"Istirahat, Pak. Berat beban pikiran kita saat bekerja. Belum lagi tenaga terkuras, dan terperas. Orang lain beristirahat, tetapi kami justru harus mulai bekerja. Sebab sebelum subuh koran harus sudah naik cetak. . . . ," ungkap seorang wartawan koran.
Mungkin ia juga menjadi editor atau redaksi, sehingga siang malam berkonsentrasi pada pekerjaan. Pada masa mesin cetak masih sangat sederhana setiap kelengahan berarti kesalahan.
"Kerja berat, tapi gaji kecil. Lama-lama media kita bangkrut, tutup. . . .!" ucap jurnalis lain, pada kesempatan berbeda.
Senang masyarakat mendapatkan berita lengkap, akurat, dan inspiratif. Kadang sampai lupa bersyukur, dan berterimakasih pada orang-orang pekerja keras di belakang kerja jurnalistik itu.Â
Bacac juga: Setiap peristiwa ada sebabnya, tergaantung media . . .
Belakangan, lain lagi alasan orang meninggalkan kegiatannya sebagai jurnalis. "Tergusur. Tidak mampu bersaing dengan modal besar. Tergilas kemajuan teknologi. Harus legowo untuk mencari penghasilan dari pekerjaan lain. . . ."
Dulu ketika insan pers dekat dengan pejabat dan konglomerat, profesi itu dicemari ulah sejumlah ormas dan preman yang mengaku-aku sebagai jurnalis untuk pemeras dan menipu mereka. Mungkin sampai kini pun masih ada praktik kriminal seperti itu.
Begitulah kondisinya, penulis berbasis jurnalis mungkin saja jauh berkurang setelah mereka pensiun. Minat baca tak ada, menulis jadi tersiksa.Â
Tetapi penulis di media sosial (dengan kapasitas dan kualitas tertentu) terus bertambah. Perkembangan teknologi digital menjadikan media makin ramai dan dinamis. Wallahu a'lam. ***
Cibaduyut, 24 Juni 2025/28 Zulhijah 1446 (SH)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI