Dalam keheningan kamar Kartini atau dalam doa-doa Fransiskus di Kapel Santa Marta, lahir keyakinan bahwa iman sejati harus membebaskan. Maka artikel ini tidak hanya mengenang, tetapi juga meresapi warisan spiritual dan sosial dari dua cahaya besar ini.
Tulisan ini mengajak pembaca merenungi ulang hubungan antara iman, pendidikan, dan pembebasan perempuan. Dari Jepara ke Roma, Â terbentang satu jalur panjang: bahwa dunia menjadi lebih adil ketika perempuan dimuliakan, bukan didiamkan. Dan untuk itu, cinta dan keberanian menjadi jalan utamanya.
Cinta yang Membebaskan, Iman yang Mencerahkan
Kartini dan Paus Fransiskus sama-sama memulai perjuangan mereka dari pengalaman personal atas ketidakadilan. Kartini mengalami langsung bagaimana perempuan dibatasi aksesnya terhadap pendidikan, dikurung dalam adat, dan hanya dinilai dari kemampuan melayani. Sementara Fransiskus, selama masa imamat dan kepausannya, menyaksikan bagaimana Gereja kadang tanpa sadar mempertahankan struktur patriarkal yang menomorduakan perempuan dalam kehidupan rohani dan sosial. Namun, mereka tidak memilih marah sebagai bahasa pertama. Mereka memilih cinta yang membebaskan.
Cinta, bagi Kartini, bukan sekadar perasaan melankolis. Ia adalah bentuk perlawanan. Melalui surat-suratnya, ia menyampaikan kecintaan pada bangsanya, pada sesama perempuan, dan pada gagasan keadilan. Ia mencintai sambil mengkritik. Ia mengasihi sambil menolak diam. Begitu pula dengan Paus Fransiskus. Dalam banyak homilinya, ia menegaskan bahwa cinta Kristiani harus diwujudkan dalam solidaritas---dan solidaritas yang sejati harus berpihak pada mereka yang disingkirkan, termasuk perempuan yang selama berabad-abad hanya menjadi pelengkap dalam struktur Gereja.
Iman, dalam pandangan keduanya, bukanlah kekuatan yang membelenggu. Kartini, meskipun hidup dalam struktur religius yang kaku, tetap menaruh harapan pada agama sebagai sumber kebebasan. Ia menulis, "Agama harus menjadi jembatan, bukan penghalang." Paus Fransiskus pun sering menyuarakan bahwa agama yang sejati bukanlah yang menilai siapa yang lebih suci, tetapi siapa yang lebih melayani. Dalam dunia yang sering memanipulasi dogma untuk mempertahankan kekuasaan, mereka menghadirkan spiritualitas yang hangat, membumi, dan membebaskan.
Baik Kartini maupun Fransiskus, sama-sama memimpikan tatanan sosial baru yang bertumpu pada martabat manusia. Mereka tidak menuntut kesetaraan dalam terminologi legal semata, melainkan dalam pengakuan eksistensial. Seorang perempuan, menurut mereka, bukan hanya harus dididik, tetapi juga diakui sebagai pribadi penuh, lengkap dengan logika, emosi, dan suara profetiknya. Dalam terang ini, mereka menempatkan perempuan bukan sebagai objek belas kasih, tetapi sebagai subjek transformasi sosial.
Semangat mereka adalah semangat penebusan. Penebusan dari budaya patriarki, dari pemahaman agama yang membelenggu, dan dari sistem sosial yang mengasingkan. Mereka tidak hanya berbicara tentang perempuan, tetapi bersama perempuan. Dalam kata-kata Kartini dan tindakan Fransiskus, kita menemukan percikan kasih yang tidak tinggal dalam kata, melainkan menjelma dalam keberanian melawan struktur yang menindas.
Dari Roma ke Jepara: Dua Titik, Satu Arah Pembebasan
Menyandingkan Roma dan Jepara tampaknya seperti menyandingkan pusat kekuasaan dengan pinggiran sejarah. Roma adalah jantung Gereja Katolik---tempat lahir keputusan-keputusan besar, tempat para Paus memimpin umat dunia. Sementara Jepara hanyalah kota kecil di pesisir utara Jawa, yang dahulu hanya dikenal sebagai wilayah kolonial biasa. Namun, dalam konteks spiritual dan sejarah, keduanya menyimpan percikan yang sama: sebuah harapan pembebasan yang dimulai dari ruang batin, bukan dari pusat kekuasaan.
Jepara adalah tempat Kartini mengenal dunia dari balik jeruji budaya dan kekuasaan kolonial. Namun justru dari ruang pingitan inilah lahir kesadaran radikal bahwa perempuan tidak bisa terus menjadi korban. Sama halnya, Roma---dalam sejarahnya yang panjang---sering menjadi simbol kekuasaan institusional yang maskulin. Namun Paus Fransiskus, yang berasal dari Buenos Aires dan membawa semangat pinggiran, menjadikan Roma sebagai panggung untuk berbicara tentang inklusi dan kasih. Ia mengubah pusat itu menjadi corong suara-suara yang lama dibungkam.