Setiap tanggal 23 Juli, bangsa Indonesia merayakan Hari Anak Nasional (HAN) sebagai bentuk komitmen terhadap pemenuhan hak anak.
Tema HAN tahun 2025, "Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045", menjadi simbol harapan besar untuk melahirkan generasi unggul dan tangguh yang akan membawa Indonesia menjadi negara maju saat satu abad kemerdekaannya.
Namun, di balik slogan optimistis ini, realitas getir tentang jutaan anak Indonesia yang tumbuh dalam kondisi kekurangan gizi masih terus membayangi.
Gizi yang buruk tidak hanya berdampak pada tumbuh kembang fisik anak, tetapi juga menghambat perkembangan kognitif, imunitas, dan kemampuan belajar mereka. Ini berarti, kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam dua dekade ke depan secara langsung dipengaruhi oleh sejauh mana negara menjamin terpenuhinya gizi anak sejak dini.
Persoalan stunting bukan hanya masalah medis atau sosial, tapi juga indikator kegagalan struktural negara dalam menjamin hak dasar anak-anaknya.
Sayangnya, komitmen terhadap pemenuhan hak anak atas pangan sehat sering kali hanya hadir dalam bentuk retorika seremonial dan tidak terimplementasi secara sistemik. Ketimpangan akses terhadap gizi sehat masih terjadi, terutama di wilayah-wilayah tertinggal dan miskin.
Sementara, negara terlihat abai terhadap fakta bahwa hak atas pangan bergizi bukan sekadar kebutuhan biologis, melainkan hak konstitusional anak yang harus dipenuhi oleh negara.
Dengan perspektif ini, perayaan Hari Anak Nasional seharusnya menjadi ajang kampanye simbolik sekaligus momentum evaluatif terhadap keberpihakan negara pada hak-hak dasar anak. Khususnya dalam hal pangan dan gizi yang merupakan fondasi utama bagi lahirnya "anak hebat" yang dijanjikan dalam tema nasional.
Artikel ini mencoba membedah kesenjangan antara idealisme kebijakan dan realita lapangan, serta menyoroti mengapa negara masih gagal menjalankan mandatnya dalam memenuhi hak anak atas pangan sehat.
Tulisan ini juga akan mengkaji data stunting terbaru, mengevaluasi program-program gizi yang belum menjangkau kelompok paling rentan, dan menganalisis kebijakan seperti Program Makan Bergizi Gratis yang rawan diselewengkan.
Pada akhirnya, kita akan melihat bagaimana kebijakan pangan untuk anak hanya akan berdampak jika dibangun dalam kerangka hak, bukan belas kasih.
Â
Data dan Realita Buruk Gizi Anak di Indonesia
Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2024, prevalensi stunting nasional masih berada di angka 21,5 persen. Meskipun mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, angka ini masih jauh dari target 14 persen yang ditetapkan oleh pemerintahan sebelumnya untuk 2024.
Lebih memprihatinkan lagi, daerah-daerah seperti Nusa Tenggara Timur, Papua Pegunungan, dan sebagian wilayah pedalaman Kalimantan mencatat angka stunting di atas 30 persen. Ini menunjukkan bahwa sebagian anak Indonesia masih tumbuh dalam situasi darurat gizi yang kronis.
Ketimpangan geografis juga menjadi indikator nyata bahwa program penanggulangan stunting belum berjalan merata. Anak-anak di wilayah terpencil tidak hanya kekurangan akses terhadap makanan bergizi, tetapi juga minim akses ke layanan kesehatan dasar, air bersih, dan sanitasi yang layak.
Dalam kondisi demikian, pencegahan stunting harus mencakup penyediaan makanan sekaligus transformasi infrastruktur pelayanan dasar yang belum menyentuh wilayah tertinggal.
Faktor sosial-ekonomi juga berperan besar. Data menunjukkan bahwa anak dari keluarga miskin, terutama yang orang tuanya tidak menyelesaikan pendidikan dasar, memiliki risiko lebih tinggi mengalami stunting. Gizi keluarga masih dibebankan sepenuhnya kepada individu rumah tangga yang justru hidup dalam kerentanan.
Kondisi ini memperlihatkan kegagalan negara dalam mengimplementasikan prinsip keadilan sosial dalam pemenuhan hak anak. Sementara anak-anak di kota besar memiliki akses ke susu, daging, dan sayuran segar, banyak anak-anak di wilayah pedesaan yang hanya mengenal karbohidrat tunggal sebagai makanan pokok setiap hari. Ini bukan semata-mata masalah pola konsumsi, tetapi cerminan kegagalan distribusi dan prioritas kebijakan.
Dengan demikian, jika Indonesia sungguh ingin menyiapkan generasi emas 2045, maka persoalan gizi anak harus ditempatkan sebagai prioritas nasional yang tidak bisa ditawar. Data stunting bukan hanya angka statistik, tetapi potret buram masa depan bangsa jika tidak segera ditangani secara serius dan adil.
Â
Mengapa Program Pangan Sehat Belum Menjangkau Anak Miskin dan Terpencil?
Pemerintah telah menggulirkan berbagai program penanggulangan gizi buruk, mulai dari Pemberian Makanan Tambahan (PMT), intervensi Posyandu, hingga bantuan pangan non-tunai.
Namun, efektivitasnya masih sangat terbatas, terutama di daerah-daerah miskin dan tertinggal. Salah satu akar masalahnya adalah distribusi program yang tidak menyentuh kelompok paling rentan karena pendekatan yang terlalu administratif dan tidak adaptif terhadap kondisi lokal.
Banyak program bergantung pada pendataan yang tidak akurat, sehingga anak-anak yang paling membutuhkan justru sering tidak terdata atau terlewat.Â
Selain itu, pendekatan top-down dari pusat ke daerah membuat pelaksanaan program kurang responsif terhadap realitas lokal. Di beberapa tempat, PMT diseragamkan tanpa memperhatikan ketersediaan pangan lokal yang bisa diolah menjadi makanan bergizi.
Kelemahan koordinasi antar lembaga juga memperparah situasi. Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, BKKBN, dan pemerintah daerah masing-masing berjalan dengan agenda dan pendekatannya sendiri. Tumpang tindih program dan tidak adanya sistem integratif membuat sumber daya menjadi terfragmentasi dan kurang efisien.
Pendekatan program yang cenderung berbasis proyek juga membuat banyak intervensi bersifat jangka pendek dan seremonial. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak program tidak dibangun dalam kerangka jaminan hak, tetapi lebih sebagai bentuk amal dari negara.
Ketiadaan pengawasan masyarakat dan minimnya pelibatan komunitas lokal dalam desain dan evaluasi program juga membuat banyak kebijakan tidak membumi.
Negara sebagai Penjamin Hak Anak atas Pangan Sehat
Konstitusi Indonesia jelas menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, serta diperkuat oleh Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Selain itu, UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pangan yang cukup, aman, dan bergizi.
Namun, semua jaminan hukum tersebut tampak tidak berdaya ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa jutaan anak Indonesia masih kekurangan gizi.Â
Negara, yang dalam konstitusi bertanggung jawab menjamin hak dasar warga negara, justru belum membuktikan keberpihakannya secara nyata kepada anak-anak yang hidup dalam kemiskinan struktural. Hal ini merupakan bentuk pengabaian terhadap mandat konstitusi.
Dalam perspektif hak anak, negara tidak boleh abai atau netral. Negara justru wajib aktif menjamin terpenuhinya hak atas pangan bergizi dengan segala instrumen yang dimilikinya: regulasi, anggaran, kebijakan, dan pengawasan. Ini bukan pilihan politis, melainkan kewajiban hukum dan moral yang tidak bisa dinegosiasikan.
Gagalnya negara dalam menjamin akses pangan sehat bagi anak juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap Konvensi Hak Anak PBB yang telah diratifikasi Indonesia sejak 1990.
Konvensi tersebut menyatakan bahwa setiap anak berhak atas standar hidup yang memadai untuk perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosialnya.
Artinya, pemenuhan gizi anak tidak boleh dipandang sebagai bantuan kemanusiaan atau program teknis belaka, tetapi harus menjadi bagian dari komitmen negara terhadap penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak anak. Kegagalan dalam menjalankan mandat ini adalah bentuk kelalaian negara terhadap generasinya sendiri.
Â
Tinjauan Kritis terhadap Implementasi UU Perlindungan Anak dan UU Pangan
UU Perlindungan Anak dan UU Pangan memberikan dasar hukum yang kuat untuk menjamin gizi anak. Namun, dalam praktiknya, kedua undang-undang ini belum memiliki instrumen implementasi yang tegas dan efektif di lapangan.
Misalnya, tidak ada sanksi tegas bagi pemerintah daerah yang gagal menurunkan angka stunting, atau bagi institusi yang menyuplai makanan tidak layak bagi anak.
Di banyak daerah, implementasi regulasi ini masih sangat bergantung pada kehendak politik kepala daerah. Akibatnya, isu gizi anak menjadi prioritas musiman yang muncul ketika ada kunjungan pusat atau agenda politik tertentu. Tanpa instrumen pengawasan dan evaluasi berbasis hak, peraturan hukum ini hanya berfungsi sebagai pajangan normatif tanpa kekuatan memaksa.
Minimnya pelatihan dan kapasitas aparat daerah dalam memahami hak anak dan pentingnya gizi sehat juga menjadi kendala serius. Banyak petugas lapangan masih melihat program pangan sebagai kegiatan logistik, bukan sebagai upaya pemenuhan hak dasar anak. Ini memperkuat kultur teknokratisme yang mengaburkan dimensi hak dalam program publik.
Di sisi lain, tidak adanya mekanisme pelibatan anak dan keluarga dalam perumusan dan pemantauan kebijakan membuat program-program menjadi tidak partisipatif dan rentan gagal sasaran. Padahal, pemenuhan hak anak seharusnya berjalan dalam prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik.
Tinjauan kritis ini menunjukkan bahwa sekadar memiliki undang-undang belum cukup. Dibutuhkan keberanian politik untuk menjadikan UU Perlindungan Anak dan UU Pangan sebagai perangkat hidup yang mengikat negara dalam menjamin gizi anak sebagai hak yang tidak bisa ditawar.
Â
Program Makan Bergizi Gratis: Antara Komitmen Hak Anak dan Ancaman Penyelewengan
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan oleh pemerintahan saat ini sebenarnya merupakan langkah strategis untuk menjamin pemenuhan gizi anak sekaligus mendukung keberlangsungan pendidikan dasar.
Dengan sasaran jutaan anak sekolah di seluruh Indonesia, program ini semestinya menjadi bukti konkret keberpihakan negara terhadap hak anak atas pangan sehat dan bergizi.
Namun, potensi besar program ini justru terancam oleh berbagai persoalan teknis dan moral. Mulai dari potensi mark-up harga, pengadaan makanan tidak layak konsumsi, hingga ketidaksesuaian menu dengan kebutuhan gizi anak, telah menjadi kekhawatiran publik sejak awal wacana program diluncurkan.Â
Ketiadaan sistem transparansi dan kontrol publik memperbesar kemungkinan praktik korupsi dan manipulasi anggaran dalam pelaksanaan program ini.
Selain itu, desain program yang terlalu terpusat membuatnya rentan tidak adaptif terhadap kondisi lokal. Menu makanan bergizi yang dirancang di pusat bisa jadi tidak relevan dengan kondisi sosial-budaya, preferensi pangan, atau ketersediaan bahan lokal di berbagai daerah. Akibatnya, program yang semula berniat baik bisa ditolak oleh komunitas atau menjadi tidak efektif secara nutrisi.
Kurangnya pelibatan komunitas sekolah, orang tua, dan kelompok masyarakat dalam proses pengawasan dan evaluasi program juga memperbesar risiko kegagalan. Tanpa kontrol sosial, program ini hanya akan menjadi proyek pengadaan besar yang lebih menguntungkan kontraktor daripada anak-anak itu sendiri.
Rekomendasi Kebijakan dan Solusi Inklusif
Pertama dan paling utama, negara harus merombak pendekatan program pangan dan gizi anak dari paradigma bantuan menjadi paradigma pemenuhan hak anak.
Ini berarti setiap kebijakan dan anggaran yang terkait dengan gizi anak harus didesain sebagai upaya pemenuhan kewajiban negara, bukan belas kasihan atau proyek politis.
Undang-Undang Perlindungan Anak dan UU Pangan harus dijadikan dasar normatif yang diikuti dengan penganggaran khusus, evaluasi periodik, dan pengawasan yang melibatkan publik.
Kedua, program makan bergizi, termasuk Makan Bergizi Gratis, harus dijalankan secara terdesentralisasi dan berbasis komunitas, agar lebih kontekstual dan akuntabel.
Pemerintah pusat cukup menetapkan standar gizi, alokasi anggaran, dan sistem pengawasan, sementara pemerintah daerah, sekolah, dan komunitas lokal diberi ruang untuk menentukan bahan pangan, metode distribusi, dan pola konsumsi sesuai dengan kondisi dan kearifan lokal. Pendekatan ini bisa mencegah inefisiensi sekaligus memberdayakan ekonomi lokal melalui pelibatan UMKM dan petani kecil.
Ketiga, penguatan kapasitas SDM di tingkat akar rumput mutlak diperlukan. Petugas posyandu, guru, kepala sekolah, kader gizi, dan tokoh masyarakat harus diberi pelatihan berkala terkait hak anak, gizi seimbang, serta manajemen pangan sehat. Ini penting agar setiap pelaksana kebijakan benar-benar memahami bahwa mereka sedang menjalankan mandat konstitusi, bukan sekadar proyek birokrasi.
Keempat, dibutuhkan sistem pengawasan yang transparan dan partisipatif. Publik harus bisa mengakses data pelaksanaan program makan bergizi secara terbuka---berapa anak yang menerima, siapa penyedia makanannya, bagaimana kualitasnya, dan berapa anggarannya.
Pelibatan organisasi masyarakat sipil, media, serta anak-anak dan orang tua sebagai pengawas aktif harus dilembagakan sebagai mekanisme kontrol sosial.
Terakhir, indikator keberhasilan pembangunan nasional harus mulai memasukkan parameter pemenuhan gizi dan hak anak secara eksplisit.
Tidak cukup hanya mengukur pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur, melainkan juga sejauh mana anak-anak tumbuh sehat, cerdas, dan bahagia. Tanpa indikator ini, gagasan "Anak Hebat, Indonesia Kuat" akan terus jadi slogan kosong tanpa pijakan nyata.
Â
Penutup
Jika negara sungguh-sungguh ingin menciptakan generasi emas 2045, maka pembangunan harus dimulai dari piring makan anak hari ini.
Tidak akan pernah lahir "anak hebat" dari tubuh yang lemah karena kekurangan gizi. Dan tidak akan tercipta "Indonesia kuat" jika jutaan anaknya tumbuh dalam kelaparan struktural yang dibiarkan terus-menerus tanpa solusi sistemik.
Momentum Hari Anak Nasional seharusnya menjadi cermin evaluatif, "apakah negara benar-benar hadir menjamin hak anak atas pangan sehat? Atau kita hanya pandai membuat tema besar, namun gagal memperbaiki dapur-dapur kecil keluarga miskin di seluruh pelosok Indonesia?Â
Kini saatnya negara berhenti berjanji dan mulai bertindak, sebab masa depan tidak dibangun oleh retorika, melainkan oleh anak-anak yang diberi makan bergizi, dididik dengan kasih, dan dilindungi hak-haknya.
Mewujudkan generasi Indonesia Emas 2045 bukan pekerjaan masa depan, melainkan tugas hari ini. Tugas yang dimulai dari memastikan setiap anak, siapa pun dia dan di mana pun dia tinggal, bisa tumbuh sehat dengan gizi yang layak.
Sebab anak hebat hanya mungkin lahir dari perut yang bergizi, pikiran yang cerdas, dan hak yang dihormati. Itulah makna sejati dari "Anak Hebat, Indonesia Kuat."
Depok, 25/7/2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI