Keduanya mewakili gerak dari pinggiran ke pusat, dan dari pusat kembali ke pinggiran. Kartini, dari sudut Jawa, menulis kepada tokoh-tokoh Belanda dan menjadi suara penting dalam diskusi feminisme kolonial. Fransiskus, dari pusat dunia Katolik, berbicara tentang realitas-realitas di luar Vatikan: kemiskinan, ketimpangan, dan marginalisasi perempuan. Gerak spiritual ini menunjukkan bahwa pembebasan sejati bukan monopoli siapa yang punya kuasa, tapi siapa yang bersedia merendahkan diri untuk mencintai.
Baik Jepara maupun Roma akhirnya menjadi simbol perjumpaan. Jepara adalah tempat di mana pemikiran Kartini bersentuhan dengan modernitas dan iman. Roma adalah tempat Fransiskus mempertemukan spiritualitas dengan keberanian pastoral. Di antara keduanya, terbentang jembatan tak kasatmata yang menghubungkan mimpi akan dunia yang lebih adil bagi perempuan.
Dalam kisah mereka, kita melihat bahwa perubahan besar bisa dimulai dari tempat yang tak disangka. Dari sudut kamar Kartini dan dari balkon Vatikan tempat Fransiskus menyapa umat, dunia mendengar gema yang sama: perempuan harus diangkat martabatnya, didengar suaranya, dan dijaga hak-haknya. Dari Roma ke Jepara, kita belajar bahwa geografi tidak menghalangi cinta dan keberanian untuk menjadi cahaya.
Paus Fransiskus dan Wajah Baru Gereja
Salah satu warisan penting dari Paus Fransiskus adalah upayanya membuka Gereja bagi suara dan peran perempuan. Sejak awal kepausannya, Fransiskus menunjukkan keberpihakan yang nyata---bukan hanya dalam kata, tapi juga dalam struktur. Ia menunjuk perempuan ke dalam posisi-posisi strategis di Vatikan, termasuk pada Dewan Kepausan dan Sekretariat Ekonomi. Ini adalah langkah historis yang mematahkan tradisi lama yang nyaris sepenuhnya laki-laki.
Fransiskus juga berbicara dengan penuh penghargaan tentang kontribusi perempuan dalam kehidupan Gereja. Ia menyebut Bunda Maria sebagai "perempuan yang tahu mendengar, mengandung, dan berjalan." Baginya, perempuan bukan sekadar simbol kelembutan, melainkan kekuatan spiritual. Bahkan, ia menyebut perempuan sebagai refleksi wajah Gereja yang "ibu, bukan birokrat." Ini adalah cara halus tapi kuat dalam mengubah narasi Gereja yang kerap terjebak pada institusionalisme maskulin.
Selain tindakan simbolik, Fransiskus juga mendukung studi teologi feminis. Ia tidak menolak diskusi tentang bagaimana teologi bisa memahami pengalaman perempuan dengan lebih empatik. Ia percaya bahwa suara perempuan bukan hanya diperlukan dalam urusan pastoral, tetapi juga dalam pengambilan keputusan. Ini adalah bentuk pengakuan bahwa perempuan bukan hanya "umat" yang dilayani, tetapi juga "pelayan" yang membangun komunitas.
Meski tidak mendorong imamat perempuan secara eksplisit, Fransiskus menggarisbawahi pentingnya "ruang kepemimpinan non-klerikal" bagi perempuan. Ia ingin Gereja menjadi tempat laki-laki dan perempuan dapat menjalankan panggilannya tanpa terhambat oleh struktur yang menutup diri. Dalam konteks inilah, reformasi Fransiskus menjadi jembatan penting menuju Gereja yang lebih inklusif.