***
Sejak lama profesi jurnalis --pekerjaan yang bersangkut-paut dengan jurnalistik- digeluti orang. Konon sejak zaman Romawi Kuno. Kini makin banyak orang bergantung pada profesi itu. Baik sebagai mata pencaharian, hobi, pekerjaan sampingan, pelampiasan tujuan/perasaan tertentu, atau alasan lain.
Setelah puluhan tahun menggeluti profesi itu, kemudian pensiun dari lembaga tempatnya bekerja, sebagian besar mantan jurnalis memilih aktivitas lain.Â
Ada yang fokus jadi politikus, pejabat publik, akademisi, pembisnis, penggiat media sosial, bandar kos-kosan, dan seterusnya. Urusan kesejahteraan tentu menjadi alasan utama. Rata-rata jurnalis hidup pas-pasan, terlebih jika seumur-umur jadi karyawan.
Baca juga: Â Ibuku tak seperkasa Mbok Yem
Tak sedikit pula yang fokusnya terbagi, selain kerja jurnalistik, juga 'nyambi' berbagai profesi mentereng tadi. Tapi yang sangat memprihatinkan, banyak pensiunan jurnalis yang lebih memilih ongkang-ongkang kaki jadi 'pengangguran'. Memilih semata menikmati uang pensiunan setiap bulannya.
Tentu selain orang-orang yang terkena penyakit kronis pada masa tuanya, mereka merasa telah begitu letih tenaga - hati - pikiran selama aktif bekerja, hingga memilih rehat total.
Pada kriteria ketiga itu tulisan ini berfokus: mantan jurnalis yang tak lagi punya baca dan apalagi menulis. Tidak terbebani pekerjaan dan kegiatan lain, tapi tidak menulis dan enggan menyebarluaskan informasi (apapun bentuknya) sebagaimana saat masih aktif sebagai jurnalis.
***
Sekadar ilustrasi, berikut ini beberapa dialog terkait alasan orang meninggalkan dunia tulis-menulis, khususnya terkait dengan profesi sebagai jurnalis.