Mohon tunggu...
Suhendrik N.A
Suhendrik N.A Mohon Tunggu... Citizen Journalism | Content Writer | Secretary | Pekerja Sosial

Menulis seputar Refleksi | Opini | Puisi | Lifestyle | Filsafat dst...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menulis Itu Perkara Menggoda Sunyi (dan Sedikit Utang di Angkringan)

17 September 2025   08:00 Diperbarui: 17 September 2025   17:21 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Menulis (Pexels/Pixabay)

Menulis, katanya merupakan sebuah pekerjaan paling sederhana di dunia. Tinggal ambil pena atau membuka laptop, lalu biarkan kata-kata menari dan mengalir begitu saja. Seolah-olah tulisan itu bisa lahir hanya dengan berduduk manis sambil menyeruput kopi.

Tapi nyatanya? Begitu pena menempel di kertas atau kursor mulai mengedip-ngedip manja di layar kosong, justru otak terlalu sibuk mencari seribu satu alasan untuk kabur.

Menulis ternyata lebih mirip dengan menunggu gebetan membalas chat: penuh dengan harapan yang sering digantungkan.

Mungkin itu juga yang menjadi sebab kenapa menulis bisa memiliki frasa sebuah seni menggoda sunyi. Sebab dalam kesunyian itu kita tengah bernegosiasi begitu alot dengan pikiran kita sendiri yang lebih cerewet dari seorang wanita ketika tiba masa menstruasi dan sulit untuk diatur tentunya.

Kadang kita merasa bahwa ini saatnya karena ide tengah mengalir deras di kepala, tapi begitu kita ingin tuangkan menjadi kata-kata, ia menguap entah pergi ke mana. Seperti sebuah asap rokok di angkringan depan kosan, yang baru saja pada lalu hilang begitu saja diterpa angin malam.

Sunyi itu tak pernah memberikan ruang yang benar-benar kosong, tapi juga tak pernah mudah untuk diajak untuk berkompromi barang sejenak saja.

Pada angkringan depan kosan yang sering kali menjadi saksi bisu itu, saya seringkali duduk berjam-jam hanya untuk menanti ide yang tak kunjung singgah.

Di seberang angkringan lampu jalan hanya berkedip-kedip seperti malas bekerja, seolah tengah merasakan hal yang sama dengan saya, yakni kebuntuan di dalam kepala.

Segelas kopi panas juga tak tertinggal menjadi saksi atas bagaimana satu demi satu kalimat yang tengah dirangkai malah berakhir menjadi sampah yang terus menerus dihapus tanpa ada jeda. Kadang malah yang lahir di buku catatan hanyalah corat-coretan tak jelas, seperti sebuah gambaran sketsa jalan buntu.

Lalu saya mulai merasakan, bahwa mungkin saja menulis memang lebih banyak dihabiskan untuk menunggu daripada eksekusi.

Tapi, menunggu ide itu juga tidak selalu pasif kok.

Ada masa-masanya kita harus menggoda kesunyian itu, seperti bapak penjajah angkringan yang tahu caranya merayu pembelinya dengan aroma sate usus yang tengah digarang di atas bara arang, atau jahe yang sengaja di panggang di atas arang secara perlahan sebelum dimasukkannya ke dalam susu panas yang berubah menjadi susu jahe yang harum dan menghangatkan badan.

Menurut saya, terkadang kata-kata juga perlu untuk dirayu dahulu dengan sabar dan perlahan, tidak dipaksa datang sekaligus dalam sekali waktu.

Kalau terlalu buru-buru ya jadinya hambar biasanya, seperti seporsi nasi kucing yang kebanyakan nasinya ketimbang lauknya yang hanya berisikan beberapa biji teri dan sambal.

Maka, menulis membutuhkan kesediaan untuk duduk berjam-jam, berlama-lama, dan berpura-pura tabah menghadapi segala kebisuan yang melanda diri. 

Ironisnya malah dari dalamnya kepura-puraan itu, sering kali malah melahirkan ide-ide yang muncul tanpa diundang dan entah dari mana.

Tapi tetap saja kita jangan lupa, tidak semua malam yang saya habiskan di angkringan dapat melahirkan barang satu tulisan. Kadang saya malah lebih sibuk menghitung sudah berapa banyak utang kopi yang saya timbun dan catat untuk esok hari.

Utang di angkringan ini sudah menjadi sebuah metafora tentang menulis: kecil, sepele, tapi kalau dibiarkan begitu saja akan membuat kita pusing setiap akhir bulan.

Menulis juga menurut saya sama seperti itu, satu dua ide yang sering kita tunda tampaknya tidak menjadi masalah, tapi lama-lama menumpuk dan menjadi beban untuk kita.

Sialnya, beban itu yang sering banget membuat kita memilih untuk menunda dan terus menunda lagi, dari pada keberanian untuk menuliskannya hingga selesai.

Lucunya ialah dalam keadaan buntu itu justru yang membuat saya semakin sering terjebak kepada refleksi-refleksi yang tak pernah ada ujungnya.

Pikiran sering kali berkelana entah ke mana pun: mulai dari bagaimana nasib bangsa, sampai ke hal remeh kenapa nasi kucing dikasih nama nasi kucing padahal yang makan adalah manusia?

Menulis itu seharusnya sederhana, tapi jadi rumit karena kita terlalu sering ingin terlihat pintar lewat tulisan kita. Padahal, tulisan yang hidup itu bukanlah tulisan yang lahir dari keinginan untuk tampil hebat, melainkan dari kejujuran diri untuk menghadapi diri sendiri.

Justru dari titik ini juga menulis seakan mirip sekali dengan bercermin di genangan air hujan: gambarannya mungkin berombak, tapi tetap mencerminkan sesuatu yang nyatakan?

Mungkin menulis memang harus dilihat sebagai proses berteman dengan kekurangan. Tidak semua kalimat akan rapi, tidak semua gagasan akan mengesankan. Sama halnya dengan menu di angkringan, yang kadang tak lengkap tapi tetap membuat kita kenyang.

Menulis adalah perkara menerima yang seadanya, lalu meramu seadanya itu menjadi sesuatu yang bisa dibaca. Kalau terlalu sibuk mengejar kesempurnaan, yang ada hanya tulisan yang tak pernah selesai.

Saya jadi ingat obrolan singkat dengan teman satu kos-an yang sama-sama hobi berutang di angkringan, pernah bilang begini: "Menulis itu kaya jatuh cinta, Bro. Kalo lo kebanyakan mikir, ya keburu diambil orang lain lah, Bro!"

Waktu itu saya hanya ketawa-ketawa saja menanggapi ucapan teman saya itu, karena ya memang ada benarnya juga si kalo menurut saya.

Ide itu kalo boleh diibaratkan sebuah kesempatan, maka datangnya itu hanya sebentar dan menghilang kalau kita tidak ada keberanian untuk menangkapnya.

Jadi, menulis bukan cuma persoalan kesiapan atau kematangan secara intelektual saja, tapi juga sebuah keberanian dalam diri kita untuk mempicture sebuah momen.

Tanpa adanya keberanian itu, ya kita hanya akan menjadi seorang pengamat saja yang terlalu sibuk untuk menonton sebuah pertunjukan kata-kata yang menari-nari lalu pergi berlari menjauh dari kita.

Pada akhirnya, menulis memang bukan perkara menemukan ide sempurna. Menulis adalah keberanian untuk mencatat yang tidak sempurna, tapi tetap lahir dari hati yang jujur.

Seperti utang di angkringan, tulisan ini mungkin kecil dan sepele, tapi tetap meninggalkan jejak yang harus dipertanggungjawabkan.

Filsuf Albert Camus pernah bilang bahwa hidup itu absurd, tapi justru dari absurditas itu manusia menemukan makna dengan terus berbuat. Maka, menulis adalah salah satu cara saya untuk melawan absurditas: sebuah pemberontakan kecil terhadap sunyi yang enggan berbicara.

Jadi kalau besok saya masih duduk di sini, menunggu ide berikutnya, saya tahu bahwa menulis bukan sekadar soal kata-kata. Ia adalah praktik keberanian untuk menghadapi diri sendiri, seperti filsuf-filsuf Stoik yang selalu mengajarkan untuk mengolah batin di tengah keterbatasan.

Menulis, pada akhirnya, adalah latihan spiritual: bagaimana saya mengatur pikiran, berdamai dengan kesunyian, dan menemukan makna dalam hal-hal yang tampak sederhana.

Dari secangkir kopi yang menyejukkan malam, hingga utang kecil di angkringan yang mengingatkanku pada tanggung jawab. Dan di sanalah filsafat dan keseharian bertemu: dalam tulisan yang sederhana, tapi tetap mencoba setia pada pencarian makna.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun