Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Petualangan Menuju Pencerahan, Resensi Novel "Gentayangan" karya Intan Paramaditha

30 Agustus 2018   23:30 Diperbarui: 30 Agustus 2018   23:38 1732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pilihan 'kau' pada narasi teks sebagai label tokoh utama menuntun pembaca untuk memahami atau menempatkan diri pada posisi tokoh utama. Hal ini lazim disebut dengan 'memakai sepatu orang lain' sebelum memberi penilaian.

Hal ini merupakan salah satu tantangan bagi pembaca Indonesia yang terbiasa hidup dalam kepungan paradigma monolitik. Di mana penilaian sangat tergantung norma-norma dan aturan-aturan yang dibentuk pihak-pihak otoritatif.   

Di sisi lain, merah pada warna sepatu bukanlah warna semata, melainkan memiliki arti yang politis dalam sejarah Indonesia. Bahwa ketika Orde Baru berkuasa, terjadi politik warna. Warna merah menjadi warna yang dijauhi karena identik dengan PKI. Kebencian (ketakutan) pada warna merah sangat mengakar di masa Orde Baru. Hal ini dimunculkan pada proses penyiksaan yang dilakukan Gerwani terhadap Jendral yang ditawan dan dinilai dibinasakan PKI. Sebelum menyilet wajah sang Jendral, seorang anggota Gerwani ini mengucapkan: "Darah itu merah, Jendral?"

Bahkan, pada era Orde Baru atau tahun 1990-an, tenaga pendidik di lembaga pendidikan konvensional lazim menggunakan tinta merah untuk menulis angka 5 pada rapor anak didik. Angka 5 merupakan angka untuk anak didik yang tidak dinilai tidak bisa memenuhi tuntutan kurikulum khususnya meraih nilai minimal angka 6.  

Hingga sekarang, kebencian atau ketakutan pada PKI masih berkuasa. Hal ini bisa kita cermati dari politik agitasi yang digunakan sebagian partai politik berafiliasi pada fundamentalis radikal. Di mana parpol tersebut membangkitkan kebencian massa terhadap parpol atau politisi yang menjadi rival politiknya.       

Pencerahan. Sumber foto: geotimes.co.id
Pencerahan. Sumber foto: geotimes.co.id
Tiga elemen dasar yang membangun Gentayangan merupakan simbol representatif nilai-nilai atau aturan-aturan intimidatif dalam kesadaran kolektif hasil bentukan paradigma monolitik di Indonesia. Bertualang dalam Gentayangan berarti menantang pembaca untuk menghadapi peristiwa-peristiwa traumatis yang bertebaran nyaris di seluruh framen cerita.

Pilihan Cewek Bandel berada pada tangan pembaca dan terpusat pada hadiah berupa sepatu merah. Menerima sepatu merah berarti 'bertualang bersama Cewek Bandel' atau 'bertualang sebagai Cewek Bandel', tetapi disertai dengan kutukan sebagai konsekwensinya. Menolaknya berarti bebas dari kutukan, pembacaan terhenti pada halaman 20, dan kehilangan kesempatan bertualang. 

Padahal, petualangan merupakan salah satu langkah yang perlu ditempuh manusia untuk memahami dan menemukan kesadaran eksistensial. Ide tentang pencerahan ditemukan Immanuel Kant, filsuf Jerman abad ke-18. Dalam buku yang berjudul Beantwortung der Frage: Was ist Aufklrung? (Jawaban atas Pertanyaan: Apa itu Pencerahan), Immanuel Kant menegaskan bahwa pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakdewasaan (Ummundigkeit) yang diciptakannya sendiri.

Dalam artian, ketidakdewasaan ditandai dengan tidak adanya kehendak untuk berpikir sendiri. Paradigma monolitik yang dibentuk pihak otortatif mendidik manusia untuk takut untuk berpikir sendiri. Meninggalkan zona aman melalui bertualang akan memberi sugesti kita untuk berpikir sendiri dan meretas kedewasaan.    

Tidak Sendirian dalam Petualangan

Bila kita cermati, mayoritas penulis resensi atau ulasan Gentayangan yang sudah dipublikasikan, memaknai petualangan sebagai hasrat kosmopolit tokoh utama. Hal ini timbul ketika kita memisahkan realitas yang dibentuk teks naratif fiksi dengan realitas empiris. Pembaca yang memisahkan realitas imajiner yang dibentuk 'teks naratif fiksi' dengan 'realitas empiris' berpotensi besar akan menempatkan Gentayangan seperti serial Goosebumps yang juga memiliki format Pilih Sendiri Petualanganmu.        

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun