Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen l Kuliner Politik, Selera, dan Penjarahan

7 November 2016   12:10 Diperbarui: 7 November 2016   22:27 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
menu ketoprak khas jakarta

Kalau ada menu paling menggiurkan saat itu tentulah bernama politik. Ia semacam Ketoprak Betawi, digabung dengan Rendang Padang, bernuansa Gudeg Yogya, rujak cingur  Surabaya, serta cita-rasa rica-rica Minahasa. Boleh juga ditambahkan kekhasan kuliner lain di tanah air. Tapi pasti politik itu sejenis makanan yang mengundang selera makan dan mengenyangkan!

“Bang, pesan politik pedas dua porsi ya. .. .!” ujar seorang lelaki perlente setelah memilih meja-kursi untuk bersantap pada sebuah kafe. Ia datang bersama pasangannya, seorang perempuan yang cemerlang dan gemerlap karena kecantikan, busana dan aneka aksesoris yang disandangnya. “Cepat dikit ya. . .!”

“Goreng atau rebus, Pak? Ini ada menu baru kalau mau coba, menu politik bakar saus tiram. . . .!” jawab si penjual –seorang ibu muda yang penuh gaya- dengan sejuta senyum menawan.

“Ya, semua saja boleh. Nggak usah takut saya nggak bisa bayar. Supaya tahu saja, semua urusan anggaran, proyek,  dan hajat hidup warga kota ini di tangan saya. Maka saya berhak makan lebih enak dan lebih banyak agar dapat berkonsentrasi pada pekerjaan saya yang sangat berat itu. . . . .!” tambah si pembeli dengan suara agak dikeraskan agar didengar orang-orang lain.

“Ohh, begitu ya?” ujar si ibu muda santun tapi tidak  mau meladeni. Ia berpikir, berbicara dengan makelar proyek ujung-ujungnya pasti minta komisi. Tapi tiba-tiba sifatnya usilnya kumat juga. “Kalau untuk demo itu termasuk proyek juga apa ya?”

“Demo? Ohya, masuk! Bisa diatur, berapa dana yang diperlukan dan berapa pendemo yang akan dikerahkan. Tidak penting apa yang didemo, tuntutan apa, serta bagaimana dampaknya. Bagi kami gedung kami dengan demo jalanan itu ibarat dua sisi dari sebuah mata uang. Saling mengisi dan bergantung. Kalau di gedung buntu pindah di jalan. Kalau kedua-duanya buntu. . . . .!” kata pak perlente berbusa-busa. Namun seketika terdiam ketika dua piring menu aneka masakan politik datang. Masih berasap dengan menguarkan bau ngeri-ngeri sedap. Itu bau bernuansa keharuman di gedung dewan dan setengahnya lagi bau busuk di penjara koruptor.

Lalu pasangan serasi itu sibuk dengan makanan mereka. Minat dan gaya makan mereka luar biasa rakus. Beberapa menit kemudian seorang pengamen masuk, menenteng gitar tua, dan langsung menyanyikan sebuah lagu balada: Politik itu racun.

Baru mulai intro dengan vokal semacam auman dan lenguhan, si lelaki perlente sudah mencabut dompet dan mengangsurkan selembar uang berwarna merah. Pengamen beringsut pergi sambil tersenyum manis, mungkin dalam hatinya berkata: meski beracun, alangkah sedap sebenarnya rasa kuliner politik!

***

Menggiurkan! Ungkapan yang tepat. Sebab dalam kuliner politik semua rasa terkandung di dalamnya. Bila menu itu dimakan hangat-hangat pada saat perut sedang lapar maka seseorang dapat menghabiskan dua sampai tiga piring. Tentu saja menu spesial yang bernama politik itu takarannya juga piring. Meski ada pula yang menakarnya dengan logika, hati-nurani, perasaan, agama, kearifan dan pengetahuan. Tapi yang pertama dan utama ya piring.

Piring dari kaca, keramik, logam atau lainnya disediakan tergantung bahan-bahan untuk masakan. Bila di sana ada nuansa aspal, batu koral, besi dan semen, maka piring batu yang harus disediakan. Bila bentuknya berupa fasilitas berwisata dan  beribadah keluar negeri, serta bersenang-senang dengan perempuan profesional, maka piring kaca pun bolehlah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun