Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Optimalisasi DCS sebagai Wahana Rehabilitasi Sosial bagi Penyandang Difabel

19 September 2018   22:55 Diperbarui: 19 September 2018   23:11 1033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu ruangan Diskominfo Co-working Space. Sumber foto: kanaljogja.id

TAHUKAH ANDA? Di era teknologi digital, tidak ada batasan untuk mewujudkan impian. Semua manusia, termasuk penyandang difabel, memiliki peluang yang sama untuk meraih kesuksesan. 

Diskominfo Co-working Space (DCS) merupakan inovasi yang bersifat tanpa batas. Selain mengakomodasi  kebutuhan masyarakat pada fasilitas publik multifungsi, DCS merupakan  jembatan bagi masyarakat untuk terjun dalam kancah industri kreatif  global. 

Di antara beberapa co-working space yang bisa digunakan masyarakat Yogyakarta, DCS merupakan yang paling akomodatif bagi penyandang difabel. Para penyandang difabel tidak perlu ragu untuk mengembangkan diri dengan memanfaatkan DCS. 

Tentunya, peran aktif tersebut sebaiknya disertai dengan mempersiapkan penyandang difabel untuk memiliki keahlian dalam mendayagunakan teknologi digital.


Untuk itu, perlu adanya rehabilitasi sosial berbasis teknologi digital bagi penyandang difabel. Rehabilitasi sosial tersebut bisa dipusatkan di DCS dengan sinergi Diskominfo, Dinas Sosial, LSM, dan seluruh lapisan masyarakat. 

Agar DCS bisa dioptimalisasikan penyandang disabilitas untuk mengembangkan kemandirian ekonomi, melenjitkan kreativitas, berinovasi, mewujudkan kebebasan finansial, merealisasikan kesejahteraan, dan berperan aktif dalam pembangunan sosial di Indonesia.

Mewujudkan Yogyakarta sebagai City of Tolerance dan Smart Province

DCS adalah salah satu wujud nyata visi pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam merealisasikan visi Jogja Smart Province. Fasilitas publik multifungsi ini terletak di salah satu gedung kantor Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Daerah Istimewa Yogyakarta. Beralamat di Jalan Brigjen Katamso, Keprakan, Mergangsan, Kota Yogyakarta, 55152. Melalui DCS pula kita bisa menyaksikan upaya serius pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mewujudkan slogan Yogyakarta sebagai City of Tolerance.

Pemanfaatan DCS bagi penyandang difabel sesuai dengan pesan Drs. Bayu Februarino Putro selaku Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Publik dalam peresmian DCS. 

Menurut Drs. Bayu Februarino Putro, DCS sebagai ruang inklusif dan aksesibel, dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh teman-teman komunitas, khususnya teman-teman difabel untuk meningkatkan kemampuan mereka. Agar dapat mengembangkan kreativitasnya di industri kreatif digital.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama,GKR Hayu turut membagikan pesan bagi pengguna DCS. Agar yang menggunakan, merawat DCS dengan baik. Jangan disalahgunakan. Jangan dipakai untuk membuat fake news, hoax, dan segala macam hal yang negatif, karena tempat ini adanya untuk hal yang positif.

Dengan adanya pesan GKR Hayu, semakin kukuhlah indikasi DCS didirikan, yaitu untuk merealisasikan Jogja Smart Province dan mewujudkan Yogyakarta sebagai City of Tolerance.   Dokumentasi persesmian DCS dapat Anda saksikan melalui video berikut. 


Inklusif dan Aksesibel

Pembangunan DCS telah dipersiapkan secara matang. Secara umum, ruangan DCS terbagi atas tiga kategori, yaitu (1) ruang mutimedia yang terdiri dari ruang komputer dan studio; (2) outdoor space; (3) ruang kelas yang digabung dengan ruang diskusi. Keamanan pun cukup terjaga. Bila mengalami tindakan diskriminasi, para penyandang difabel dapat langsung melaporkan pada pihak keamanan. Kualitas disain, teknologi dan arsitektur bangunan DCS telah setara dengan standar internasional. Bila Anda memasuki DCS, Anda bisa merasakan atmosfer yang sama ketika Anda memasuki ruang kuliah atau perkantoran di lembaga pendidikan terkenal, seperti perpustakaan pusat Universitas Gadjah Mada.

Ruangan DCS bersifat inklusif dan aksesibel. Sumber foto: jogjaprov.go.id
Ruangan DCS bersifat inklusif dan aksesibel. Sumber foto: jogjaprov.go.id
DCS juga menghadirkan suasana santai, kondusif, efisien, nyaman, dan fleksibel. Perabotan dan bahan bangunan telah dipilih dari materi yang berkualitas dan disesuaikan dengan kesehatan fisik dan mental. Kondisi ini akan mengaktifkan hormon bahagia berupa serotonin, endorfin, dan dopamin. Sistem syaraf akan bekerja dengan lebih baik. Melakukan pekerjaan kreatif di DCS akan lebih fokus, efektif, efisien, penuh energi, dan bisa melambungkan kualitas hasil pekerjaan. Dengan demikian, DCS memenuhi syarat fasilitas yang dibutuhkan penyandang difabel, yaitu inklusif dan aksesibel.       


Untuk menggunakan DCS, para penyandang difabel hanya perlu mendaftar sebagai anggota dengan syarat administrasi yang tidak ruwet. Selanjutnya, penyandang difabel dapat membentuk tim kerja atau individu. Durasi waktu atau jenis ruang yang digunakan sesuai dengan paket yang telah dibayar. Paket bisa bersifat mingguan, bulanan, atau tahunan. Biaya paket relatif murah dan sangat terjangkau. Bahkan, mahasiswa atau pelajar pun bisa menggunakannya untuk sekadar mengerjakan tugas kelompok.             

Multiple-intellegences Penyandang Difabel   

 

Difabel merupakan akronim dari different able people, yang berarti seseorang yang memiliki kemampuan yang berbeda. Hal ini berarti dapat dipahami bahwa sebenarnya semua orang adalah difabel, dikarenakan semua orang memiliki kemampuan yang berbeda satu sama lainnya. Sayang, istilah tersebut tidak banyak dipahami orang. Istilah difabel hanya digunakan sebagai pengganti istilah sebelumnya yaitu 'cacat' yang dirasa tidak menghargai adanya kemampuan yang berbeda dari kebanyakan orang atau anak (Rosavita, 2016).   

Sebagaimana definisi di atas, hingga sekarang tidak sedikit masyarakat yang masih dipengaruhi persepsi negatif bahwa penyandang difabel adalah manusia yang cacat atau tidak normal. Bahkan, terdapat oknum organisasi lembaga pemerintah daerah yang menetapkan penyandang difabel sebagai warga dalam kategori 'sakit jiwa'. Implikasinya, banyak penyandang difabel yang dibatasi mobilisasinya dan mengalami hambatan dalam upaya-upayanya untuk mengaktualisasikan diri.

Akibatnya, masih banyak penyandang difabel yang menghabiskan usia tanpa melakukan sesuatu yang berguna. Dalam artian, para penyandang difabel hanya tinggal di rumah atau wilayah yang terbatas tanpa menggali dan mengembangkan potensi diri. Akibatnya, penyandang difabel rentan memperoleh label negatif sebagai 'beban masyarakat'.    


Padahal, sebagaimana manusia pada umumnya, para penyandang difabel memiliki keberagaman intelegensia (multiple-intellegences) yang meliputi: kecerdasan linguistik, logik-matematik, spasial, musik, kinestetik, interpersonal, dan intrapersonal. Bila keberagaman intelegensia ini digali dan dikembangkan, para penyandang difabel pasti bisa berkarya dan memberikan kontribusi positif untuk dunia khususnya bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Jumlah dan persebaran penyandang difabel (disabilitas) di Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dicermati pada tabel Dinas Sosial berikut ini:

Persebaran difabel (disabilitas) berdasarkan data Dinas Sosial tahun 2015. Sumber: http://bappeda.jogjaprov.go.id
Persebaran difabel (disabilitas) berdasarkan data Dinas Sosial tahun 2015. Sumber: http://bappeda.jogjaprov.go.id
Dari angka tersebut, bisa Anda bayangkan betapa banyaknya penyandang difabel yang rentan dinilai sebagai beban masyarakat. Apalagi jumlah lembaga pendidikan konvensional yang mengakomodasi hak belajar bagi penyandang difabel masih sangat terbatas. Bahkan, Universitas Gadjah Mada yang diakui sebagai perguruan tinggi ternama di Indonesia dan Internasional, belum bisa memberikan akomodasi hak belajar bagi seluruh penyandang difabel. Tidak mengherankan, para penyandang difabel rentan 'tidak memiliki keahlian atau keterampilan' yang menuntun mereka untuk memiliki kemandirian dan peluang untuk meraih kebebasan finansial.

Kita harus menyadari bahwa para penyandang difabel memiliki hak asasi yang harus diakomodasi pemerintah dan didukung sepenuhnya seluruh lapisan masyarakat. Mereka memiliki potensi yang perlu digali dan dikembangkan. Pengabaian potensi multiple-intellegences pada penyandang difabel hanya akan menimbulkan dampak negatif yang bersifat holistik. Selain menjadi beban masyarakat, pengabaian itu akan mengakibatkan sebuah negara dianggap diskriminatif.

Karena itu, para penyandang difabel memerlukan rehabilitasi sosial berbasis teknologi digital. Agar 'perbedaan' yang mereka sandang tidak membinasakan potensi multiple-intellegences yang dimiliki. Fasilitas publik berupa 'ruang kerja' berbasis teknologi digital yang dinamakan DCS di Yogyakarta, merupakan sebuah inovasi yang solutif dan bisa dimanfaatkan penyandang difabel untuk mengaktualisasikan diri.                

 

Rehabilitasi Sosial Berbasis Teknologi Digital bagi Penyandang Difabel 

   

Friedlander (dikutip Addriyani, 2014) menyatakan bahwa rehabilitasi sosial merupakan bentuk pelayanan sosial yang tersistem dan terlembaga, sebab dilakukan dalam serangkaian program dan diselenggarakan oleh instansi yang berbadan hukum. Rehabilitasi sosial ditujukan untuk mengembangkan kemampuan seseorang/kelompok yang bersifat, baik perorangan maupun sosial. Hal tersebut dilakukan supaya seseorang mampu mencapai standar kehidupan yang layak dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Rehabilitasi sosial dipahami sebagai pelayanan yang membawa/mengarahkan seseorang atau kelompok mencapai kondisi sejahtera secara utuh dalam kehidupan masyarakat (Warto dkk., 2009). Pengertian ini sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan Nomor 11 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Layanan Demi Tercapainya Kesejahteraan Sosial. Rehabilitasi sosial diselenggarakan dalam rangka perubahan positif atas kondisi sosial seseorang/kelompok.

Difabel dan perangkat teknologi digital. Sumber foto: www.solider.id
Difabel dan perangkat teknologi digital. Sumber foto: www.solider.id
Rehabilitasi sosial tidak hanya merupakan upaya pemulihan dan pemeliharaan agar terjadi perubahan, tetapi juga menjamin kembali fungsi kolektivitas seseorang/kelompok dalam masyarakat (Romansshyn dikutip Warto dkk., 2009).

Di Indonesia, rehabilitasi sosial bagi penyandang difabel telah diupayakan Departemen Sosial dengan menetapkan kebijakan standarisasi pelayanan sosial bagi penyandang difabel. Kebijakan ini direalisasikan Dinas Sosial pemerintah daerah dalam pendirian dan pengelolaan unit pelayanan terpadu (UPT) yang disebut panti sosial atau balai rehabilitasi, antara lain: Panti Sosial Bina Grahita di Ciungwanara, Panti Sosial Bina Daksa di Makassar, Balai Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas di Yogyakarta, dan sebagainya. Data Diretorat Jenderal Rehabilitasi Sosial menunjukkan terdapat 38 UPT yang diantaranya menangani penyandang disabilitas melalui program rehabilitasi sosial, meliputi bimbingan medis, sosial, dan keterampilan.    

Sayangnya, rehabilitasi sosial konvensional bagi penyandang difabel pun masih terbatas pada keahlian atau keterampilan praktis yang belum memberi peluang besar dalam meretas kebebasan finansial secara kolektif. Masih terbatas penyandang difabel yang bisa berkarya, mengembangkan kreatifitas, dan meraih kemandirian finansial. Hal ini diakibatkan rehabilitasi sosial belum bersifat holistik dan beradaptasi dengan kemajuan zaman.

Rehabilitasi sosial berbasis teknologi digital bagi penyandang difabel memang tidak akan semudah membalik telapak tangan. Edukator yang memiliki keahlian dalam rehabilitasi sosial berbasis teknologi digital cenderung masih terbatas. Tetapi, kendala yang akan menghadang kita dalam mewujudkannya, sebanding dengan hasil yang akan dicapai. Bahwa penyandang difabel mampu mengaktualisasikan diri di indutri kreatif dalam kancah global.


Teknologi digital merupakan kebutuhan bagi seluruh manusia, termasuk penyandang difabel, supaya bisa mengaktualisasikan diri. Bila penyandang difabel mampu mengoperasikan komputer atau laptop, ia bisa terjun dalam kancah industri kreatif berbasis teknologi digital. Langkah difabel dalam industri kreatif dapat kita teladani dari upaya Habibie Afsyah yang mampu meraih kesuksesan sebagai pengusaha online dengan menggunakan teknologi digital.

Habibie Afsyah menyandang difabel karena penyakit kelainan bawaan pada syaraf motorik. Implikasinya, pertumbuhan tubuhnya menjadi terhambat dan terdapat kerusakan saraf motorik. Namun, berkat optimisme dan dukungan penuh dari keluarga terutama orangtuanya (Endang Sutyanti dan Nasori Sugianto), Habibi Afsyah dapat mengatasi hambatan yang dideritanya terjun ke dunia industri kreatif. Ia berhasil mengembangkan bisnis online di rumahnya yang tergabung dengan salah satu situs bisnis Affiliate terbesar di dunia, yaitu Amazon.

Melalui bisnis berbasis teknologi digital, Habibi Afsyah bisa menghasilkan omset sekurang-kurangnya sepuluh juta rupiah setiap bulan. Selain itu, ia juga menjadi salah seorang pakar dan edukator internet marketing di berbagai perguruan tinggi. Kesuksesan yang diretasnya mendorongnya untuk berbagi dengan penyandang difabel lainnya dengan pendirian Yayasan Habibie Afsyah.

Penyandang difabel yang sukses dengan memanfaatkan teknologi digital sebagaimana Habibie Afsyah; memang masih relatif terbatas. Tetapi, keberadaan sosok penyandang difabel sukses yang segelintir itu, merupakan bukti bahwa semua penyandang difabel juga memiliki peluang yang sama untuk mengaktualisasikan diri dan meraih kesuksesan.

Melalui teknologi digital, peluang penyandang difabel untuk terus mengembangkan diri dan mewujudkan kebebasan finansial, menjadi jauh lebih luas. Penyandang difabel tidak hanya berpeluang untuk membangun bisnis di Tanah Air, tetapi juga merambah ke ranah internasional. Hal inilah yang menegaskan bahwa inovasi DCS sebaiknya tidak hanya terbatas pada akomodasi ruang publik semata, tetapi bisa dikombinasikan dengan upaya-upaya rehabilitasi sosial bagi penyandang difabel. Oleh karena itu, DCS perlu membangun jaringan dengan lembaga-lembaga terkait, seperti: Dinas Sosial pemerintah daerah, UPT rehabilitasi sosial bagi penyandang difabel, LSM, dan juga sosialisasi aktif untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap penyandang difabel.  

Bila bisa mengaktulisasikan diri dalam kancah industri kreatif secara kolektif; para penyandang difabel tidak hanya bisa mandiri finansial, tetapi juga berpeluang besar dalam meningkatkan pendapatan daerah. Dengan demikian, DCS pun tidak hanya sekadar jasa pelayanan ruang kerja kreatif semata; tetapi juga mampu dan terbukti dalam meningkatkan kesejahteraan sosial di Yogyakarta.         

Oleh sebab itu, perlu adanya sinergi pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat, dalam mengakomodasi rehabilitasi sosial berbasis teknologi digital bagi penyandang difabel. Agar seluruh difabel memiliki skill yang memadai untuk menggunakan atau mengoperasikan perangkat digital, serta membangun bisnis online. Dengan demikian, fasilitas publik berupa 'ruang kerja berbasis teknologi digital' yang dibangun pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta atau lazim disebut DCS, bisa dimanfaatkan oleh penyandang difabel secara kolektif.

Optimalisasi DCS dalam Rehabilitasi Sosial Berbasis Teknologi Digital 

Rehabilitasi sosial berbasis teknologi digital bagi penyandang difabel merupakan tuntutan zaman yang harus kita penuhi. DCS bisa menjadi sentral rehabilitasi sosial berbasis teknologi digital. Walaupun demikian, upaya rehabilitasi sosial tersebut harus didukung langkah-langkah penting sebagai berikut:       

 

Pengunjung yang menggunakan fasilitas DCS. Sumber foto: jogjaprov.go.id
Pengunjung yang menggunakan fasilitas DCS. Sumber foto: jogjaprov.go.id

Pertama, transportasi yang ramah difabel 

Untuk mendukung efektivitas dan efisiensi mobilisasi penyandang difabel menuju DCS, terlu adanya sarana transportasi yang akomodatif. Kita memang memiliki fasilitas berupa bus transjogja dan transportasi online berupa go-jek/go-car, tetapi jangkauan kedua jenis transportasi tersebut masih relatif terbatas. Padahal tidak sedikit penyandang difabel yang bermukim jauh dari pusat kota Yogayakarta dan tidak bisa dijangkau kendaraan umum itu. Perlu adanya kendaraan semacam bus khusus mengakomodasi penyandang disabilitas pulang-pergi dari tempatnya bermukim ke lokasi DCS.          

Kedua, pengembangan cabang-cabang DCS bagi difabel

Perlu adanya pendirian cabang-cabang DCS khusus difabel di kawasan yang sulit untuk dicapai kendaraan umum. Agar difabel di kawasan tersebut bisa memperoleh rehabilitasi sosial berbasis teknologi digital tanpa harus ke kawasan DCS berada sekarang ini.       

Ketiga, adopsi teknologi digital dalam kurikulum pendidikan penyandang difabel

Teknologi digital perlu dimasukkan ke dalam mata pelajaran bagi murid Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Luar Biasa. Pelajaran teknologi digital dapat berupa muatan lokal. Melalui langkah ini, lembaga pendidikan formal telah berperan serta dalam peningkatan kualitas hidup penyandang difabel.  

Ketiga, komunikasi dan sosialisasi peduli difabel

Perlu adanya persebaran informasi mengenai pemberdayaan penyandang difabel melalui media massa; baik berupa media cetak ataupun media eletronik. Persebaran informasi ini harus dilakukan secara terus menerus. Agar masyarakat semakin peduli pada penyandang difabel. Dengan demikian, para keluarga difabel tergerak untuk berperan aktif dalam mengembangkan multiple-intellegences yang dimiliki masing-masing penyandang difabel, serta memberikan pendampingan bagi penyandang difabel dalam rehabilitasi sosial berbasis teknologi digital.

Keempat, pemberian award bagi penyandang difabel berprestasi 

Untuk meningkatkan semangat bagi difabel, perlu adanya pemberian award bagi penyandang difabel yang berprestasi khususnya di bidang teknologi digital. Dengan demikian, kiprah difabel dalam industri kreatif berbasis teknologi digital akan semakin diakui. Implikasinya, penyandang difabel akan lebih bersemangat dan produktif berkarya di sektor industri kreatif berbasis teknologi digital. Award bisa berupa modal usaha atau beasiswa untuk menjalani studi dalam upaya mengembangkan keahlian di bidang teknologi digital.

Kelima, perlindungan hukum bagi penyandang difabel 

Difabel merupakan merupakan warga negara yang rentan mengalami ketidakadilan hukum. Karena itu, perlu adanya lembaga atau LSM yang didirikan khusus advokasi bagi penyandang disabilitas yang terjun dalam industri kreatif berbasis teknologi digital. Dengan demikian, penyandang difabel akan lebih percaya diri mengaktualisasikan diri dan berkarya di kancah industri kreatif berbasis teknologi digital.    

Keenam, penetapan hari kunjungan difabel ke DSC

Untuk mengenalkan DSC bagi penyandang difabel, perlu adanya penetapan hari kunjungan DSC bagi penyandang difabel, khususnya bagi penyandang difabel yang menjalani pendidikan formal setingkat sekolah dasar dan menengah. Para penyandang difabel usia pelajar dapat menyaksikan secara langsung fasilitas publik yang bisa digunakannya untuk mengaktualisasikan diri di ranah teknologi digital. Melalui langkah ini, kesadaran untuk mengaktualisasikan diri melalui teknologi digital akan tumbuh secara perlahan-lahan.     

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa setiap orang bisa meraih kesuksesan, termasuk penyandang difabel. Teknologi digital mampu menuntun setiap orang untuk sukses dalam meraih kesuksesan. DCS merupakan inovasi pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang bersifat tanpa batas. Keberadaan DCS mendobrak batasan yang menghabat penyandang difabel dalam mengaktualisasikan diri. Untuk mengoptimalisasikan peran aktif penyandang difabel di kancah industri kreatif teknologi digital, perlu adanya rehabilitasi sosial. Bila rehabilitasi sosial berbasis teknologi digital bagi penyandang difabel bisa diwujudkan; angka pengangguran di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta akan menurun secara signifikan.  

  

Pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat perlu menjalin sinergi untuk menjadikan DCS sebagai ruang kerja kreatif yang ramah penyandang difabel. Agar penyandang difabel mampu meretas ekonomi mandiri, kesejahteraan, dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kesuksesan penyandang difabel akan menginspirasi seluruh lapisan masyarakat untuk mengembangkan kreativitas, berkarya, dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Bila orang yang memiliki gangguan mental dan fisik bisa meraih kesuksesan; Anda yang memiliki tubuh dan mental yang 'sempurna' tentu juga bisa meraih kesuksesan yang sama.     

   

Daftar Pustaka

[1] Addriyani, S.R. 2014. "Revitalisasi Pelayanan Sosial Pemerintah Kabupaten Bantul Sebagai Usaha Meningkatkan Kesejahteraan (Studi Implementasi Pelayanan Sosial Lansia Terlantar di Kelurahan Tirtomulyo, Kretek, Bantul)". (Skripsi). Yoyakarta. Isipol UGM.

[2] Warto, Purnama. Dkk. 2009. Efektivitas Program Pelayanan Sosial di Panti dan Non Panti Rehabilitas Korban Napza. Yogyakarta: B2P3KS Press.

[3] Bunga rampai Difabel di Sekitarku disusun Rofik Mohamad (PPRBM Solo, 2016)    

[4] Tesis Safrina Rosavita berjudul Pengaruh Sharing Experiences Penyandang Cerebral Palsy Terhadap Relisiensi Orangtua Anak cerebral Palsy Yang Terhimpun Dalam Group Facebook Orangtua Anak Cerebral Palsy (2016).

 

  "Tulisan ini diikutsertakan dalam kompetisi Pagelaran TIK yang diselenggarakan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika DIY."

   

#pagelaranTIK2018 #kominfodiy

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun