Mohon tunggu...
Suhardi Somomoeljono
Suhardi Somomoeljono Mohon Tunggu... Advokat -

Suhardi Somomoeljono Channel

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sistem Pemilu Noken di Papua Bertentangan dengan Logika Hukum

16 Juli 2018   18:07 Diperbarui: 4 September 2018   13:30 1142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dr.Suhardi Somomoeljono,SH.,MH.

Praktisi Hukum dan Akademisi, Dosen Pascasarjana Universitas Matla'ul Anwar Banten

Nara Sumber Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

Pakar Desk Otonomi Khusus Tanah Papua Kemenkopolhukam RI


Prolog

Tulisan ini pokok bahasannya mengenai diktum Putusan MK RI Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009. Majelis Hakim sebelum menjatuhkan suatu putusan, sebelumnya pada prinsipnya, telah melalui pertimbangan-pertimbangan dari berbagai aspek yang dianggap proporsional, tentu juga mendasarkan pada bukti-bukti, keterangan ahli, saksi-saksi fakta, petunjuk dan sebagainya. Sehingga putusan dijatuhkan oleh Majelis Hakim MK RI, dengan mengesahkan / memutuskan berlakunya sistem noken tersebut. 

Meskipun demikian secara tegas dalam putusan Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009 MK telah mengakui secara konstitusional perihal sistem noken, namun terkait aplikasi sistem noken tersebut tidak seluruhnya dapat diterapkan pada provinsi Papua. 

Menurut putusan MK Nomor 6/32/PHPU.DPD/XII/2012 tertanggal 25 Juni 2012 bahwa sistem itu tidak boleh dilaksanakan di tempat yang selama ini tidak menggunakan sistem noken.Mendasarkan pada putusan MK tersebut, dalam pelaksanaannya tidak seluruh Kabupaten di Papua menggunakan Sistem Noken[1], yang menggunakan model / sistem noken hanyalah untuk daerah-daerah pegunungan[2], untuk daerah-daerah atau kabupaten non pegunungan tidak menggunakan sistem pemilu noken. 

Dengan adanya putusan MK tersebut, pertanyaannya adalah apakah model pemilu noken tersebut selaras dengan norma-norma demokrasi yang dibangun oleh Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis.

Filosofi Demokrasi

Secara deskriptif dapat digambarkan bahwa peradaban manusia diseluruh penjuru dunia tidak terkecuali Indonesia, dari dahulu hingga kini akan terus menerus berkembang. Salah satu perjuangan umat manusia yang mendasar adalah penghargaan / penghormatan atas hak asasi manusia ("HAM"). 

Corak hukum yang demokratis adalah salah satu tuntutan umat manusia dalam rangka menggapai cita-cita terwujudnya keadilan. Dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan, warga negara sebagai subyek hukum privat, dan negara sebagai subyek hukum publik, tidak boleh saling merugikan dalam berinteraksi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Perimbangan hak dan kewajiban dalam hukum salah satunya pada akhirnya timbulah prinsip-prinsip hukum yang bersumber dari nilai-nilai demokrasi antara lain persamaan kedudukan dalam hukum (equality before the law). Indonesia sebagai negara hukum (rechts staad) sudah pasti akan terus menerus berjuang baik melalui pembangunan legislasi nasional maupun melalui praktek-praktek dalam putusan pengadilan yang pada puncaknya akan menghasilkan sumber hukum berupa yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI.

Betapa penting dan mahalnya suara rakyat, sebagai implimentasi dari perjuangan hak asasi manusia ("HAM"). Dari zaman kezaman, sehingga munculah adegium, Suara Rakyat adalah Suara Tuhan (Vox Populi,Vox Dei), sebagaimana telah diakui sebagai semangat umat manusia, dari seluruh dunia untuk keluar dari kesewenang-wenangan penguasa. 

Suara rakyat adalah suara Tuhan, sesungguhnya suatu ungkapan yang hendak membangun peradaban manusia, agar supaya tidak saling merugikan secara tidak adil dalam praktek berbangsa dan bernegara. Jangan sampai terjadi kepentingan kaum yang lemah, selalu dikalahkan atau tertindas oleh kaum yang kuat, dalam pola permainan yang tidak adil dalam penerapan pembangunan hukum nasional.

Bahkan Filosof sekaligus ahli hukum Montesque, betapa penting dan urgensinya soal nilai-nilai keadilan agar supaya tidak terjadi model kekuasaan yang otoriter dan absolute, telah merumuskan perlunya membatasi kekuasaan dalam suatu negara agar supaya terjadi atau tercipta nilai-nilai demokrasi dalam suatu negara/pemerintahan. Dengan terciptanya teori Trias Politika yaitu dipisahkannya antara kekuasaan eksekutif, legeslatif dan yudikatif sebagaimana teori Mostesque tersebut, maka perilaku-perilaku penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan, dapat dilakukan kontroling secara hukum.

Indonesia merdeka juga bagian dari perjuangan peradaban rakyat, untuk keluar dari kungkungan kekejaman penguasa (kolonial). Bahkan penguasa dalam suatu negara merdeka, yang sah dan legitimate, jika prilakunya sudah menunjukkan otoriter dan semena-mena, rakyatpun akan bersatu padu menggulingkan kekuasaan yang sah. 

Lebih-lebih jika bangunan legislasi, tidak lagi berpihak kepada rakyat, maka secara alamiah dengan semangat suara rakyat adalah suara Tuhan, rakyat akan berbondong-bondong dengan berbagai argumentasi guna menjatuhkan penguasa yang sedang berkuasa. Intinya penghormatan terhadap HAM dalam segala aspek kehidupan adalah bagian fundamental dari peradaban manusia. Jika penghormatan tersebut tidak dihiraukan atau diabaikan, maka setiap saat seperti halnya bom waktu yang akan meledak.

Pemilu Sistem Noken bertentangan dengan akal sehat

Inti dari filsafat hukum itu adalah bagaimana membangun peradaban hukum yang paling mampu mendekati rasa keadilan. Rasa keadilan itu, erat kaitannya dengan logika manusia secara umum, suatu putusan pengadilan itu, semakin logis dan dapat diterima akal sehat (common sense) akan semakin baik, karena logikanya, dapat dimengerti dan diterima oleh akal sehat manusia pada umumnya. 

Jika putusan pengadilan logika dasarnya sulit diterima oleh akal sehat, maka putusan pengadilan tersebut akan berpotensi semakin jauh dari rasa keadilan. Contoh kongkrit, sebagai ilustrasi semisal ada orang tua miskin berumur 70 tahun mencuri sepotong roti. Oleh Polisi di tangkap dan ditahan, oleh Jaksa Penuntut Umum dituntut hukuman, oleh Hakim dihukum 1 tahun penjara.

Tentu saja hakim tidak salah dalam menjatuhkan putusannya. Secara formalistik Hakim dalam menjatuhkan putusannya memiliki dasar hukum, demikian pula Polisi dan Jaksa, tidak ada yang salah secara hukum. Namun demikian perilaku para penegak hukum tersebut, cara memandang hukum hanya dari satu pandangan, yaitu aspek formalistik saja. 

Cara pandang aparat penegak hukum tersebut, telah meninggalkan rasa keadilan masyarakat, hukum telah dijauhkan dari nilai-nilai kemanfaatan dan nilai-nilai kearifan hukum yang dijauhkan dari nilai-nilai kemanfaatan, akan semakin jauh dari tujuan filsafat hukum, yaitu bagaimana memburu nilai-nilai keadilan, dalam meng-implimentasikan hukum dalam alam nyata (das sein). Ilustrasi, orang miskin mencuri sepotong roti, ditangkap, ditahan dan dihukum adalah cermin, bentuk putusan hakim yang jauh dari akal sehat, putusan yang demikian itu, sulit diterima oleh akal sehat kebanyakan orang dan berpotensi besar, jauh dari rasa keadilan.

Berangkat dari semangat, bagaimana membangun hukum, yang bernuansa demokratis di Indonesia, idealnya tidak terlepas dari nilai-nilai Pancasila sebagaai idiologi negara. Filosofis keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, jika kita kaitkan dengan putusan MK RI, yang mengesahkan sistem pemilihan umum di Papua, dengan menggunakan sistem noken, tentu tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila. 

Peradaban rakyat Indonesia dari waktu ke waktu, sangat mengagungkan manusia sebagai subyek hukum, dalam peri kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Disisi yang lain, dalam sistem pemilu model noken, manusia tidak dipandang sebagai subyek hukum, tetapi hanya dipandang sebagai obyek hukum.

Pemilu Sistem Noken di Papua, dalam Perspektif Demokrasi Pancasila, tidak tepat untuk diterapkan, mengingat dalam kenyataannya telah memposisikan orang-orang Papua seperti halnya obyek-benda mati, bukan sebagai subyek hukum, yang memiliki hak kewajiban sebagaimana rakyat Indonesia pada umumnya. Dapat kita bayangkan, jika rakyat Papua dalam sistem pemilu noken, dalam praktek pemilihannya, diwakili atau diwakilkan kepada politisi yang tidak bertanggungjawab, tentu masa depan papua khususnya akan seperti apa, sulit diprediksikan. 

Lebih-lebih jika politisi yang mewakili hak pilih rakyat Papua dalam model noken, memiliki tabiat yang buruk (politisi busuk), potensi untuk melakukan persengkokolan jahat, sangat dimungkinkan. 

Secara akal sehat, sistem pemilu noken berbenturan dengan asas-asas pemilu (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, Adil), yang telah ditentukan oleh hukum positif. Sistem pemilu model noken, dalam alam nyata dapat membuka peluang, atau memberi kesempatan kepada pihak pelaksana pemilu, melakukan trik-trik hukum (legal trick) yang tidak sehat, dan sangat sulit dilakukan kontrol oleh masyarakat. Potensi penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan oleh aparatur negara sangat terbuka.

Quo Vadis Putusan MK RI Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009

Kira-kira putusan MK RI (yudikatif) tersebut akan kemana (where are you going), akan dibawa atau diarahkan kemana oleh Pemerintah RI (eksekutif). Dalam perspektif hukum, sistem pemilu model noken telah menjauhkan diri manusia dari nilai-nilai keadilan yang beradab. 

Dari aspek pembelajaran (education) rakyat Papua khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya, dengan diterapkannya model pemilu sistem noken, tidak mendapatkan nilai tambah ilmu hukum (not educated well). Bahkan pemilu model noken berpotensi, menimbukan praktek politik dagang sapi, makna pesta demokrasi hilang secara sistemik. 

Peradaban rakyat Papua dari waktu kewaktu sulit berkembang menuju kemandirian, selalu terkungkung oleh model birokrasi, yang tidak mengedepankan model pembangunan hukum yang berkarakter responsif. 

Rakyat Papua bahkan, sampai saat ini hidupnya mayoritas masih menggantungkan beras miskin ("RASKIN"), jatah dari pemerintah. Keadaan seperti ini jelas bukan semata-mata salahnya masyarakat papua. Pemerintah pusat sebagai sentral kebijakan nasional, dalam berbagai hal tidak memiliki konsep yang mampu secara konprehensif guna menghantarkan kemandirian.

Jika rakyat Papua dari aspek politik, ekonomi, seni, budaya, hukum tidak dipersepsi dalam bentuk kebijakan legislasi nasional, yang mengarah pada kemandirian suatu daerah, maka sampai kapan rakyat Papua akan dapat meningkatkan sumberdaya manusianya ("SDA"), serta mampu mengolah, menggarap sumber daya alamnya ("SAD"), yang sangat melimpah. 

Jika sampai saat ini, rakyat Papua masih tergantung terus menerus dari kebijakan pemerintah pusat, sebagai akibat dari lemahnya SDM dan tidak seksamanya dalam memanfaatkan SDA, maka rakyat Papua sebagai bagian integral, dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ("NKRI"), akan terus menerus merasa termarginalkan yang dapat mengakibatkan, timbulnya dampak negatif baik terhadap kehidupan politik, ekonomi dan hukum.

Saran dan Penutup

Pemerintah (eksekutif) serta lembaga-lembaga negara, terkait dengan organ penyelenggara pemilu, seyogyanya tidak lagi menerapkan, atau memberlakukan Putusan MK RI Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009 yang telah mengesahkan, memberlakukan sistem atau model pemilu dengan menggunakan noken, sebagai dasar pijakan (dasar hukum). 

Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, yang bersifat final and binding dapat dikesampingkan oleh Pemerintah untuk tidak ditaati (tidak tunduk), dengan alasan Putusan Mahkamah Konstitusi (yudikatif) telah menimbulkan ketidakadilan hukum, bertentangan dengan prinsip hukum equality before the law ( manusia memiliki kesempatan yang sama dalam hukum), serta bertabrakan dengan prinsip-prinsip dasar dari suatu penyelenggaraan pemilu yaitu : Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil. Dalam keadaan seperti itu, dengan diterapkannya model pemilu sistem noken, makna dari pesta demokrasi dari suatu negara, sebagai implimentasi, dari cita-cita terbentuknya negara hukum yang demokratis menjadi tidak bermakna.

Dari aspek sejarah, serta teorisasi hukum, implimentasi dari teori trias politika, khususnya di Indonesia tidak bersifat mutlak, dalam ranah implimentasinya (law in action) , apa yang diputuskan atau diperintahkan oleh pihak pembuat undang-undang (legislatif), oleh pihak pengadilan atau hakim (Yudikatif) jika hakim memandang bahwa, perintah UU bertentangan dengan nilai keadilan, maka hakim boleh mengesampingkan perintah UU tersebut. 

Dari perspektif teorisasi, hakim bukan corongnya Undang-Undang, hal tersebut semata-mata demi terciptanya atau terwujudnya keadilan di masyarakat. Mengacu pada teorisasi hukum tersebut, maka sebaliknya pihak pemerintah (eksekutif) dapat mengesampingkan putusan pengadilan (yudikatif), demi kepentingan umum jika dipandang tidak menguntungkan, ditinjau dari segi pembangunan manusia seutuhnya dalam perspektif ideology Pancasila, serta bertabrakan dengan hukum positif yang berlaku.

[1] Sistem Noken menurut penulis adalah, proses pemilihan umum kepala daerah ("PILKADA") khusus untuk Provinsi Papua, dimana Para Pemilih yang memiliki hak pilih, diwakilkan kepada orang, yang diberi kepercayaan, guna mewakili kepentingannya untuk menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian subyek hukum yang memiliki hak pilih, tidak wajib menghadiri atau datang ditempat-tempat pemilihan suara. Cukup diwakilkan kepada subyek hukum yang dipercaya. 

[2] Kabupaten-Kabupaten yang berada di wilayah Propinsi Papua, dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang menggunakan model noken, dapat dilihat pada pemilihan umum tahun 2009, hampir sekitar 16 (enam belas) kabupaten terdapat sistem noken.Kabupaten-kabupaten yang dikenakan model noken, diantaranya yaitu : Kab. Yakuhimo, Kab.Nduga, Kab. Lanny Jaya, Kab. Tolikara, Kab. Intan Jaya, Kab. Puncak Jaya, Kab. Pegunungan Bintan, Kab. Dogiyai, Kab. Mambremo Tengah, Kab. Paniai, Kab.Puncak, Kab. Deiyai, Kab. Jayawijaya dan Kab. Mimika.

Artikel Lainnya : OpiniHardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun