi anggaran dalam pelaksanaan program ini.