di atas jembatan bambu yang roboh diterjang banjir, anak-anak kampung melintas
airnya keruh, arusnya deras, tatap matanya lugas dan tegas
mereka menyimpan mimpi hidupnya di dalam tas
jika harus bertaruh nyawa setiap harinya, mereka berharap kelak cita-citanya akan terbayar lunas
anak-anak kampung itu terlalu polos dan jujur, hingga mereka tak tahu akan hak asasinya terampas, dan masa depannya terempas
ada atau tidak negara hadir, hidup warga kampung, tempat anak-anak masa depan terlahir, tak akan berakhir
jangan tanyakan kepada mereka perihal di mana negara, sebab tanah tumpah darah adalah ibu kandungnya
jangan tanyakan kepada mereka, bagaimana harus menjalani hidup dengan segala keterbatasan dan kegelapan, sebab tanah tempatnya berpijak selalu penuh sesak dengan berkah dan anugerah, yang terus melimpah
jangan tanyakan bagaimana mereka bekerja keras mewujudkan cita-citanya, sebab bekerja adalah panggilan jiwanya
peluh, keringat dan air matanya tempat menyemaikan harapan, dan benih kebahagiaan
bukankah turun-temurun kami kemas sendiri hidup kami, kami rajut sendiri mimpi kami dan kami bakar sendiri bara semangat kami
tak mengapa negara tak peduli, sebab tugas negara yang paling kami ingat adalah ingkar janji
Jogja, Juni 2021
Puisi Sugiyanta Pancasari