Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Legasi Paus Fransiskus dan RA Kartini untuk Kaum Perempuan

22 April 2025   16:51 Diperbarui: 22 April 2025   16:51 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Paus Fransiskus (Almarhum) bersama perempuan dari berbagai negara (Sumber: Kompas.com)

Wajah baru Gereja yang dibayangkan Fransiskus bukanlah wajah kekuasaan, melainkan wajah belarasa. Dan dalam wajah ini, perempuan bukan lagi bayang-bayang, melainkan cahaya yang menyinari. Ia mengajarkan kita bahwa Gereja yang hidup adalah Gereja yang mendengar, dan suara perempuan adalah nada penting dalam simfoni ilahi tersebut.

Kartini dan Pendidikan yang Membebaskan

Kartini percaya bahwa pendidikan adalah kunci utama pembebasan perempuan. Dalam surat-suratnya, ia menulis dengan penuh semangat tentang pentingnya membuka akses belajar bagi perempuan Jawa. Baginya, kebodohan adalah akar penindasan. Maka, membebaskan perempuan berarti membuka jalan bagi mereka untuk berpikir, bertanya, dan mengkritik.

Ilustrasi RA Kartini (Sumber: Kompas.com)
Ilustrasi RA Kartini (Sumber: Kompas.com)

Namun pendidikan dalam pandangan Kartini tidak berdiri sendiri. Ia erat terkait dengan iman dan akal. Ia tidak menolak agama, justru mencintainya. Tapi Kartini menolak bentuk pemahaman agama yang membungkam perempuan. Ia menulis, "Aku ingin menjadi manusia yang hidup. Bukan boneka yang dibentuk adat." Ia memimpikan agama yang membebaskan, bukan membelenggu. Dan ini sejalan dengan visi Paus Fransiskus tentang iman sebagai kekuatan pencerah, bukan penakluk.

Kartini juga menempatkan akal sebagai anugerah ilahi. Ia mempertanyakan banyak hal dengan tajam: mengapa perempuan tidak boleh sekolah? Mengapa agama dipakai untuk membenarkan ketidaksetaraan? Dalam pertanyaannya, ia tidak menolak iman, tapi menantangnya untuk menjadi lebih manusiawi. Sikap ini menggemakan prinsip spiritualitas Fransiskus yang menolak dogmatisme kaku, dan memilih untuk berjalan bersama umat.

Pendidikan, bagi Kartini, juga merupakan bentuk aksi. Ia tidak hanya menulis, tapi juga merintis sekolah perempuan. Ia tidak hanya bermimpi, tapi juga bertindak. Kartini menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya layak belajar, tetapi juga layak mengajar. Dengan pena dan prinsip, ia membuka jalan bagi generasi setelahnya untuk melihat bahwa kecerdasan bukan milik satu jenis kelamin.

Ilustrasi perempuan Indonesia modern sebagai ekspresi Kartini masa kini (Sumber: Tirto.id)
Ilustrasi perempuan Indonesia modern sebagai ekspresi Kartini masa kini (Sumber: Tirto.id)

Dalam konteks hari ini, warisan Kartini masih relevan. Ketika akses pendidikan masih timpang, ketika pemahaman agama masih digunakan untuk menutup ruang perempuan, maka semangat Kartini harus terus disuarakan. Bersama ajaran Fransiskus, kita diajak untuk melihat pendidikan dan iman bukan sebagai tembok pemisah, melainkan sebagai jendela pembebasan.

Mewarisi Nyala Kasih dan Keberanian

Wafatnya Paus Fransiskus yang berdekatan dengan Hari Kartini menjadi momen simbolik yang menyatukan dua arus besar: spiritualitas dan emansipasi. Dari Roma hingga Jepara, dari Gereja Katolik hingga Nusantara, cinta dan keberanian menjadi dua kaki yang menuntun pembebasan perempuan. Mereka berdua telah menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari dalam---dari refleksi, dari iman, dari kasih yang tak lelah berjuang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun