Sebagaimana definisi di atas, hingga sekarang tidak sedikit masyarakat yang masih dipengaruhi persepsi negatif bahwa penyandang difabel adalah manusia yang cacat atau tidak normal. Bahkan, terdapat oknum organisasi lembaga pemerintah daerah yang menetapkan penyandang difabel sebagai warga dalam kategori 'sakit jiwa'. Implikasinya, banyak penyandang difabel yang dibatasi mobilisasinya dan mengalami hambatan dalam upaya-upayanya untuk mengaktualisasikan diri.
Akibatnya, masih banyak penyandang difabel yang menghabiskan usia tanpa melakukan sesuatu yang berguna. Dalam artian, para penyandang difabel hanya tinggal di rumah atau wilayah yang terbatas tanpa menggali dan mengembangkan potensi diri. Akibatnya, penyandang difabel rentan memperoleh label negatif sebagai 'beban masyarakat'. Â Â
Padahal, sebagaimana manusia pada umumnya, para penyandang difabel memiliki keberagaman intelegensia (multiple-intellegences) yang meliputi: kecerdasan linguistik, logik-matematik, spasial, musik, kinestetik, interpersonal, dan intrapersonal. Bila keberagaman intelegensia ini digali dan dikembangkan, para penyandang difabel pasti bisa berkarya dan memberikan kontribusi positif untuk dunia khususnya bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Jumlah dan persebaran penyandang difabel (disabilitas) di Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dicermati pada tabel Dinas Sosial berikut ini:
Kita harus menyadari bahwa para penyandang difabel memiliki hak asasi yang harus diakomodasi pemerintah dan didukung sepenuhnya seluruh lapisan masyarakat. Mereka memiliki potensi yang perlu digali dan dikembangkan. Pengabaian potensi multiple-intellegences pada penyandang difabel hanya akan menimbulkan dampak negatif yang bersifat holistik. Selain menjadi beban masyarakat, pengabaian itu akan mengakibatkan sebuah negara dianggap diskriminatif.
Karena itu, para penyandang difabel memerlukan rehabilitasi sosial berbasis teknologi digital. Agar 'perbedaan' yang mereka sandang tidak membinasakan potensi multiple-intellegences yang dimiliki. Fasilitas publik berupa 'ruang kerja' berbasis teknologi digital yang dinamakan DCS di Yogyakarta, merupakan sebuah inovasi yang solutif dan bisa dimanfaatkan penyandang difabel untuk mengaktualisasikan diri. Â Â Â Â Â Â Â Â
Â
Rehabilitasi Sosial Berbasis Teknologi Digital bagi Penyandang DifabelÂ
 Â
Friedlander (dikutip Addriyani, 2014) menyatakan bahwa rehabilitasi sosial merupakan bentuk pelayanan sosial yang tersistem dan terlembaga, sebab dilakukan dalam serangkaian program dan diselenggarakan oleh instansi yang berbadan hukum. Rehabilitasi sosial ditujukan untuk mengembangkan kemampuan seseorang/kelompok yang bersifat, baik perorangan maupun sosial. Hal tersebut dilakukan supaya seseorang mampu mencapai standar kehidupan yang layak dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.