Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Mantan Jurnalis yang Tidak Lagi Menulis

24 Juni 2025   14:47 Diperbarui: 25 Juni 2025   15:04 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Tumpukan buku-buku di perpustakaan. (Sumber: pixabay.com/David Connelly)

Ini bukan tentang baik atau buruk sebuah profesi, tetapi semata soal pilihan hidup. Dulu para wartawan kawakan menunjukkan banyaknya kemauan dan kemampuan yang dimiliki. 

Selain aspek kebahasaan (terutama bahasa asing), juga punya kemampuan akademi, diplomasi, politik, serta minat baca tinggi. Profesi jurnalis saat itu sangat membanggakan. Tak sedikit dari mereka dengan keandalan masing-masing menjadi tokoh bangsa.

Begitu sulitnya orang mencari kerja, kini profesi jurnalis sekadar sebuah pekerjaan, untuk mencari sesuap nasi. Sebutan profesi yang terkait erat dengan aspek keahlian, pendidikan, pelatihan, dan etika yang menyertainya, tak lagi hal utama.

Terlebih bagi jurnalis media online (membuat berita/informasi dan menyebarkannya melalui internet) yang jumlahnya sangat banyak. 

Begitu banyak orang bekerja pada bidang ini sehingga persaingan sangat ketat, penghasilan pun ada kadarnya. Tidak mudah untuk mengejar sekadar ukuran UMR. Namun, bagi banyak orang memang tidak ada pilihan lain.

Baca juga: Jebakan ghibah pada profesi jurnalis

Kembali ke jurnalis kawakan masa lalu. Mereka tetap menulis meski di tengah sibuk dan ketatnya jadwal kegiatan penting lain. Dan kelak dari berbagai tulisan itu menjadikan mereka (dalam bahasa agama) 'berumur panjang'. 

Orangnya mungkin sudah lama berkalang tanah, tetapi pemikiran - sikap - keteladanan dan berbagai idenya tetap hidup. Bahkan berkembang dalam teori dan praktik jurnalistik dari masa ke masa. Sebut saja beberapa diantaranya Tirto Adhi Soerjo, H. Agus Salim, dan Burhanuddin Muhammad Diah, Hamid Jabbar, Rosihan Anwar, dan Djafar Assegaf.

Kini para jurnalis bisa merangkap pekerjaan yang lain. Sebaliknya profesi apa saja yang lain dapat pula merangkap sebagai jurnalis. 

Terlebih untuk media online. Tidak mengherankan setelah jadi mantan, banyak dari mereka tidak lagi menulis. Minat baca surut ketitik terendah.

***

Sejak lama profesi jurnalis --pekerjaan yang bersangkut-paut dengan jurnalistik- digeluti orang. Konon sejak zaman Romawi Kuno. Kini makin banyak orang bergantung pada profesi itu. Baik sebagai mata pencaharian, hobi, pekerjaan sampingan, pelampiasan tujuan/perasaan tertentu, atau alasan lain.

Setelah puluhan tahun menggeluti profesi itu, kemudian pensiun dari lembaga tempatnya bekerja, sebagian besar mantan jurnalis memilih aktivitas lain. 

Ilustrasi - Pedoman bagi para jurnalis saat bertugas di lapangan - DiksiNasi
Ilustrasi - Pedoman bagi para jurnalis saat bertugas di lapangan - DiksiNasi

Ada yang fokus jadi politikus, pejabat publik, akademisi, pembisnis, penggiat media sosial, bandar kos-kosan, dan seterusnya. Urusan kesejahteraan tentu menjadi alasan utama. Rata-rata jurnalis hidup pas-pasan, terlebih jika seumur-umur jadi karyawan.

Baca juga:  Ibuku tak seperkasa Mbok Yem

Tak sedikit pula yang fokusnya terbagi, selain kerja jurnalistik, juga 'nyambi' berbagai profesi mentereng tadi. Tapi yang sangat memprihatinkan, banyak pensiunan jurnalis yang lebih memilih ongkang-ongkang kaki jadi 'pengangguran'. Memilih semata menikmati uang pensiunan setiap bulannya.

Tentu selain orang-orang yang terkena penyakit kronis pada masa tuanya, mereka merasa telah begitu letih tenaga - hati - pikiran selama aktif bekerja, hingga memilih rehat total.

Pada kriteria ketiga itu tulisan ini berfokus: mantan jurnalis yang tak lagi punya baca dan apalagi menulis. Tidak terbebani pekerjaan dan kegiatan lain, tapi tidak menulis dan enggan menyebarluaskan informasi (apapun bentuknya) sebagaimana saat masih aktif sebagai jurnalis.

***

Sekadar ilustrasi, berikut ini beberapa dialog terkait alasan orang meninggalkan dunia tulis-menulis, khususnya terkait dengan profesi sebagai jurnalis.

"Istirahat, Pak. Berat beban pikiran kita saat bekerja. Belum lagi tenaga terkuras, dan terperas. Orang lain beristirahat, tetapi kami justru harus mulai bekerja. Sebab sebelum subuh koran harus sudah naik cetak. . . . ," ungkap seorang wartawan koran.

Mungkin ia juga menjadi editor atau redaksi, sehingga siang malam berkonsentrasi pada pekerjaan. Pada masa mesin cetak masih sangat sederhana setiap kelengahan berarti kesalahan.

"Kerja berat, tapi gaji kecil. Lama-lama media kita bangkrut, tutup. . . .!" ucap jurnalis lain, pada kesempatan berbeda.

Senang masyarakat mendapatkan berita lengkap, akurat, dan inspiratif. Kadang sampai lupa bersyukur, dan berterimakasih pada orang-orang pekerja keras di belakang kerja jurnalistik itu. 

Bacac juga: Setiap peristiwa ada sebabnya, tergaantung media . . .

Belakangan, lain lagi alasan orang meninggalkan kegiatannya sebagai jurnalis. "Tergusur. Tidak mampu bersaing dengan modal besar. Tergilas kemajuan teknologi. Harus legowo untuk mencari penghasilan dari pekerjaan lain. . . ."

Dulu ketika insan pers dekat dengan pejabat dan konglomerat, profesi itu dicemari ulah sejumlah ormas dan preman yang mengaku-aku sebagai jurnalis untuk pemeras dan menipu mereka. Mungkin sampai kini pun masih ada praktik kriminal seperti itu.

Begitulah kondisinya, penulis berbasis jurnalis mungkin saja jauh berkurang setelah mereka pensiun. Minat baca tak ada, menulis jadi tersiksa. 

Tetapi penulis di media sosial (dengan kapasitas dan kualitas tertentu) terus bertambah. Perkembangan teknologi digital menjadikan media makin ramai dan dinamis. Wallahu a'lam. ***

Cibaduyut, 24 Juni 2025/28 Zulhijah 1446 (SH)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun