MENJELAJAHI 80 TITIK PENYELAMAN TERBAIK INDONESIA
BAGIAN I
Â
Penyelaman Wakatobi, akan membungkam jiwamu.
Perjalanan ini benar adanya. Gendhis (57) dan suaminya, Eric (65) menjelajahi 80 tempat menyelam terbaik di Indonesia, daftar impian yang luar biasa bagi semua penyelam di dunia. Selama empat bulan, mereka berdua mengarungi pulau-pulau di Indonesia. Meskipun beberapa tempat eksotis ini terkadang sulit dijangkau, setiap penyelaman menghasilkan senyuman yang memuaskan. Mereka telah mendapatkan inspirasi yang tak terkira dari penjelajahan mereka terhadap dunia bawah laut Indonesia. Di atas kapal, Gendhis meneteskan air mata, menyaksikan pesona Indonesia.
Usia keduanya sudah unik, bukan lagi muda. Perjalanan menjadi cara keduanya untuk tetap saling jatuh cinta dan memikat. Selalu bergandengan tangan, ketika keduanya harus melewati rangkaian situasi sulit. Ucapan cinta, menjadi jamuan sebuah rasa, mengikuti hari-hari mereka.
Pagi itu dari Jakarta, Gendhis dan Eric hendak menuju Wakatobi, titik penyelaman yang sudah termashyur di seluruh dunia. Selain Wakatobi, keduanya juga akan menyelam di Pasarwajo, dengan pesona ikan Mandarinnya, dan Bau-Bau, terkenal dengan goa-goa bawah laut untuk menguji adrenalin penyelam.
Mereka akan menempuh perjalanan panjang, dari Jakarta -- Makasar, lalu transit di Makasar, kemudian Makasar -- Bau-Bau. Kalau semua tepat waktu, minimum 6 hingga 7 jam.
Dari Bau-Bau -- Gendhis dan Eric, akan melanjutkan perjalanan darat dengan mobil sekitar 3 jam menuju Penyeberangan Pasarwajo atau Lasalimo.
Dengan menggunakan kapal besar dari Pasarwajo/Lasalimo -- menuju Wangi-Wangi, perjalanan akan ditempuh sekitar 3 jam.
Selanjutnya, dari Wangi-Wangi, keduanya masih harus menyeberang ke Tomia menggunakan kapal kecil, sekitar 2 hingga 4 jam, dengan catatan tidak boleh terlambat. Kalau terlambat, harus menggunakan kapal lain dari Lasalimo menuju Wakatobi, dengan lama perjalanan lebih kurang 24 jam.
Di ruang tunggu keberangkatan penumpang, Gendhis dan Eric duduk berdekatan, saling bercanda hingga tertawa lirih, melihat grup tour dengan seragam kaos warna ungu.
"Honey, orang-orang yang memakai seragam ungu itu juga mau menyelam dengan kita?" tanya Eric, dengan wajah polos. Maklum Eric, suami Gendhis adalah warga negara Amerika Serikat.
Gendhis menahan tawa mendengar pertanyaan suaminya. "Itu grup yang mau tour. Mereka menggunakan seragam supaya terlihat kompak kalau difoto," Gendhis menjelaskan.
Eric terdiam beberapa saat, "Hmm, Indonesia memang kaya akan warna, tapi kenapa hanya ungu?" Eric, masih bingung dengan wajah lucu.
"Terserah kamu, hon..." jawab Gendhis tersenyum lebar.
"Hon, semoga angin Selatan sedang tidak terjadi di Wakatobi, jadi kita bisa menyelam, sesuai jadwal," Eric berbicara dengan Gendhis,
"Menurut laporan pihak Pelabuhan, seharusnya sudah berhenti. Kita sudah menyiapkan plan B kalau angin Selatan masih kuat di Wakatobi," jawab Gendhis.
Panggilan untuk penumpang yang akan menuju Makasar sudah terdengar. Sigap, Eric menenteng dua tas ransel, lalu keduanya beriringan memasuki pesawat.
Tidak ada keterlambatan penerbangan, dari transit di Makasar, sampai tiba di Bau-Bau. Keduanya bermalam di Bau-Bau. Gendhis mengorganisir perjalanan mereka sendiri dengan sangat baik, praktis, dan tanpa kehebohan.
Esok harinya pukul 06.00 tepat, Gendhis dan suaminya sudah berada  di lobby hotel, dengan dua koper cukup besar serta tas ransel. Sopir dan mobil yang akan membawa keduanya menuju Pelabuhan Lasalimo juga sudah siap. Pukul 06.05, mobil sudah bergerak menuju Lasalimo. Mereka melewati jalan berkelok, kiri kanan masih tertutup hutan rimbun. Bau-Bau tepatnya masuk wilayah Buton yang terkenal dengan penghasil aspal terbesar di Indonesia. Sesekali Gendhis berbincang tentang kekayaan Indonesia, Kerajaan Buton, serta aspal pada suaminya, lalu mereka tertidur.
Tiga jam persis, mereka tiba di Pelabuhan Lasalimo. Siang itu, Pelabuhan Lasalimo sudah dipenuhi penumpang yang akan menuju Wangi-Wangi, karena hari itu kapal dari Pelabuhan Pasarwajo tidak beroperasi. Setiap hari, dari Pasarwajo dan Lasalimo, kapal melayani satu kali penyeberangan menuju Wangi-Wangi. Udara cukup panas, tempat berteduh hanya warung-warung kecil di depan Pelabuhan.
Sambil menunggu kapal yang akan membawa mereka, Gendhis dan Eric, duduk di sebuah warung, membeli kilogram buah salak dan sebotol aqua dingin. Gendhis menunjukkan pada suaminya cara mengupas dan makan buah salak.
"Hmmm, cukup unik rasanya," kata Eric sambil mengunyah buah salak. Ia lalu mengamati bijinya dan mencoba menggigit, "Bijinya sangat keras," katanya polos, membuat orang-orang di sekitar mereka tertawa.
Udara kian terik, wajah Gendhis mulai berkeringat. Spontan Eric mengelap keringat yang membasahi leher istrinya dengan tisu, sembari menyodorkan aqua dingin,
"Thank you, hon," ucap Gendhis berterimakasih pada suaminya. Beberapa orang di sekitar mereka tersenyum manis, menyaksikan adegan sederhana dengan pesona Timur dan Barat.
Pukul 09.30, kapal dari Lasalimo menuju Wangi-Wangi berangkat. Ombak cukup besar. "Semoga kita masih bisa mengejar kapal yang akan menuju Tomia, hari ini," ucap Gendhis pada Eric, dengan wajah sedikit waswas.
"Ombak cukup besar, Gendhis. We cannot do anything," jawab Eric, santai. Keduanya lebih suka untuk selalu siap dengan plan B, kalau hal tak terduga terjadi dalam ekspedisi ini.
Benar, kapal dari Lasalimo tiba di Wangi-wangi Pukul 13.30. Saat terompet kapal berbunyi, Gendhi dan Eric sudah bersiap mengangkat koper dan tas ransel milik mereka. Ketika kapal berlabuh, keduanya bergerak melewati beberapa penumpang, berjalan di pinggiran kapal, lalu melewati jembatan kayu, lebar hanya setengah meter, sebagai penyangga untuk melompat ke dermaga. Eric terpeleset, namun bisa menyeimbangkan badannya dengan cepat. Keduanya harus mengejar kapal berbeda untuk menuju Tomia.
Sopir di Wangi-Wangi yang menjemput Gendhis dan Eric menyapa ramah pada keduanya, walau mereka belum pernah saling bertemu. Gendhis berbicara sebentar, lalu mereka berlari sambil menyeret koper menuju tempat parkir mobil yang tak jauh dari kapal. Pak sopir pun bergerak cepat, tancap gas menuju Pelabuhan lain. Waktu mereka tinggal 20 menit lagi, dan hanya ada satu kapal menuju Tomia setiap hari. Kalau ombak besar, maka kapal juga akan berhenti beroperasi.
Berulang Gendhis dan Eric terlihat menarik nafas panjang, dan tetap mencoba tenang, walau keduanya sudah mempersiapkan plan B. Pukul 14.00, mobil tiba di Pelabuhan kecil. Sopir membawa mobilnya memasuki pelabuhan dan parkir tak jauh dari kapal kecil yang sudah akan berangkat. Spontan, beberapa orang berteriak pada Nahkoda kapal express "Tunguuuu!!"
Beberapa orang dengan suka cita membantu mengangkat koper besar milik Gendhis dan Eric, lalu keduanya melompat ke kapal,
"Terimakasih banyak, pak..." ucap Gendhis pada orang-orang yang membantu mengangkat barang dan pada sopir.
"Terimakasih, Pak," kata Eric dengan aksen Amerika, sambil masuk kapal melalui pintu yang cukup sempit.
"Sama-sama, selamat jalan," jawab mereka.
Kapal kecil dengan fasilitas sangat ekonomi. Tak ada pilihan lain. Gendhis dan Eric duduk santai di antara tumpukan barang, merebahkan badan sesaat, lalu berbincang dan bercanda dengan beberapa penumpang tanpa risih. Ombak di lautan lebih sering tak tertebak hingga membuat badan Gendhis terpelanting. Eric selalu sigap menahanya, lalu keduanya akan tertawa saling menggoda. Pada pukul 16.05, kapal yang mereka tumpangi tiba di Pelabuhan Tomia.
Gendhis keluar kapal, berdiri di atas dermaga nan bersih. Ia tersenyum memandangi hamparan laut biru, matahari mulai turun dengan puluhan warna eksotik. "Wow!! Wakatobi!" ucapnya lirih,
Eric ikut berdiri disamping istrinya, "Indonesia is wonderful, like you," ucapnya sambil mengecup Gendhis. Keduanya berpelukan sesaat, lalu Eric mulai memasukkan koper ke dalam bagasi mobil dari resort yang sudah datang menjemput. Sementara itu, Gendhis sibuk mengambil gambar anak-anak bermain di Pantai, di atas pasir putihnya.
Anak-anak tersebut menyapa Gendhis dengan ramah, "Haloo..."
"Halooo," jawab Gendhis sambil melambaikan tangan ke mereka.
Mobil dengan sopir berbeda bergerak menuju resort. Tak banyak kendaraan berlalu lalang. Gendhis membuka kaca mobil, menikmati udara segar Wakatobi. Keduanya terkesima melewati jalanan aspal yang mulus, rumah-rumah tampak tertata, bersih, tak tampak sampah berceceran. Bertemu dengan beberapa orang dan anak-anak yang kebetulan berdiri di tepi jalan, mereka melambaikan tangan, dan tersenyum lebar. Sapaan "Halo" dari warga setiap berjumpa dengan turis, membuat kesan menjadi hangat. Menjadi pembuka kenyamanan turis.
Setelah beberapa hari di Wakatobi, akhirnya Gendhis dan Eric mengetahui kalau masyarakat bersama pemerintah setempat cukup peduli dengan konservasi wilayah dan laut mereka. Mereka mengerti sekaligus memahami bahwa Wakatobi menjadi incaran dan idaman penyelam-penyelam seluruh dunia.Â
"Penyelaman Indonesia itu mahal, ekslusif, dan bukan penyelaman recehan, karena keindahan bawah laut Indonesia, gilaaa... memukau," kata Gendhis suatu hari, di sebuah caf. Beberapa orang di sekitarnya, terlihat speechless, melihat sebagian cuplikan video bawah laut Indonesia yang ditayangkan di sebuah caf oleh Gendhis.
"Sajian topografi dan wall coral Indonesia itu bisa membuat kita merasa kecil di hadapan semesta, megah, dan masih utuh," sambungnya tersenyum manis. "Di kedalaman laut nan elok, kita bisa meletakkan sebuah cerita berharga dan menjemputnya kembali," Gendhis menutup tayangan videonya, lalu disambut tepuk tangan kala itu.
Penyelaman hari pertama tiba. Pukul 08.00, kapal kecil yang akan membawa Gendhis dan Eric sudah menjemput di dermaga. Tabung-tabung oksigen, fin, wetsuit, BCD, Weight belt, Gauges, dive computer, senter, stick, dan peralatan dokumentasi sudah siap semua. Pak Ammad, dive master yang akan mendampingi Gendhis dan Eric selama penyelaman di Wakatobi, Kapten, dan satu crew kapal berteriak dari atas kapal, menyapa Gendhis dan Eric.
"Selamat pagi," kata mereka.
"Selamat pagi," jawab Gendhis dan Eric bergantian.
"Welcome di penyelaman Wakatobi," sambut Pak Ammad setelah mereka berada di atas kapal kecil. Â
Kapal bergerak santai menuju titik penyelaman pertama. Goyangan kapal tidak terlalu kencang pagi itu, cuaca juga cerah. Pak Ammad menjelaskan ke Gendhis-Eric tentang kondisi titik penyelaman pertama yang akan mereka lakukan, kedalaman, arus, dan lainnya,
"Hari ini cuaca bagus, tidak ada angin, Arus juga bersahabat. Kita akan melakukan penyelaman pertama di Garden Coral."
Kemudian Pak Ammad juga mengulang ilmu dasar tentang isyarat-isyarat yang harus diketahui dan dipatuhi penyelam, walau mereka semua sudah berpengalaman.
Gendhis dan Eric menyimak instruksi Pak Ammad, agar tidak terjadi kesalahan. Menyelam di bawah kedalaman dari 20, 25, bahkan sampai 30 meter tentunya bukan hal mudah dengan tekanan air dan arus bawah laut yang kadang tak tertebak. Mereka akan mengalami tekanan pada telinga, hidung, dan harus mengetahui cara mengatasinya tanpa panik.
Mereka lalu mempersiapkan diri, memakai baju dan semua peralatan selam, saling mengecek komputer, udara, masker, dan lain-lain.
Kapal berhenti dengan tenang di atas air laut berwana hijau toska, keindahan coral di bawahnya terlihat jelas. Akuarium alami yang sangat besar.
"Wow! Wakatobi!" teriak Gendhis.
Gendhis dan Eric, menutup wajah mereka dengan masker, lalu memasang oktopus pada mulut mereka.
Pak Ammad berteriak memberi aba-aba, "Ready? One, two, three!" dan byurrr...
Gendhis, Eric, serta Pak Ammad roll bersamaan dari atas kapal kecil, lalu muncul sebentar ke permukaan. Kapten kapal dan crew mengulurkan peralatan kamera pada Gendhis dan Eric. Keduanya dengan cekatan memasang tali kamera pada BCD.
Kembali Pak Ammad berteriak, "Ready?" Gendhis dan Eric cukup memberi isyarat dengan jari mereka, lalu menghilang di kedalaman laut yang sangat jernih hari itu. Gelembung-gelumbung dari tabung oksigen mereka kadang terlihat dari permukaan.
Berdua menyatu di kedalaman laut biru, menggerakkan kaki dan tubuhnya, menyesuaikan dengan tekanan air, mengikuti naluri. Hamparan soft coral dengan puluhan warna menyajikan tarian molek. Ratusan bentuk ornamennya bergerak lembut, mengikuti kemana arus menyentuh badan mereka. Moray berwarna hijau kecoklatan, bersembunyi di lobang karang, kepalanya menyembul seperti ular besar dengan mulut selalu terbuka, kemudian ikan-ikan kecil berwarna biru terbang seperti kupu-kupu cantik di sekitarnya. Gendhis dan Eric, berhenti sesaat menyaksikan adegan manis itu.
Pada sisi titik lain, ratusan ikan dengan warna nan elok membuat panggung sinema, diatas karpet stage coral, berlenggok membuat gerakan tak tertebak, bersembunyi, seolah menghilang di dalam terumbu karang, dan menghentak naik, hingga Gendhis terlihat kewalahan dengan kameranya.
"Kesombongan apa lagi yang harus aku pamerkan dihadapannya. Ratusan cerita dalam kesunyian nan menawan, bisa kutuliskan," Gendhis membatin.
Sesekali, Eric mendekat dan menggandeng jemari Gendhis, mengayunkan fins berdua, tanpa ingin membuat keindahan laut cemburu. Ketiganya saling melindungi, saling menunggu, tak perlu ada yang merasa hebat. Gendhis dan Eric, membalikkan badannya dengan lentur di tengah gerombolan ikan, membidikkan kamera, mendapatkan gambar paling seksi dari schooling jack fish yang menggodanya.
Beragam terumbu karang seperti karang bercabang, berwarna biru muda kecoklatan, berujung lancip, kemudian ada staghorn coral, berwarna coklat muda, berbentuk pipa, juga acropora elegantula, berwarna abu-abu, bercabang tipis dan menyebar, mampu menyeret keheningan tak terbatas. Tak ketinggalan jajaran coral big fan berwarna crem, serta puluhan koloni-koloni lainnya, hidup berdampingan, saling mengenal, menjadi permadani amazon yang kita butuhkan. Ikan-ikan seperti lionfish, bersayap loreng, yellow tang, dan jutaan ikan lainnya, hidup dalam habitat terumbu karang, saling membutuhkan dan menguntungkan.
Membangun imajinasi adalah atraksi yang menarik dari sebuah kreativitas. Alam menjadi kreator terbaik untuk menyusun sebuah cerita, Gendhis membatin, "Alam selalu pandai menyembunyikan sumbernya."
"Wakatobi, menjadi titik penyelaman yang seksi buatku," Gendhis membatin.
Mereka tahu kapan harus mengecek udara dan dive computer. Setelah 50 menit berada di kedalaman lebih kurang 24 meter, ketiganya mulai naik perlahan, dan berhenti beberapa saat pada kedalaman 5 meter di bawah permukaan laut untuk menyesuaikan tekanan pada tubuh mereka. Lalu, dive master akan memberi isyarat untuk naik ke permukaan. Kapten kapal sudah tahu kemana harus menjemput mereka, kalau tidak ada perubahan arus kencang.
"Wow!! It's wonderful!" teriak Gendhis dari atas kapal.
"Amazing!" Eric menambahkan.
Gendhis dan Eric setiap hari melakukan tiga kali penyelaman dengan interval setiap penyelaman lebih kurang satu hingga dua jam. Keduanya melakukan 15 kali penyelaman pada titik yang berbeda di Wakatobi. Setiap dua hari mereka beristirahat satu hari.
"Coral-coral disini ikut menjaga atmosfer untuk kelangsungan hidup seluruh bumi," kata Gendhis suatu hari setelah melakukan penyelaman kesembilan.
"Penyelaman Wakatobi masih utuh, kami menjaga konservasi dan coral-coral semaksimal mungkin," Pak Ammad menimpali.
"Hal yang wajar kalau kemudian Indonesia menjadi 'Amazon of The Seas' atau 'The Coral Triangle'." Eric menambahkan.
Pada penyelaman ke-11, Gendhis sempat mengalami hal tak terduga. Masker dan regulatornya lepas karena hantaman arus kencang. Kepanikan yang tidak bisa dibayangkan siapapun. Di kedalaman 23 meter, Gendhis sempat kehilangan keseimbangan. Ia hanya memejamkan mata, tidak ingin hal buruk terjadi karena kepanikan dan tekanan air yang masuk hidung. Tangan kanannya berusaha meraih cadangan regulator, dan tangan kirinya meraih inflator, ia meraba tombol merah inflator dan menekannya untuk mengembungkan BCD, sambil terus melakukan kicking ke atas. Hidungnya mulai berdarah. Setelah itu, ia tak sadarkan diri.
Pak Ammad yang ada di belakangnya, sigap membawa Gendhis naik ke permukaan dengan menekan udara melalui oktopus pada mulut Gendhis dan tetap mengikuti aturan penyelaman. Eric menyusul naik ke permukaan dengan melakukan hal sama, ada aturan yang harus dijalankan ketika menuju permukaan. Badan Gendhis terlihat diam, tak merespon. Eric dan Pak Ammad tetap tenang untuk memberi pertolongan pertama. Kapten kapal dan crew, segera melempar tangga dan menarik Gendhis ke atas kapal. Pak Ammad menekan dada Gendhis berulang. Akhirnya Gendhis bisa berteriak, mengeluarkan semua udara dari mulutnya. Ia mengginggil kedinginan dan pasi. Eric memeluknya erat dengan penuh kasih, mencium kening istrinya penuh haru, dan menenangkannya.
"Everything will be okay," kata Eric berbisik. Gendhis mencoba tersenyum, memeluk lengan suaminya.
Kejadian hari itu tak membuatnya takut atau trauma. Gendhis dan Eric terus melangkah, mengayunkan badannya di bawah laut Indonesia. Melihat Indonesia dari sisi yang tak banyak orang lihat. Wakatobi, salah satu dari titik penyelaman mengagumkan, telah memberi banyak sentuhan tentang Indonesia yang kaya raya.
Menjelajahi penyelaman Wakatobi oleh Gendhis dan Eric tak bisa dilihat dari berapa jumlah pengorbanan yang mereka keluarkan, baik materi, fisik, mental, maupun lainnya. Hal ini lebih pada bagaimana menemukan hal baru dan melihat bahwa Indonesia punya lebih dari yang kita bayangkan.Â
Tak hanya itu, Gendhis dan Eric juga bertemu dengan anak-anak di sebuah sekolah menengah di Wakatobi. Keduanya berbicara tentang laut, konservasi, dan sampah. Mereka juga menyisir hampir semua desa-desa di wilayah Wakatobi dengan menggunakan truk bak bersama beberapa masyarakat. Tak ketinggalan, selalu ada kopi dengan cerita masyarakat lokal yang mendalam.
Wakatobi telah mengisi bingkai cerita ekspedisi Gendhis dan Eric. Keduanya berjanji untuk kembali, suatu hari nanti.
- "Aku bisa melihat cahaya baru dan memulai jalan lain, tidak peduli seberapa jauh aku pernah tersesat. Keajaiban dunia bawah laut Indonesia yang kulewati mampu menyebarkan cinta, menyentuh dan menjangkau ke semua sudut dengan cara yang tidak pernah kita duga." -- GENDHIS -
- Wakatobi, September -- Oktober 2024.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI